Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
HARI PETANI TAK BERTANAH
FPR SULSEL
(FMN Makassar, PEMBARU Makassar, AGRA Sulsel, SERUNI Sulsel)



29 Maret 2014 lalu dideklarasikan sebagai Hari ketiadaan tanah internasional berdasarkan kesepakatan pertemuan APC (Asian Peasant Coalition) di Penang, Malaysia. Pertemuan ini dihadiri oleh organisasi anggota APC dari berbagai Negara di Asia, terdiri dari Petani, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan pedesaan dan Pemuda Tani serta organisasi non pemerintahan yang terlibat aktif dalam pengawalan terhadap kasus perampasan tanah dan monopoli terhadap tanah. Dideklarasikannya Hari Ketiadaan Tanah ini bertujuan untuk memperluas pemahaman akan bahaya monopoli tanah dan sumber agraria oleh segelintir orang. Tanah adalah sumber penghidupan utama oleh semua makhluk hidup yang ada didunia ini termasuk manusia. Manusia butuh makan demi keberlangsungan hidupnya, untuk makan manusia harus bekerja, dan untuk bekerja manusia butuh sasaran kerja (tanah dan pekerjaan). Begitulah singkatnya penggambaran betapa pentingnya tanah bagi keberlangsungan hidup manusia.

Indonesia yang dikenal sebagai Negara Agraris karena 65% penduduknya adalah kaum tani. Selain itu, Indonesia juga diperkaya dengan SDA yang melimpah baik didarat maupun di laut. Maka sepatutnya rakyat Indonesia berdaulat terhadap tanah di negaranya sendiri. Namun kenyataan tidak seperti itu, Sekitar 35,8 juta hektar dikuasai oleh hanya 531 perusahaan, di sisi yang lain terdapat lebih kurang 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan hal ini karena penunjukan kawasan hutan yang berpersoalan. Selain itu lebih dari separuh jumlah petani atau 56% petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Ini sangat jelas menunjukkan ketimpangan yang terjadi di Indonesia.

Keserakahan tuan tanah, koorporasi, bahkan Negara sendiri semakin menyengsarakan rakyat Indonesia. Belakangan ini berita tentang perampasan tanah rakyat banyak diberitakan. Sebut saja seperti perampasan tanah bersertifikat di Luwuk Banggai Sulawesi Tengah, perampasan tanah adat di Mamuju Tengah untuk pembangunan Pertamina. Perampasan tanah adat Kajang oleh perkebunan karet PT. Lonsum, Masyarakat Jolli Bulukumba yang terusir dari kampungnya karena akan dirubah menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) oleh Kehutanan. Petani Polangbangkeng Takalar yang harus melawan Negara yang merampas sawah petani dan dirubah menjadi lahan tebu untuk produksi gula PTPN. Dan masih banyak lagi konflik terjadi yang mengakibatkan semakin berkurangnya lahan yang mampu diakses oleh masyarakat.

Tercatat ada sekitar 1,26 juta ha yang menjadi wilayah konflik di tahun 2016 meningkat hampir 3 kali lipat dari tahun 2015 yakni 400.430 ha. Pada Sector perkebunan terdapat 601.680 ha wilayah konflik, kehutanan 450.215 ha, properti 104.379 ha, migas 43.882 ha dan infrastruktur 35.824 ha. Selain itu, pada tahun 2016 terdapat 450 konflik agraria meningkat 2 kali lipat dari tahun sebelumnya yaitu 252. Saat ini, penguasaan tanah disektor perkebunana dan pertambangan mencapai 41,87 juta ha yang mayoritas dikuasi oleh asing.

