Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Hari Tani Nasional




Hari tani nasional (HTN) yang selama ini diperingati setiap tahun oleh seluruh Rakyat Indonesia khususnya oleh kaum tani, sejatinya adalah salah satu momentum bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Momentum tersebut, sejalan dengan lahirnya undang-undang pokok agraria (UU PA) No. 5, tanggal 24 September Tahun 1960, sebagai salah satu capaian politik kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia dalam perjuangannya mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat.

Lahirnya momentum tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia untuk melanjutkan revolusi 1945 dan usaha-usaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dalam setiap jengkal perjuangan tersebut, sejak pra kemerdekaan hingga paska proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monopoli atas tanah dalam skala luas yang saat itu sebagian besar dikuasai oleh tuan tanah lokal dan bangsa Asing, terutama oleh kolonial Belanda maupun oleh perusahaan swasta Asing lainnya melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah kerajaan Belanda. 

Penguasaan tanah secara besar-besaran oleh colonial beserta perusahaan swasta asing ketika itu (Pra kemerdekaan 1945) tentu saja telah membawa penderitaan dan kesengsaraan yang dalam bagi kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia. Massifnya perampasan dan monopoli tanah skala luas saat itu, ialah akibat dari pelayanan tuan-tuan feudal yang juga telah lama menguasai tanah-tanah rakyat. Penguasaan tanah oleh tuan tanah lokal dan asing saat itu telah dilakukan dengan berbagai bentuk pemaksaan, bahkan dengan cara-cara yang sangat brutal.
Namun demikian, kaum tani tidak pernah gentar sedikitpun untuk menggencarkan perlawanannya, baik dalam mempertahankan maupun merebut kembali haknya atas tanah. Dengan usaha keras tersebut, telah terbukti Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan colonial hingga dideklarasikannya kemerdekaan Ri sebagai capaian perjuangannya yang paling gemilang. 

Saat ini, meskipun telah 71 tahun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, namun rakyat Indonesia masih belum terbebaskan dari persoalan perampasan dan monopoli tanah, monopoli atas sarana produksi pertanian dan monopoli atas sumber-sumber agraria lainnya. Hal tersebut ialah akibat dari cengkaraman system masyarakat setengah jajahan dan setengah feudal yang dipimpin oleh rezim komprador dan tuan tanah yang hakekatnya sebagai kaki tangan Imperialisme. Kenyataannya, paska revolusi 1945, Rakyat terus berjuang keras untuk menuntaskan revolusi dan mempertahankan kemerdekaan dengan menghancurkan cengkraman tuan tanah dan imperialisme di Indonesia.  

Dengan berbagai perdebatan konsep negara di jajaran pemerintah saat itu, dengan kenyataan berbagai bentuk pemberontakan rakyat yang berkecamuk tiada henti, Soekarno kemudian mengambil kekuasaan yang mencampakkan demokrasi liberal menjadi sistem Presidensil utuh. Sikap tegas Soekarno ketika itu, tentu saja karena desakan rakyat Indonesia untuk segera menuntaskan revolusi agustus yang hakekatya adalah revolusi Agraria untuk menjalankan reforma agraria sejati, melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 yang selanjutnya telah menjadi salah satu dasar untuk membentuk UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah diawah kuasa rezim Nasionalis Soekarno, terus didesak oleh Rakyat untuk merumuskan suatu undang-undang yang megatur tentang kepemilikan dan tatakelola Agraria, sebagai antithesis untuk menghapuskan segala hukum agraria milik Belanda yang berlaku saat itu yang tersusun berdasarkan tujuan dan kepentingan pemerintah jajahan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara. 

Setelah melalui berbagai proses, perdebatan dan berbagai pertentangan, tepat pada tanggal 24 September 1960 kemudian ditetapkan sebuah UU yang yang secara khusus mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber Agraria, yakni undang-udang pokok Agraria (UU PA No. 5). Dalam UU tersebut, pada intinya menjelaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani dan masyarakat adat berhak untuk menguasai dan mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat. Artinya bahwa, roh sesungguhnya dari UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah Landreform (Tanah Untuk Rakyat).

Disahkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia, sebenarnya merupakan bagian kemenangan perjuangan kaum tani Indonesia sejak abad 17 sampai  20 untuk menolak hukum agraria kolonial yang melanggengkan penghisapan atas buruh tani, tani miskin, masyarakat adat oleh kolonial dan tuan tanah lokal. Dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960, maka telah dihapuskan pula hukum agraria kolonial yang telah menindas rakyat, seperti[1]:
1.             "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal tersebut;
2.             a). "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118);
b). "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875. No. 119A;
c). "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f;
d). "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55;
e). "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;  
3.       Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No.117) dan peraturan pelaksanaannya;
4.       Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini.

Keempat peraturan yang dihapuskan tersebut diatas merupakan asas Undang-undang agraria colonial atau Agrarische wet de Waal. Secara historis UU tersebut dilahirkan pada tahun 1870 sebagai upaya mengejar ketertinggalan Belanda dari negeri-negeri kapitalis lainnya yang dalam transisi mencapai puncaknya (Imperialisme). Dengan demikian, Belanda harus lebih terbuka dalam iklim investasi dan finans terhadap dunia. Salah satu isi UU tersebut ialah aturan yang memberikan peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah di Bumi Nusantara, seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang untuk membuka pabrik, perkebunan dan pertanian dalam skala yang besar.

Dalam perkembangannya, UU tersebut pula yang telah mendorong lahirnya  kelas baru dalam Masyarakat Indonesia, yakni klas buru (Proletar). Agrarische wet de Waal mulai dijalankan sejak tahun 1870 dengan azas Domeinverklaring yang isi pokoknya: “Semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan Negara (Saat itu adalah kerajaan Hindia Belanda)”. 

Azaz UU tersebut mengatur tentang pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum[2]. Asas Domeinverklaring inilah yang memberikan legitimasi untuk merampas tanah rakyat oleh negara dan pihak swasta atas nama Investasi (Investasi asing). Inilah yang menjadi dasar mengapa keempat pasal di atas dihapus untuk membangun azas agraria yang mengutamakan tanah untuk rakyat.

Ditetapkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September sebagai salah satu capaian politik dalam perjuanga rakyat Indonesia, Pemerintah sekaligus menetapkannnya sebagai Hari Tani Nasional sebagai bentuk Apresiasi atas perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat yang begitu gigih mempertahankan dan merebut haknya atas tanah. Bagi kaum tani dan seluruh Rakyat, penetapan momentum tersebut untuk diperingati setiap tahun, tiada lain ialah untuk tetap mengenang sejarah perjuangan keras kaum tani sepanjang masa dan mengambil inspirasi atas setiap bentuk perjuangan tersebut sebagai tempaan terus-menerus dalam perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan reforma agraria sejati.



[1] Presiden RI. UUPA No.5 Tahun 1960. Tentang: Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. LN 1960/104; TLN NO. 2043. Jakarta 1960
[2] Sejarah perkembangan Masyarakat Indonesia dan problem pokok kaum tani. FMN, 2003