Jokowi-JK masih menerapkan Komersialisasi atas Kesehatan (Bagian 2)
Setelah
membahas kebijakan pemerintahan Jokowi-JK di bidang kesehatan, kita akan
melihat sejauh ini apakah ada peningkatan kesehatan bagi rakyat Indonesia.
Rakyat
mengalami gizi buruk
Laporan Gizi
Global 2015 menempatkan Indonesia
diantara 31 negara yang dengan
keadaan gizi buruk rakyatnya di tahun
2025. Data pemerintah menunjukkan 37% anak balita menderita stunting (terlalu pendek dan sangat pendek), 12%
menderita wasting (terlalu kurus
untuk tinggi badan mereka) dan 12% mengalami kelebihan berat badan. Rakyat miskin di Indonesia khususnya
dari klas kaum tani dan klas buruh memiliki kemungkinan menderita stunting 50
persen dalam perkembangannya. Kesenjangan
prevalensi kekurangan gizi antar provinsi dan kabupaten juga masih cukup lebar. Wilayah
bagian timur menempati posisi teratas gizi buruk di Indonesia. Tentu gizi buruk ini dipengaruhi dari kondisi makanan
rakyat di bawah standart kualitas kesehatan. Hal ini akibat pendapatan rendah
yang mempengaruhi daya beli masyarakat atas kebutuhan pangan yang sehat dan
kenaikan inflasi yang siknifikan atas harga-harga kebutuhan pokok tiap
tahunnya.
Indonesia
sebagai negara agraris seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Maka kondisi gizi buruk ini sangatlah ironi sesunggunya. Hal ini dapat dilihat
dari angka kelaparan mencapai 19,4 juta
jiwa[1]. Tentu ini dipengaruhi
kemiskinan yang akut hingga krisis pangan akibat penguasaan lahan oleh
korporasi serta bisnis pangan dunia yang kemudian berimplikasi pada kesehatan
rakyat yang buruk.
Meningkatnya
angka kematian rakyat
Angka kematian balita di Indonesia sebesar 46 per 1000
kelahiran hidup sedangkan angka kematian bayi baru lahir sebesar 25 per 1000
kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian ibu melahirkan mengalami peningkatan
pula. Tahun 2015 pemerintah menargetkan menekan angka kematian 102 per 100.00
kelahiran hidup. Tapi nyatanya, terjadi kematian pada ibu sekitar 359 dari
100.000 kelahiran hidup[2].
Penyakit menular (Communicable
diseases) meningkat
Indonesia pengidap penyakit HIV Juli-September 2015
meningkat menjadi 6.779 kasus. Sementara, kasus AIDS sampai September 2015
sejumlah 68.917 kasus[3]. Mengapa terjadi
peningkatan ? faktor ini adalah monopoli hak paten ARV oleh
perusahaan-perusahaan besar milik negara maju yang dilegitimasi oleh peraturan
WTO. Sehingga biaya pengobatan HIV/AIDS sangatlah mahal. Di Indonesia bisnis
obat ARV dilakukan perusahaan PT. Kimia Farma. Akibat mahalnya obat-obatan ini,
penderita HIV/AIDS banyak yang meninggal tiap tahun di Indonesia.
Kesenjangan Tim Medis dan fasilitas
di daerah
Faktor lain buruknya kesehatan rakyat adalah persoalan
infrastruktur kesehatan yang belum merata dan kurang memadai. Karena dari
sekitar 9.599 puskesmas dan 2.184 rumah sakit yang ada di Indonesia, sebagian
besarnya atau 70% masih berpusat di kota-kota besar[4]. Sementara di pedesaan
masih sangat rendah untuk dapat mengakses fasilitas kesehatan. Tentu hal ini
sangat mempengaruhi banyaknya masyarakat di desa khususnya kaum tani yang
menderita penyakit hingga berujung kematian karena rendahnya fasilitas kesehatan
tersebut.
Selain itu, Jumlah tenaga kesehatan yang dimiliki
Indonesia masih sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia
secara keseluruhan khususnya di daerah pedesaan. rasio dokter dengan penduduk
Indonesia masih terlalu jauh. Data dari Depkes menyebutkan bahwa rasio dokter
dengan rakyat masih 1 banding 4.000 penduduk. Tentu ini sangat mengkwatirkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima bagi rakyat.
