Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepenggal Cerita Dari Desa Darubiah


Jum’at (27/01), saya bersama kawan-kawan seperjuangan dari FMN berangkat dari Makassar pukul 10:00 WITA menuju Kab. Bulukumba dengan menggunakan sepeda motor. Kami yang berjumlah 13 orang Alhamdulillah sampai di Sekretariat AGRA Bulukumba dengan selamat setelah menempuh kurang lebih 7 jam perjalanan. Sampai disana kami dibagai menjadi 3 TIM yang akan menempati 5 Posko yaitu Desa Tammatto (2 rumah), Bentenge (1 rumah) dan Desa Darubiah (2 rumah). Kebetulan saya ditempatkan di Desa darubiah, Kec. Bonto Bahari bersama Bung Usman, Cibal, Angga dan jeng yulia. Kami sampai di lokasi sekitar jam 9 Malam dengan diantar oleh Bung Edi dan Bung Kardi.

Kesan pertama mungkin yang saya rasakan ketika masuk di Desa Darubiah ini adalah sungguh memprihatinkan, kondisi jalanan hanya seadanya saja tanpa ada penerangan sama sekali dan tidak beraspal. Setelah sampai di desa, kami tidak langsung menempati rumah yang telah ditentukan karena pemilik rumah tidak berada ditempat olehnya itu bersama penduduk setempat yang katanya hanya berjumlah 6 KK mengajak kami berbincang-bincang dirumah bapak Jumarang ditemani kopi Le’leng (kopi hitam) dan Pelita yang memberi penerangan seadanya dengan rumah tanpa dinding.

Selama pembicaraan, Bapak Jumarang menceritakan detail-detail perihal Desa tersebut yang sempat dijadikan wilayah Tahura oleh pemerintah setempat. Sekitar 3468Ha wilayah tersebut yang dijadikan daerah Tahura dan 1082 warga atau 40 kk diusir dari kampung tersebut dan mereka mulai meninggalkan kampung sejak tahun 1982. 6 kk yang mulai menempati daerah tersebut mulai masuk sejak tahun lalu yaitu tahun 2016. Sempat diceritakan alibi pengusiran mereka karena dianggap sebagai daerah pembunuhan, setelah Karaeng Lala’ tewas terbunuh. Hal ini yang juga sebagai salah satu pemicu diusirnya mereka dari Desa tersebut.

Setelah berbincang cukup lama bersama warga, kami kembali dibagi menjadi 2 kelompok untuk menempati orang tua angkat selama disana saya bersama bung Angga dan Usman menempati rumah bapak Baso dan Bung Cibal dan jeng Yulia menempati rumah bapak Jumarang. Kami pun memisahkan diri dan menuju rumah atau pondokan dari bapak Baso yang tidak jauh dari rumah bapak Jumarang. Setelah menyimpan tas kami dirumah, sekitar pukul 23:40 wita kami langsung menuju kebun untuk mengecek kondisi disana. Hal ini hampir setiap hari dilakukan oleh bapak Baso bahkan sampai menginap dikebun untuk berjaga disana. Setelah mengecek kedua kebun bapak Baso kami kembali dirumah untuk istirahat.


Malam pertama, saya tidak bisa tidur dengan nyenyak entah karena setengah sadar saya mendengar suara-suara aneh ditambah lagi cuaca yang dingin dan tampa penerangan sama sekali membuat saya sering terbangun. Jam 04:30 subuh saya terbangun, Guntur mulai bersahutan dan kilat seperti membelah langit dan karena masih mengantuk saya pun berniat melanjutkan tidur sejenak namun, seketika hujan turun dengan derasnya dan membuat saya harus berpindah tempat karena kehujanan. Ternyata rumah yang kami tempati bocor dan belum dipasangi terpal sehingga sebagian dalam rumah basah akibat hujan. Dengan kondisi seadanya dan air yang sedikit saya mengambil wudhu untuk menunaikan kewajiban. Setelah shalat saya bingung untuk melakukan apa, sehingga saya mencoba untuk tidur kembali meski kaki harus terkena tetesan hujan.

Sekitar jam 07:00 pagi, saya keluar dari rumah penasaran dengan suara ketukan-ketukan dari sebelah. Ternyata itu adalah suara yang dihasilkan palu yang bertubrukan dengan batu gunung yang dilakukan oleh salah satu warga. Masih pagi sekali warga sudah mulai aktivitasnya untuk memecah batu gunung yang berada di sekitar kebun untuk dijual ataupun dijadikan pagar. Sekitar jam 8 pagi, keluarga bapak Baso datang untuk membantu pekerjaan bapak Baso membuat pagar. Ibu Fitri istri bapak Baso mengajak saya ke kebun untuk mengambil wajan dan panci sekalian mengambil sayur untuk dimasak. Selama perjalanan ibu fitri banyak bercerita mengenai pekerjaanya yang juga mengambil batu gunung untuk dijual. Batu gunung beliau jual seharga 100rb-150rb/ truk yang biasa ia kumpulkan selama 2-3 hari. Beliau juga mengajak saya ke tempat pengambilan batu gunung yang biasa beliau jual. Lumayan jauh memang dari pemukiman dan biasanya ibu Fitri memasak disana apabila sedang mengambil batu gunung.



