PT. Lonsum adalah Perampas Tanah dan Penindas Rakyat yang Bebal
PT. Lonsum sudah sejak lama terus merampas tanah rakyat Bulukumba, termasuk masyarakat Adat AMMATOA KAJANG. Perjuangan Panjang yang dilakukan oleh Rakyat Bulukumba Bersama AGRA Bulukumba sedikit mendapatkan titik terang setelah diterbitkannya Perda Kab. Bulukumba No. 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.
Selain itu, pada 8 Agustus 2018 Pemerintah Pusat dalam Hal ini Kemendagri melakukan mediasi yang merupkn rekomendasi dari pemerintah Kabupaten Bulukumba yang telah berupaya menyelesaikan konflik yang terjadi, namun setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Pemkab Bulukumba tidak pernah diindahkan oleh PT. Lonsum. Dalam mediasi tersebut diperolah kesepakatan bahwa Lonsum tidak boleh melakukan aktivitas apapun sebelum menyelesaikan masalah yang terjadi di Kawasan HGU milik PT. Lonsum, seperti luas HGU melebihi batas, Tahan Ulayat masyarakat Adat Ammatoa Kajang dan tanah bersertifikat yang di Klaim oleh PT. Lonsum.
Namun ternyata semua itu tidak dapat menghentikan aktivitas Lonsum untuk terus merampas lahan milik Masyarakat terkhusus masyarakat Adat Ammatoa Kajang.
Sejak tangal 31 Agustus 2018 , masyarakat di desa Bonto Mangiring, Kecamatan Bulukumpa dan masyarakat Desa Tamatto serta masyarakat Adat Kajang melakukan protes dengan melakukan penghadangan alat berat buldoser milik PT. Lonsum yang melakukan pengolahan di atas tanah yang terdapat pekuburan dan mata air yang menjadi sumber penghidupan warga di (Bukit Madu) Desa Bonto Mangiring dan (Bukit Jaya) Desa Tamatto. Dari Hasil survei yang dilakukakan AGRA Cabang Bulukumba setidaknya terdapat 33 titik air (Bukit Madu) di Desa Bonto Mangiring dan beberapa sungai kecil dan 28 titik air (Bukit Jaya) di Desa Tamatto yang rusak dan hilang akibat aktivitas peremajaan perkebunan yang dilakukan oleh PT. Lonsum.
Pada perjalanannya PT. Lonsum tetap melakukan pengolahan dan peremajaan sehingga selang air yang digunakan masyarakat mengambil air dan sungai-sungai kecil banyak yang hilang (tertimbun) dan rusak. Sehingga pada tanggal 10 September 2018 masyarakat melakukan aksi dengan tuntutan utama PT. Lonsum harus menghentikan aktifitas pengolahaan di lahan yg terdapat perkuburan dan sumber air warga dan meminta mendatangkan pihak PT. Lonsum untuk berdialog dengan masyarakat.
Tanggal 12 September 2018 masyarakat berdialog dengan pihak PT. Lonsum yang di fasililitasi langsung oleh pemerintah daerah. Kesepakatan untuk tidak mengolah lahan yang didalamnya terdapat sumber air dan pekuburan milik warga sekitar telah terbangun dengan pihak PT. Lonsum. Akan tetapi, faktanya, disaat dialog berlangsung, pihak PT. Lonsum sedang melakukan aktifitas pengolahan lahan dan baru diketahui warga setelah ada laporan dan mendapati buldoser PT. Lonsum sedang beroperasi di lahan yang menjadi kesepakatan bersama, sehingga pada tanggal 17 September 2018 pemkab melalui Bupati Bulukumba mengeluarkan surat himbauan kepada PT. Lonsum untuk tidak melakukan aktifitas pengolahan dilahan yang menjadi sumber air dan pekuburan warga sebelum tim dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bulukumba dan tim kecil turun melakukan survey lokasi serapan air dan perkuburan masyarakat di area HGU.
Tak kunjung memperlihatkan itikad baik dari PT. Lonsum, Masyarakat Adat Ammatoa Kajang melakukan pendudukan di Kawasan HGU yang telah memasuki wilayah Hukum Adat Kajang Ammatoa yang bertujuan untuk menjaga di setiap Kawasan agar tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh PT. Lonsum. Tak hanya menduduki lahan menghentikan aktivitas PT. Lonsum, Masayrakat Adat Kajang juga melakukan penanaman Jagung di Kawasan Adat yang diklaim oleh Piahk Lonsum.
Tanggal 14 Desember 2018, Pemkab Bulukumba kembali meminta PT. Lonsum untuk tidak melakukan aktivitas peremajaan di area konflik / pendudukan yang juga merupakan area resapan air yang dibatasi oleh tanaman jagung milik masyaraka Adat Ammatoa Kajang. Taklama kemudian, pada 20 Desember telah terbit surat keseimpulan terkait penyelesaian konflik pertanahan di Bulukumba yang diterbitkan oleh Kemendagri. Inti dari surat tersebut adalah bagaimana upaya penyelesaian Konflik harus diselesaikan secepat mungkin, dan selama upaya penyelesaian Pemda harus menjamin keamanan dan kondusifitas di area konflik.
Bukannya patuh dan mejalankan semua perintah, 9 Januari 2019 PT. Lonsum malah kembali melakukan aktivitas peremajaan di area Konflik yang merupakan Kawasan Hukum Adat Ammatoa Kajang. Namun, upaya tersebut kembali dihadang oleh para masyarakat yang melakukan pendudukan.
Merespon hal tersebut, pada 10 Januari 2019 Polres Bulukumba menginisiasi untuk mengadakan rapat koordinasi di area Konflik. Rapat koordinasi tersebut dihadiri langsung oleh Kapolres dan Wakapolres Bulukumba beserta jajarannya. Selain itu, turut juga hadir dari pihak Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, PT. Lonsum serta AGRA Cabang Bulukumba. Ada tiga poin kesepakatan dalam rapat koordinasi tersebut yaitu Pertama, Pihak PT. Lonsum tidak diperkenankan menanam karet di atas lokasi yang sedang dalam klaim masyarakat adat, dimana batasannya adalah semua lahan yang ditanami Jagung oleh Masyarakat adat Kajang. Kedua, Masyarakat adat Kajang tidak diperkenankan menambah lahan untuk penanaman Jagung. Masyarakat Adat Kajang juga tidak membuat rumah permanen diatas areal yang di reclaiming, cukup dengan rumah kebun semantara. Ketiga, Kedua belah pihak tidak diperkenankan saling mengintimidasi.
Namun, pada 11 Januari 2019 / sehari pasca rapat koordinasi PT. Lonsum kembali melakukan aktivitas peremajaan di area konflik. Ini sudah cukup menggambarkan kepada kita bagaimana karakter PT. Lonsum sebenarnya yang Sewenang-wenang dan tidak menghargai kesepakatan bahkan perintah. Bukan hanya permintaan dan perintah Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Kapolres Bulukumba, Pemerintah Kabupaten Bulukumba hingga Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri tidak dihiraukan oleh PT. Lonsum dan tidak menjadi penghalang bagi PT. Lonsum untuk terus merampas tanah rakyat.
Penulis : Al Iqbal (Dept. Pendidikan dan Propaganda FMN Makassar)