Data Kemenkes menunjukkan pada 2015, sebanyak 48 persen
tenaga kesehatan terbanyak terpusat di pulau Jawa dan Bali dengan jumlah
435.877 orang. Sementara itu, di daerah seperti Papua, yang jumlah penduduknya
termasuk banyak, jumlah tenaga kesehatan hanya mencapai 2 persen. Kepulauan
Maluku menyusul dengan tenaga kesehatan paling sedikit dengan persentase 1%[5]. Kemudian hanya sekitar 9
provinsi yang memiliki Rumah Sakit Umum (RSU) kelas A. Bahkan 336 rumah sakit
ternyata juga tidak terakreditasi. Data lainnya menunjukkan bahwa 126 rumah
sakit (RS) ternyata tidak memiliki dokter spesialis penyakit dalam, 139 RS
tidak memiliki dokter spesialis bedah, 167 RS tidak memiliki dokter spesialis
anak, dan 117 RS tidak memiliki dokter spesialis kandungan[6].
Perumahan dan lingkungan yang buruk
Perumahan dan lingkungan menjadi salah-satu parameter
penegakkan kesehatan atas rakyatnya. Oleh karenanya, memenuhi perumahan dan
lingkungan yang layak dan sehat adalah kewajiban pemerintahan Indonesia pula.
Akan tetapi, perumahan-perumahan rakyat khususnya dari kalangan kecil; Kaum
tani, klas buruh, miskin perkotaan, nelayan masih sangat jauh dari kata layak
dan sehat. Persoalan ini bukan malah diselesaikan oleh pemerintahan Indonesia.
Pemerintah malah berkedok menjalankan program Tapera (Tabungan Perumahan
Rakyat). Tetapi Tapera ini bukanlah bertujuan untuk membangun perumahan yang
layak dan sehat bagi rakyat, namun hanya usaha untuk memungut iuran dari rakyat
(per tahun ± 50 Triliun). Di sisi lain, di perkotaan penggusuran rumah warga
semakin masif dilakukan pemerintah. Mereka berdalih untuk menertibkan rumah-rumah
kumuh serta usaha untuk normalisasi kali. Mereka mencoba membangun konsep Smart City di kota-kota besar, yang dimana dana penggusuran rumah warga
berasal dari Aanggaran negara maupun lembaga internasional Word Bank (Baca:
Tahun 2015 sebesar 1 Triliun di DKI Jakarta). Sementara itu secara bersamaan
korporasi-korporasi besar seperti Podomoro, Agung sedayu group, Sinar mas,
Lippo group dsb, semakin menjamur membangun perumahan-perumahan elit,
apartemen, perhotelan maupun objek wisata di perkotaan.
Selain itu, lingkungan yang tidak sehat juga mengancam
kesehatan rakyat Indonesia. Efek rumah kaca akibat kerusakan lingkungan (alih
fungsi hutan), emisi karbon meningkat yang disebabkan perusahaan industri,
perluasan perkebunan-pertambangan, telah membuat perubahan iklim yang ekstrem
di Indonesia. Selain itu, yang paling membahayakan adalah bencana Asap di Sumatera dan Kalimantan akibat
perluasan pembukaan lahan kelapa sawit oleh perkebunan milik borjuasi besar
komprador dan tuan tanah besar seperti Sinar Mas, Wilmar, APP dan lain-lain.
Tahun lalu menjadi bencana terburuk sejak 1997 yang menimbulkan ratusan ribu
terkena ISPA dan ratusan rakyat meninggal dunia.
Biaya kesehatan Mahal bagi rakyat
Komersialisasi
obat-obatan menjadi salah-satu produk kebijakan kapitalisme monopoli
Internasional khususnya di bawah kendali AS. Melalui organisasi perdagangan
internasional (WTO) telah meratifikasi kesehatan sebagai sektor perdagangan
yang bersifat komersil. Sehingga kita dapat melihat perusahan-perusahan
korporasi internasional khususnya milik AS meraup keuntungan atas monopoli
pendistribusian obat-obatan ke seluruh dunia. Seperti perusahaan Eli Lilly
milik AS dapat meraup pendapatan sebesar 23,1 milyar dollar atau sekitar 311,9
trilyun rupiah per tahun. Demikian perusahaan obat-obatan Abbvie milik AS
mencapai pendapatan 18,8 milyar dollar atau sekitar 253,8 trilyun rupiah.
