Propaganda Hardiknas 2011
Brosur Propaganda
Hari Pendidikan Nasional 2011**
Front Mahasiswa Nasional-FMN
“Pendidikan Tanggung Jawab
Negara-Tolak Kommersialisasi dan Hentikan Diskrimiansi-Lawan Segala Bentuk Tindak
Kekerasan di Dunia Pendidikan”
Oleh: PP-FMN
UUD 1945
Pasal 31:
a).Ayat (1): Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. b). Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
9 Tahun dan, pemerintah wajib membiayainya. c).Ayat (4): negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari ABN-APBD.
Perkembangan budaya ditengah masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan
yang dijalankan dalam suatu Negara, karenanya ketika berbicara soal budaya
masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu hal yang fundamental untuk dapat
diakses secara luas dan dijalankan sebaik-baiknya bagi rakyat. Bahkan, untuk
menjamin perkembangan ekonomi dan politik sekalipun akan sangat ditentukan
dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bersama. Berkaitan dengan hal
tersebut secara luas untuk berbicara soal perkembangan suatu Negara juga tidak
akan pernah terlepas dengan perkembangan situasi umum dunia. Dengan demikian,
intinya bahwa dalam memperingati hari pendidikan nasional (HARDIKNAS) kali ini
sangat penting bagi kita untuk dapat memberikan penilaian dan analisa yang
konprehensif tentang situasi umum masyarakat Indonesia, dan kesaling hubungan
antara pendidikan dengan sektor lainnya sehingga kita dapat memberikan
penilaian objektif sebagai landasan untuk menetapkan pandangan dan sikap atas
segala hal ikhwal yang terjadi dan berkembang disekitar kita.
Sejarah singkat Hari Pendidikan
Nasional.
Sudah menjadi tradisi bagi seluruh rakyat Indonesia,
khususnya disektor pendidikan memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS)
setiap tanggal 2 Mei. Hari pendidikan Indonesia dideklarasikan sebagai kegiatan
formal yang merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Ditetapkannya tanggal
2 Mei sebagai hari pendidikan nasional tentu tidak lahir dengan sendirinya,
ataupun suatu kebebasan untuk menjalankan kegiatan belajar mengajar yang
diberikan secara sukarela oleh seseorang, suatu kelompok atupun golongan.
Perkembangan masyarakat seiring perkembangan praktek sosialnya mendorong
semangat rakyat yang begitu kuat untuk memajukan budaya bangsanya tanpa
diskriminasi dan penidasan atas kekuatan manapun.
Pendidikan yang secara hakiki dapat memajukan taraf berfikir
rakyat untuk dapat merubah keadaan disekitarnya dan untuk memajukan budayanya.
Pada penindasan kolonial belanda hanya dijalankan oleh pemerintah kolonial
untuk anak bangsawan dan priyayi selaku sekutu terpercayanya dalam memperkuat
dominasi dan jajahannya di Nusantara. Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga
intelektuil yang terampil untuk mengisi pos-pos administrasi berdasarkan
kebutuhannya (Kerajaan Kolonial) yang akan dipekerjakan sebagai tenaga
administrasi didalam kerajaan, pabrik-pabrik maupun perkebunan yang dikuasai
dan terus dikembangkan di Nusantara.
Dibukanya sekolah-sekolah untuk menciptakan tenaga-tenaga
administratif kerajaan kolonial di Nusantara telah banyak pula melahirkan
intelektuil yang progressif dan ikut ambil bagian dalam perjuangan rakyat
pribumi. Sekolah-sekolah semakin banyak dibuka terutama dalam program “Politik
Etis” yang kemudian dikenal dengan “Politik Balas Budi” oleh Kolonial Belanda
yang salah satu isinya adalah program Edukasi atau pendidikan yang sesungguhnya
samasekali tidak memiliki perspektif untuk memajukan budaya dan mengembangkan
taraf berfikir masyarakat pribumi. Hal tersebut terbukti dengan kerasnya
diskriminasi yang dilakukan oleh kolonial dalam penyelenggaraan pendidikan
tersebut yang tidak dapat diakses secara luas oleh seluruh rakyat pribumi.