Selain itu, Program Reforma Agraria – Perhutanan Sosial (RA-PS) Jokowi pula semakin memperlihatkan kepalsuannya. Lantaran program tersebut tidak menyentuh tanah-tanah yang dikluasi oleh tuan tanah besar atau bahkan Negara.Adapun tanah yang disasar dalam RA Jokowi adalah tanah yang masuk dalam rencana pembangunan infrastruktur. Serta tanah-tanah yang menjadi objek sertifikasi tanah merupakan tanah yang sebenarnya sudah lama dikuasi atau digarap oleh petani.  Program PS pun seperti itu. Program tersebut juga menyasar tanah-tanah yang ditempati turun temurun oleh petani. Kemitraan hutan yang ditawarkan oleh Jokowi sebagai solusi pemecahan konflik kawasan hutan hanya akan mematahkan perjuangan rakyat yang sedang menuntut pengembalian tanah-tanah yang selama ini telah dirampas, dalam pengertian lain program perhutanan social melegalkan praktek perampasan tanah rakyat. Sebab penyelesaian konflik melalui kemitraan hutan menjadikan tanah konflik penguasaan akan kembali menjadi tanah Negara. Dalam hal penerima Hak, tidak ada skema dan langkah yang dialakukan oleh pemerintah untuk memastikan buruh tani dan tani miskin sebagai subyek akan tetapi pemerintah menetapkan badan hukum pengelola sebagai subyeknya. Dari sini dapat dilihat siapa yang akan menerima dan mendapat keuntungan dari program perhutanan social, tentu saja mereka yang memegang dan menguasai lembaga pengelola yang akan mendapatkan keunntungan dan sudah pasti bukan buruh tani dan tani miskin. Jadi sudah terang bahwasanya program RA-PS Jokowi adalah palsu dan malah akan semakin menjerat petani pada perampasan tanah yang semakin massif dan bar-bar.

Monopoli tanah yang gencar dilakukan oleh para pemodal baik asing maupun dalam negeri, disokong oleh pelayan setianya (aparatur Negara) jelas sangat menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas Petani, Buruh dan Miskin kota. Hasilnya perjuangan panjang kaum tani dalam menuntut hak penguasaan tanah malah dihadiahi dengan kriminalisasi yang diberikan kepada mereka. Kriminalisasi terhadap petani menjadi satu langkah pasti yang dilkukan oleh reziim saat ini. 3 petani Soppeng, Pejuang solo melawan racun dan penangkapan AYYUB adalah bukti nyata tindakan Fasis rezim Jokowi-JK. Tidak hanya itu, rezim Jokowi-JK menggunakan semua alatnya termasuk hukum untuk meredam perlawanan masyarakat. UU Ormas, UU MD 3, RKUHP adalah sedikit dari sekian banyaknya peraturan yang mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia yang di lahirkan oleh rezim Fasis Jokowi-JK.

Pada sektor pemuda mahasiswa, lahirnya UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU DIKTI) menjadi corong masuknya komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi dalam dunia pendidikan. Salah satu dampak yang paling dirasakan adalah, biaya kuliah setiap tahun semakin meningkat dan tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Upaya perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa pun tidak segan-segan dihaadiahkan dengan sanksi. DO 3 Mahasiswa UIM dan 8 Mahasiswa UKI Toraja serta Skorsing 2 Mahasiswa UMI adalah sedikit sampel dari banyaknya tindakan fasis kampus yang terjadi di Indonesia. Kelas Buruh yang diperhadapkan dengan PP 78  mengakibatkan upah buruh hanya bisa ditinjau setiap 5 tahun sekali. 

Berdasarkan paparan di atas, kami dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulsel dalam momentum Hari Ketiadaan Tanah Sedunia atau Hari Petani Tak Bertanah menyerukan kepada Seluruh rakyat yang tertindas untuk memperkuat perjuangan rakyat.

“Tingkatkan Perjuangan Pemuda dan Mahasiswa Bersama Kaum Tani Melawan Monopoli da Perempasan Tanah Serta Menolak Reforma Agraria Palsu Jokowi-JK.”

Tuntutan :
1. Tolak RA-PS Palsu Jokowi-JK Yang Mengilusi dan Merampas Tanah Rakyat.
2. Stop Kriminalisasi, Teror serta Intimidasi Terhadap Petani, Bebaskan Kawan AYYUB Perjuang Agraria Kalbar.
3. Tolak UKT, Cabut UU DIKTI No. 12 Tahun  2012.
4. Cabut SK DO 3 Mahasiswa UIM, 8 Mahasiswa UKI Toraja, dan Skorsing 2 Mahasiswa FH-UMI.
5. Cabut UU Ormas, UU MD3 serta Tolak RKUHP.
6. Tolak Perpanjangan HGU PT. Lonsum.
7. Kembalikan Tanah Ulayat Masyrakat Adat Kajang Yang di Rampas Oleh PT. Lonsum.
8. Keluarkan Seluruh Tanah Masyarakat Bonto Bahari Dari Kawasan TAHURA.
9. Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industrialisasi Nasional Sebagai Syarat Utama Kemandirian Suatu Negara.

Makassar, 29 Maret 2018

Koordinator FPR Sulsel

Ilham

#Land_Refom_Tanah_Untuk_Rakyat
#No_Land_No_Life