Seperti gitu juga perusahaan obat-obatan Pfizer AS. Pfizer adalah industri farmasi yang mempunyai
ranking 2 dalam jumlah pendapatan tapi mempunyai ranking 1 dalam jumlah
penjualan. Perusahaan ini berbasis di New York dengan pusat riset di Groton,
Connecticut. Produk yang terkenal adalah Lipitor(obat penurun kolesterol). Sementara
perusahaan kesehatan lain adalah Abbott Laboratories AS. Ini adalah industri
farmasi yang beroperasi di lebih dari 130 negara. Tentu produk-produk obatan AS
ini didistribusikan ke sebagian besar negara-negara dunia termasuk ke
Indonesia. Hal ini yang kemudian mempengarui mahalnya obat-obatan di Indonesia.
Selain
perusahan korporasi milik AS ini, terdapat pula deretan nama perusahaan farmasi
di dalam negeri yang berorientasi komersil. Seperti PT. Biofarma, PT. Kimia
Farma, PT Sanbe Farma, dan sebagainya. Maka sangat miris, ketika perusahaan
milik negara tidak kelihatan mendominasi untuk meenyediakan obat-obat yang
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Komersialisasi kesehatan ini, membuat rakyat tidak mampu menjangkau
obat-obatan untuk mengobati maupun mencegah penyakit dalam tubuhnya. Apalagi
masyarakat Indonesia, sangat kwatir apabila memasuki RS yang tidak sedikit akan
mengeluarkan biaya. Sehingga banyak
pasien tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan karena tidak mampu dibayar
biaya rumah sakit. Parahnya lagi, banyak bayi yang baru lahir tidak dapat
dibawa pulang karena tidak mampu membayar persalinan RS[7].
Jokowi-JK, semakin merampas hak rakyat atas kesehatan. Berjuang
atas Hak Kesehatan Rakyat
Kita telah mengetahui bahwa kesehatan adalah hak setiap rakyat. Sehingga pemerintah dituntut untuk
bertanggung atas penyelenggaraan kesehatan bagi rakyat. Akan tetapi, setelah
kita menilai dan menganalisis, bahwa kesehatan di era pemerintah Jokowi-JK masih
saja dikomersialisasikan. Tidak ada kebijakan yang siknifikan atas perbaikan
kesehatan yang buruk selama ini. Bahkan ketika kita merujuk data-data kesehatan
di Indonesia, angka kesehatan rakyat malah mengalami penurunan. Hal ini dapat
kita lihat dari angka kematian anak dan ibu yang meningkat, angka kepalaran
tinggi, gizi buruk meningkat, perumahan dan lingkungan yang tidak sehat,
penyakit menular.
Mahalnya biaya kesehatan
di Indonesia menjadi faktor utama kesehatan yang buruk bagi rakyat. Monopoli
obat-obatan dan fasilitas kesehatan baik perusahan korporasi internasional
maupun nasional yang difasilitasi pemerintah, telah mencekik rakyat untuk
mengaksesnya. Di sisi lain, BPJS juga menjadi produk kebijakan yang tidak
berorientasi untuk memberikan Jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat. Akan
tetapi, BPJS menjadi sistem asuransi yang dilanggengkan pemerintah untuk
menarik upah maupun pendapatan rakyat setiap bulannya. Namun Pemerintah
senantiasa mempromosikan BPJS bahkan ingin menaikkan iuarannya. Tentu ini adalah
bentuk komersialisasi kesehatan yang merampas hak-hak rakyat atas pelayanan
kesehatan yang gratis dan terjangkau.
Oleh
karenanya, pemuda mahasiswa dan seluruh rakyat harus memperjuangkan hak-hak
atas kesehatan dan melawan komersialisasi kesehatan yang masih dilanggengkan
pemerintah Jokowi-JK, karena rakyat adalah segalanya dan harus berkuasa atas
seluruh kekayaan sumber daya alamnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk
kesehatan.Penulis : Symphaty Dimas
[1] http://www.voaindonesia.com/content/pemelitian-fao-sembilan-belas-koma-empat-juta-penduduk-indonesia-masih-mengalami-kelaparan/2817021.html,
Diakses pada tanggal 14 Februari 2016.
[2] http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=6&date=2015-12-22,
Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
[3] http://news.metrotvnews.com/read/2015/11/30/196222/jumlah-kasus-hiv-aids-di-indonesia-meningkat,
Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
[4] http://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/1817-tiga-masalah-kesehatan-yang-dihadapi-indonesia,
Diakses pada tanggal 27 Maret 2016.
[5] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150212172145-20-31723/jumlah-tenaga-kesehatan-dinilai-masih-jauh-dari-ideal/,
Diakses pada tanggal 27 Maret 2016.
[6] http://www.beritasatu.com/properti/201430-pemerintah-diharapkan-hilangkan-konsep-perumahan-yang-buruk.html,
Diakses pada tanggal 27 Maret 2016.