Dengan kenyataan demikian tidak pernah menyurutkan upaya dan
perjuangan keras kaum intelektuil dan terpelajar bersama rakyat untuk membuka
kembali sekolah-sekolah rakyat diberbagai daerah. Upaya-upaya tersebut
dipelopori oleh banyak tokoh intelektuil dan terpelajar di Nusantara, salah
satunya adalah Raden Mas Soewardi atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar
Dewantara.
Dalam perjalanan hidup Ki Hajar Dewantara untuk
memperjuangkan pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai rintangan,
terutama tindakan semena-mena dari penjajah Belanda yang tidak memberikan
anak-anak Negeri mengenyam Pendidikan. Upaya-upaya yang dilakukan Ki Hajar
Dewantara dalam memperjuangkan Pendidikan pada saat itu merupakan bentuk
kepeduliannya terhapat Rakyat Indonesia, dan hal itu yang menjadi pedoman
utamanya untuk membebaskan Rakyat dari jeratan penjajahan Kolonial Belanda.
Arti Penting Peringatan HARDIKNAS 2011
Peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini (HARDIKNAS-2011)
akan menjadi momentum yang istimewa dan berarti bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada saat ini perkembangan dunia semakin menunjukkan kesenjangan antar negara
yang semakin tidak berimbang (uneven development) antara negara-negara
kapitalisme, negara berkembang, negara jajahan, setengah jajahan hingga negara setengah
jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia.
Selain situasi krisis kronis tersebut, peringatan Hardiknas
saat ini juga akan menjadi istimewa karena perayaan May Day (Hari Buruh
Sedunia) ditengah semakin merosotnya kehidupan Buruh akibat terabainya hak-hak
buruh dan pekerja lainnya akan upah yang layak serta persoalan pemberangusan
gerakn buruh yang semakin meluas. Hal yang paling membuat momentum HARDIKNAS
kali ini menjadi momentum istimewa dan sangat berarti bagi rakyat Indonesia
adalah, dimana pada bulan Mei mendatang (tanggal 7-8) juga akan diselenggarakan
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang akan dihadiri oleh seluruh pimpinan Negara
Anggota ASEAN. Forum ASEAN yang dalam perkembangannya tidak hanya sebagai forum
untuk bertukar informasi semata, tapi selebihnya forum tersebut akan digunakan
sebagai momentum untuk menetapkan dan memperkuat berbagai perjanjian kerjasama
yang selalu dibawah intervensi dan kontrol Amerika dan pastinya akan tampil
dalam wujud kebijkan yang semakin menjerumuskan Rakyat semakin terbelakang
dalam berbagai aspek kehidupannya, baik dilapangan Politik, Ekonomi maupun
Budaya. Jadi, peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini memiliki kedudukan
yang sangat penting dan akan sangat tepat sebagai momentum untuk
mengkampanyekan berbagai persoalan pendidikan dan berbagai persoalan rakyat
disektor lainnya.
Situasi umum Pendidikan Indonesia
Pendidikan dikatakan sebagai proses humanisasi yang pada
hakekatnya merupakan suatu proses untuk menstranspormasikan ilmu pengetahuan
yang bertujuan untuk memajukan taraf berfikir dan kebudayaan manusia agar dapat
melakukan perubahan atas segala hal ikhwal (Situasi Objektif) yang ada
disekitarnya, sehingga dapat mempertahankan hidupnya sebagai mahluk social
secara adil, mandiri dan berdaulat sebagai jaminan akan kesejahteraan dalam
kehidupannya. Lantas bagaimana situasi Pendidikan Indonesia saat ini? Apakah
Pendidiakn di Indonesia dapat menjamin perkembangan budaya Masyarakat
Indonesia?
