Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
MENANGGAPI KREDIT PENDIDIKAN (STUDENT LOAN)

oleh: PMA

"Saya ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada bapak ibu sekalian. Dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan," ujar Jokowi, dikutip dari berbagai media.

Student loan bukan sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, terdapat pengaturan mengenai student loan, yang disebut sebagai "pinjaman dana tanpa bunga". Adapun ketentuannya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 76

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. 
(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: 
a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; 
b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau 
c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Penjelasan Undang-Undang :

Yang dimaksud dengan “pinjaman dana tanpa bunga” adalah pinjaman yang diterima oleh Mahasiswa tanpa bunga untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan Pendidikan Tinggi dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.

Namun Presiden Jokowi menyebut student loan berdampingan dengan istilah kredit pendidikan. Inspirasi Jokowi perihal kredit pendidikan bersumber dari kebijakan student loan di Amerika Serikat (AS). Di AS, student loan tidak seperti yang diatur dalam UU Dikti. Student loan di AS adalah pinjaman dana dengan bunga, sedangkan UU Dikti adalah pinjaman dana tanpa bunga.  Jadi, ketika Presiden Jokowi hendak memberi PR kepada para bankir dan pejabat keuangan untuk menggarap tentang kredit pendidikan, dan jika PR tersebut berhasil dituangkan dalam bentuk kebijakan, maka kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Dikti.

Di AS, mahasiswa yang mengakses kredit pendidikan suatu saat wajib mengembalikan kredit tersebut disertai dengan bunga (interest). Bunga merupakan salah satu sumber pendapatan lembaga keuangan untuk menghasilkan keuntungan atau laba. Maka perihal kredit pendidikan ini juga bertentangan dengan prinsip nirlaba pada perguruan tinggi sebagaimana tercantum dalam Pasal 63 UU Dikti. Perguruan Tinggi, baik itu negeri maupun swasta tidak diperbolehkan mencari keuntungan. 

Kenapa student loan dalam UU Dikti tidak disertai bunga? Karena sebagaimana dicantum dalam Pasal 76, pinjaman dana tanpa bunga merupakan bentuk kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya. Jadi ini semacam bentuk bantuan, yang sifatnya kedermawanan, tanpa mengharapkan pamrih atau timbal balik. Hal ini semata-mata karena pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi.

Hal ini berbeda dengan kredit pendidikan seperti di AS, yang bunganya dibebankan pada mahasiswa. Dapat kita bayangkan jika mahasiswa kurang mampu diberi pinjaman dan dikenakan bunga. Bukankah ini sama saja mengalihkan kewajiban pemerintah untuk pemenuhan hak atas pendidikan? Maka menurut saya jika kredit pendidikan model AS ini hendak diterapkan di Indonesia, bunga dari kredit tersebut tidak boleh dibebankan pada mahasiswa, melainkan pada pemerintah selaku yang berkewajiban melakukan pemenuhan hak atas pendidikan.

Namun jika ternyata pemerintah bersikeras agar bunga tersebut dibebankan pada mahasiswa, seperti yang dilakukan di AS, maka beberapa ketentuan di UU Dikti mesti dihapus terutama Pasal 63 dan Pasal 76. Dengan sendirinya, wacana kredit pendidikan ini mengarah pada wacana perubahan UU Dikti.


Berkaca pada AS

Data yang saya peroleh dari studentloanhero.com, sampai pada tahun 2018 jumlah student loan di AS adalah 1,4 triliun USD. Jumlah mahasiswa yang mengakses pinjaman tersebut (peminjam) adalah 44 juta orang. Pada tahun 2016, mahasiswa yang lulus menanggung utang pendidikan rata-rata mencapai 32.173 USD atau senilai dengan 442.346.577 rupiah.

Namun utang-utang tersebut tak semuanya dapat terlunasi. Sebanyak 4,3 juta peminjam mengalami gagal bayar (default) dengan nominal sebesar 74,9 milyar USD. Salah satu sebabnya adalah karena selain biaya pendidikan yang mahal, juga bunganya yang mencapai 2,3-8,3 persen per tahun.

Jika Indonesia menerapkan student loan seperti di AS, apakah kita siap dengan resiko gagal bayarnya? Apakah sektor perbankan siap dengan resiko tersebut? Apakah masyarakat siap menjual rumah, tanah, dan kendaraannya untuk melunasi utang pokok dan bunga student loan? Resiko-resiko tersebut diserahkan kepada dua pihak, yaitu masyarakat dan perbankan. Pemerintah seperti seolah melempar tanggungjawab pendidikan tinggi ke sektor swasta.  Dunia pendidikan tinggi menjadi dipusingkan dengan urusan pendanaan dan resiko utang piutang, sehingga tidak dapat fokus pada fungsinya untuk menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

Jadi kalau boleh saya memberi saran, PR dari Pak Jokowi janganlah dikerjakan. Itu berat, tinggalkan saja.
_______________________________________________________

Referensi Bacaan Yang Lain:
- https://nasional.kompas.com/read/2018/03/15/13383861/jokowi-minta-perbankan-garap-kredit-pendidikan-seperti-di-as

- https://www.cnbcindonesia.com/news/20180316121954-4-7482/di-as-student-loan-yang-jokowi-mau-malah-bebani-mahasiswa

- Film dokumenter "Ivory Tower" yang membahas dampak kebijakan "student loan" di Amerika Serikat: https://m.youtube.com/watch?v=UAGopImtOsc

#NawaCitaCitata