Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Otonomi Kampus dan Kera Sakti

Pada tahun 2013, petinggi tujuh PTN yang telah resmi berbadan hukum antara lain UI, UGM, IPB, ITB,USU, UPI, dan UNAIR, menyatakan menyayangkan pengajuan Uji Materi UU PT yang diajukan oleh beberapa pihak. Pihak petinggi tujuh PTN tersebut menampik dugaan mengenai pemberian otonomi pada PTN yang diatur dalam UU Pendidikan Tinggi sebagai jalan bagi komersialisi pendidikan. Sebaliknya, menurut para petinggi PTN, UU PT dan otonominya justru menjadi jalan bagi tercapainya akuntabilitas dan transparansi.
                                                                               ***
Pembaca yang budiman, sungguh sebenarnya paragraf di atas amatlah rumit bahasanya dan tidak membumi. Dan sungguh aniaya apabila dibaca oleh seorang tunabaca, atau bagi yang malas membaca. Maka sungguh disarankan untuk tidak melanjutkan membaca tulisan ini, bila sebelumnya tidak memahami sama sekali perihal UU PT, apalagi kalau belum kenal dengan ketujuh PTN yang dimaksud di atas, dan tulisan ini sungguh tidak disarankan bagi mereka yang masih menanyakan “apa itu PTN, atau apa itu otonomi.” Sungguh tidak ada maksud merendahkan, peringatan ini semata-mata dibuat demi mengkampanyekan tentang betapa rendahnya minat baca masyarakat kita, yang menurut hasil survey UNESCO hanya menyentuh angka 0,01%  dan secara prevalensi berarti hanya ada satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca.

Jadi jangan tersinggung,
daripada kamu marah-marah karena merasa diejek oleh tulisan ini.
Mendingan kamu mendidik diri membaca lebih banyak, supaya suatu hari kamu bisa mengejek tulisan ini.
                                                                             ***
Meski permohonan uji materi mengenai UU PT telah ditolak oleh MK di tahun 2013 lalu, aksi-aksi penolakan, dan kecaman, sampai tuntutan pencabutan terhadap UU Pendidikan Tinggi masih berlansung di berbagai kampus hingga hari ini. Banyaknya temuan mengenai kecacatan penerapan UKT sebagai bagian UU Pendidikan Tinggi, adalah bagian yang paling sering diulas apabila menyoal UU Pendidikan Tinggi. Tapi disitulah pangkal persoalannya, sebab ganjilnya UU Pendidikan Tinggi sungguh tak berhenti di UKT, ada hal ganjil lain seperti otonomi yang sesungguhnya tabu tapi layak diperbincangkan dan dikupas setajam silet. Seperti yang akan diulas dalam tulisan kali ini. 
Ihwal otonomi sendiri dalam UU Pendidikan Tinggi, mula-mula diatur pada pasal 62 hingga pasal 68. Itu untuk hal-hal yang berkaitan dengan otonomi pengelolaan. Untuk otonomi keilmuan dibahas pada pasal yang lebih awal, dan tidak akan dibahas disini karena penulis hendak berkonsentrasi memblejeti bagian otonomi pengelolaan meski dalam kapasitas keilmuan yang amat terbatas.
Pada satu titik, sebenarnya otonomi bukan tidak benar diterapkan. Sebaliknya sungguh sangat tepat, mengingat perbedaan kondisi dan kontradiksi di masing-masing wilayah yang jelas tidak dapat disamakan penanganannya, sistem ini sangat ideal bila direalisasikan. Yang membuat semuanya jadi rumit, ada pada tabiat birokrasi yang menjadi subjek regulasi ini. Tabiat Kera Sakti.

Kalau diingat-ingat lagi, Kera Sakti, itu loh. Yang suka loncat kesana-kesini, bertindak sesuka hati, dan hilangkan semua masalah di muka Bumi ini. Sayangnya tabiat birokrasi kita, tidak selalu menyelesaikan semua masalah di muka Bumi ini. Ya iya. Kera Sakti kan Cuma perumpamaan, selebihnya birokrasi kita manusia biasa. Yang Kera Sakti itu perangainya, dan masalah yang diselesaikan itu masalah orang-orang terdekatnya. Istilah populernya, Nepotisme kali yah. 
Maksudnya ?