Melalui kerjasama pendidikan, AS telah menanamkan ideologinya
sebagai fondasi dasar untuk memperluas dan memperkuat hegemoninya. Pertukaran
pemuda, pelajar, Pelatihan dan pengembanan profesi bagi tenaga pengajar,
pemberian beasiswa terhadap mahasiswa yang dinilai berprestasi, bahkan AS terus
mengotrol dan memastikan kurikulum dan kebijakan yang diterapkan di ASEAN
adalah rancangn AS sendiri dapat berjalan dengan baik dan maksimal. Hal ini
mencerminkan betapa rakusnya sistem kapitalisme monopoli, pendidikan yang
semestinya dapat menjadi ruang khusus untuk belajar tentang kondisisi alam,
masyarakat, budaya, dan nilai literatur-literatur suatu negara, kini telah
berubah menjadi gurita yang siap menjerat rakyat ASEAN secara Politik, Sosial
Ekonomi dan Kebudayaan.
Pendidikan di Indonesia saat ini, tidak lagi menunjukkan Independensinya
sebagai salah satu sektor yang dapat menjamin perkembangan dan perubahan budaya
masyarakat secara Fundamental menjadi lebih maju, bahkan perspektif dan orientasi
dari Pendidiakn saat ini hanya sebagai proyek untuk mencetak tenaga kerja murah
dengan skill dan ilmu pengetahuan yang terbatas. Kenyataan pendidikan saat ini
hanya sebagai Instrumen kebudayaan yang lahir dan dikembangkan untuk
mempertahankan sistem usang yang selama ini menindas rakyat yaitu Sistem
Setengah Jajahan dan setenagh Feodal (SJSF). Jika kita ibaratkan dengan sebuah
rumah, maka Pendidikan sebagai atap rumah tersebut. Fondasinya adalah hubungan
Produksi atau Sistem Ekonomi yang eksis dan berkembang didalam suatu
masyarakat, sementara dindingnya digambarkan dengan struktur kekuasaan yang
menjalankan berbagai kebijakan demi tetap berdominannya sistem ekonomi
tersebut.
Dalam masyarakat yang ekonominya telah berkembang mencapai
tahapan sistem ekonomi kapitalisme utuh, apalagi sudah mencapai tahapan sistem
ekonomi kapitalisme monopoli (imperialisme) seperti Amerika Serikat dan
Negara-negara Uni Eropa serta berbagai Negara industri dikawasan Asia.
Pendidikan merupakan alat imperialisme yang ditujukan untuk memajukan tenaga
produktif yang mampu menyokong perkembangan industri didalam negarinya. Hal ini
dikarenakan industri di Negara-negara imperialisme merupakan industry-industri
yang maju, dengan menggunakan teknologi yang canggih agar dapat mendorong
produktifitas yang tinggi. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di
Negara-negara imperialisme sangatlah diperhatikan, sekalipun berorientasi untuk
melahirkan buruh terdidik yang tetap dapat dibayar murah.
Jika kita lihat perkembangan pendidikan Indonesia saat ini,
ditengah Masyarakat yang berkarakter setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF),
hubungan produksi yang berdominan adalah hubungan produksi pertanian yang
menggunakan alat-alat kerja yang sederhana. Jumlah total penduduk Indonesia
saat ini sebesar 238 Juta jiwa Sementara itu, 65% daritotal penduduk tersebut
adalah kaum tani yang menggantungkan hidup dan matinya disektor pertanian,
dengan persebaran sebagian besar (70%) berada diwilayah pedesaan. Dengan
kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan setengah feodal
(SJSF) yang dipimpin oleh rezim boneka dengan watak anti Rakyat dan anti
demokrasi, jelas bahwa Pemerintah tidak memiliki perspektif untuk memajukan
kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan
pendidikan yang tidak dapat memberikan pengaruh positif yang besar bagi kemajuan
budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia. Pendidikan yang tidak ilmiah, tidak
demokratis dan tidak mengabdi pada kepentingan rakyat adalah karakter pendidikan
yang tidak bisa dipisahkan dalam hubungan sosial masyarakat Indonesia. Dalam konteks
ini, Indonesia merupakan negara penyedia bahan baku atau bahan mentah dan
penyedia tenaga kerja dengan upah murah.