Setelah dari kebun, saya bersama ibu Fitri memasak sayur dan lauk untuk kami semua, satu hal yang mungkin baru saya liat adalah Daun Monte-monte (Bahasa local) yang dicampurkan kedalam sayur yang saya masak katanya untuk pengharum. Dengan menggunakan tungku sederhana kami memasak nasi, sayur dan lauk. Sempat saya Tanya mengenai beras yang dipakai ternyata beras tersebut dibeli karena makanan pokok mereka disana adalah jagung hasil kebun. Setelah memasak, saya bersama ibu fitri dan anaknya yang kecil bernama Syahrul dan Bule (nurul) menuju ke kebun untuk mebantu bapak Baso membuat pagar.

Pagar yang kami buat berasal dari batu gunung yang digali disusun sedemikian rupa hingga menjadi pagar. Agak susah memang, batu dipukul terlebih dahulu dengan palu kemudian setelah batu goyang, batu tersebut digali dengan linggis. Dan batu kembali dikumpulkan untuk dibuat pagar. Itu yang kami lakukan hingga menjelang siang sekitar jam 11:00 kami sarapan atau lebih tepatnya makan siang bersama. Setelah makan, kami beristirahat sejenak dan menuju rumah pak jumarang menemui teman kami. Disana kami kembali disuguhi makanan meskipun telah menolak berkali-kali. Kami makan nasi goyang dari jagung karena untuk memasaknya harus diaduk terus menerus. Sekitar jam 13:30, kami kembali ke kebun untuk melanjutkan membuat pagar batu. Ditemani anak bapak Baso yang kuat-kuat Rijal dan juga Bota’ (Arif) saya tersenyum kecut melihat kondisi mereka yang masih kecil harus membantu orang tua dan harus putus sekolah karena kondisi ekonomi. Menjelang sore, teman dari Universitas Bosowa 45 datang dan bergabung bersama Tim kami, yaitu Jeng Irma, Bung Asri, Hatta dan Lotus.



Sekitar jam 4 sore, saya menuju rumah ibu Fitri yang berada di Bira untuk mandi dan shalat karena memang di Desa Darubiah tidak ada sama sekali sumur ataupun wc untuk mandi dll, airpun di suplai dari bira yang dibawa ke Darubiah dengan motor. Selama bersama ibu Fitri sya menilai bahwa sosok ibu Fitri yang ceria dan mudah bersosialisasi dengan orang-orang sekitar tetapi sangat tegas terhadap anak-anaknya, mungkin ini adalah salah satu cara didikan ibu fitri terhadap anak-anaknya.

Menjelang sore, kami meninggalkan bira dan menuju Desa Darubiah namun, kami terlebih dahulu singgah membeli air minum dan minyak tanah serta beberapa gorengan. Sampai di Desa kami langsung memasak sayur monte-monte dan lauk ikan bakar pemberian dari istri bapak jumarang. Kami makan seadanya dan ditemani lampu senter sebagai penerang, selepas makan kami bercerita-cerita dengan bapak baso dan istri. Dari perbincangan kami, ternyata istri bapak Baso berasal dari bau-bau dan bertemu dengan bapak baso saat beliau bekerja di kapal pengangkut kayu dan menikah tahun 2004. Kondisi kaki bapak Baso yang cacat (tdk bisa tertekuk) menurut pengakuan beliau karena tertusuk bamboo dibagian lututnya saat beliau berumur 10 tahun. Sehingga sejak saat itu, kaki kiri bapak Baso tdk bisa ditekuk sebelah.


Keesokan harinya, saya bersama ibu Fitri menuju ke pasar Bira untuk membeli jagung dan ikan kering. Dengan belanjaan yang kami bawah pulang kami langsung mengolah jagung tersebut menjadi nasi goyang  yang dimasak dikebun bapak baso dan lauk ikan kering secukupnya. Kebersamaan semakin terasa disaat ikan yang ada kami bagi-bagi agar cukup untuk kami semua. setelah makan, kami istirahat sejenak dan menuju kebun bapak Baso yang akan panen jagung untuk dibakar disana. Sekitar jam 02:30 kami kembali melanjutkan pekerjaan yaitu menggali dan mengangkat batu gunung hingga hampir jam 04:00 sore kami kembali kerumah untuk packing pulang. Sekitar jam 05:00 sore kami pamit kepada keluarga bapak baso dan berfoto bersama. Rasa haru menyelimuti saat salah satu anak Bapak baso menangis karena kepulangan kami, ibu fitripun sempat menangis ketika kami berpamit pulang. Salah satu anak bapak baso (Rijal) meminta sandal yang saya pakai dan sebagai kenang-kenangan dan motivasinya agar mau belajar membaca. Akhirnya kami pun meninggalkan Desa kenangan, Darubiah Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan.


Penulis : Elsa Sulastri