Jadi begini, Kampus X, sebut saja UNM. Agustus lalu, mengeluarkan kebijakan yang membuat semesta kampus gempar. Kegemparan itu terkait pemberian subsidi 50% bagi anak dosen.
Tentu ini dikecam banyak pihak dengan berbagai penilaian. Namun pihak pejabat tetap kukuh mempertahankan kebijakan ini dengan beberapa alasan. Pertama sebagai penghargaan “Ini bentuk penghormatan kepada keluarga besar UNM yang telah mengabdikan diri. Juga sebagai anomali bagi masyarakat bahwa UNM tempat belajar yang baik,” terang pihak rektorat, kemudian dengan pernyataan tambahan “Kalau orang miskin banyak sekali mau dibiayai, ini hanya bentuk penghargaan bagi dosen dan pegawai atas semangatnya selama ini,”  

Namun betapapun kecaman dilayangkan kepada pihak rektorat, seluruh pihak pengecam tentu hanya bisa mengumpat dan bersiasat. Sebab yang dilakukan oleh pihak rektorat sama sekali tidak salah dan sah secara hukum. 

Adalah pasal 64 pada UU Pendidikan Tinggi yang dapat menjadi perlindungan bagi kebijakan banal tersebut. Pada pasal yang dimaksud secara terang memuat penjelasan mengenai wilayah swakelola Perguruan tinggi, yang mencakup bagian akademik dan non akademik. Yang dimaksud pada bagian akademik adalah penetapan norma dan kebijakan operasional, serta pelaksanaan Tri Dharma. Sementara non akademik mencakup penetepan norma, kebijakan operasional, dan pelaksaan yang diantaranya ;

Organisasi
Keuangan
Kemahasiswaan
Ketenagaan
Serta Sarana Prasarana

Untuk urusan keuangan, UNM jelas punya otonomi perihal mau diapakan. Mau dipakai buat syukuran, pesta bikini, korupsi, yah namanya saja otonomi. Suka-suka kera sakti dong. Soal ketenagaan juga yang tentu dalam hal ini dimaksud termasuk dosen, kampus juga punya wewenang ihwal bentuk penghargaan yang akan diberikan pada abdinya, entah subsidi 50% buat anak-anak mereka, atau pemutihan gaji karyawan seperti di periode rektor sebelumnya, yah suka-suka rektorat, namanya saja otonomi.

Yang membuat kita geram sesungguhnya, adalah pernyataan pihak rektorat yang seolah menegaskan bahwa kampus memang telah sempurna menjelma menara gading, sebuah menara tanpa jendela yang menegasi kenyataan konkrit di luar menara. Pernyataan pihak rektorat seolah menegaskan bahwa kampus hari ini, bukan lagi bagian integral dari sebuah masyarakat. Seolah-olah yang dimaksud masyarakat hanyalah mereka yang dihidupi oleh kampus, bukan mereka yang seharusnya dihidupi oleh kampus, bukan mereka yang dijual namanya oleh kampus dalam teorema pengabdian di jargon Tri Dharma.

Yang pihak rektorat dan kita semua lupakan sesungguhnya, adalah pasal 65 dalam UU Pendidikan Tinggi. Yang meski menjadi pasal penjelas bagi berdirinya PTN BH dan BLU, tapi juga pada poin empat memberi penegasan bahwa pemerintah memberi penugasan pada PTN BH untuk menyelenggarakan fungsi PT yang terjangkau oleh masyarakat. Masyarakat secara luas yang tidak boleh disempitkan tafsirnya menjadi masyarakat kampus saja, atau masyarakat rektorat belaka.

Memang benar bahwa dalam teori psikologi dasar diajarkan mengenai penguat motif tindakan manusia adalah hukuman dan hadiah. Namun hal tersebut bukan sanggahan bagi  variabel dan aspek psikologis lainnya, seperti altruisme, empati, dan prososial, yang juga dimiliki oleh manusia. Variabel dan aspek psikologi yang kemudian juga jadi dasar dicetuskannya Tri Dharma ketiga, pegabdian. Mengabdi yah mengabdi, kalau pamrih namanya bukan abdi, titik.

“Terus nepotisme bu ? tadi ibu sebelumnya sebut-sebut nepotisme soalnya.”

“Oh itu nak, itu KBBI ji yang bilang nak. Kalau nepotisme itu, perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebihan kepada kerabat dekat, atau kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak sendiri, terutama dalam jabatan/pangkat di lingkungan pemerintah. Itu subsidi  50% buat anak dosen, apa pade namanya kalau bukan nepotisme ?.” 

“Tapi kan bu, otonomi !.”

“Oh iya di, otonomi. Pintar memang ini rahing, sayang sakitko kemarin nak.”


Penulis : Bumi