Kenyataan-kenyataan tersebut dibuktikan dengan semakin
meningkatnya angka putus Sekolah, Berdasarkan data yang dirilis UNESCO-PBB
tahun 2011, tercatat sebesar 527.850 orang siswa SD atau samadengan 1,7% dari
31,05 juta siswa SD putus sekolah setiap tahunnya. Dan untuk perguruan tinggi
sendiri dari total jumlah penduduk Indonesia dengan hitungan usia kuliah (18-25
Tahun) sebesar 25 juta jiwa, sementara yang terserap dalam PT hanya mencapai
4,6 juta jiwa, hanya meningkat 3 (tiga ribu) dari tahun sebelumnya sebesar 4,3
juta jiwa. Sementara angka tersebut terus berkurang dengan angka putus kuliah
(DO) mencapai 150.000 orang setiap tahun. Selain itu, angka Pengangguran dan
angka buta hurufpun terus meningkat berbanding lurus dengan angka kemiskinan di
Indonesia yang mencapai 37.168.300 jiwa
(16,58%) dari total penduduk Indonesia (238) juta jiwa dengan persebaran
13.559.000 jiwa (12,52%) diperkotaan dan 23.609.000 jiwa (20,37%) dipedesaan,
maka akibat rendahnya anggaran serta mahal dan terus meningkatnya biaya
pendidikan, menyebabkan semakin sempit dan tidak terjangkaunya pendidikan bagi
rakyat.
Kenyataan akan rendahnya anggaran dan mahalnya biaya
pendidikan yang tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata Masyarakat
Indonesia, ditambah lagi dengan tidak adanya jaminan ketersediaan lapangan
pekerjaan bagi pemuda serta masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan tenaga
pendidik, menunjukkan betapa abai dan tidak pedulinya pemerintah atas kondisi
pendidikan di Indonesia. Kenyataan-kenyataan tersebut adalah wujud kongkrit
dari sistem pendidikan yang Tidak Ilmiah, Tidak Demokratis dan tidak
Mengabdi pada Rakyat, justeru lebih menunjukkan penyelenggaraannya yang
komersil “Mahal dalam Pembiayaan, Diskriminatif dalam Pelaksanaan”.
Sejarah Lahirnya Politik Komersialisasi
Pendidikan.
Telah dilahirkan berbagai kebijakan pemerintah yang telah
melegitimasi komersialisasi disektor pendidikan di Indonesia, yang pada
hakekatnya komersialisasi pendidikan tersebut telah menjadikan pendidikan
sebagai sektor jasa yang dapat mendatangkan keuntungan besar. Dalam
penerapannya, dengan praktek disorientasi atas pendidikan tersebut dengan
kurikulum yang sesungguhnya jauh dari kenyataan sosial dan kehiupan rakyat
Indonesia merupakan wujud nyata pembodohan terhadap rakyat.
Hal yang paling nyata membuktikan praktek komersialisasi
pendidikan di Indonesia adalah dengan ditetapkannya UU BHP sebagai penguat bagi
UU BHMN di sektor Pendidikan khususnya diperguruan tinggi. UU tersebut yang
mendorong otonomi kampus telah menjebak lembaga pendidikan tinggi untuk
berkompetisi dalam menggalang kerjasama maupun investasi disektor pendidikan
untuk mendapatkan biaya operasional sendiri termasuk persaingan dalam menjaring
Mahasiswa, sebab subsidi atau biaya pendidikan terutama anggaran 20% tidak lagi
menjadi tanggungjawab yang wajib diberikan oleh Negara melainkan hanya sebagai
Hibah. Dengan kenyataan demikian sesungguhnya pemerintah telah melepaskan
tanggungjawabnya atas pendidikan.
Terlepas dari perdebatan sistematika hukum tersebut, UU BHP
dirancang sesuai dengan kepentingan Negara-negara kapitalisme
monopoli/imperialisme untuk melakukan proses liberalisasi disektor publik,
khususnya pendidikan. Meskipun UU BHP telah dicabut pada awal tahun 2010 lalu,
namun dalam prakteknya tidak sama sekali mengubah esensi liberalisasi dan
kommersialisasi pendidikan. Hingga saat ini penyelenggaraan pendidikan masih
sangat menekankan sistem otonomi baik dalam pembiayaan maupun sistem
pengelolaan lainnya serta anggaran dan subsidi dari pemerintah untuk sektor
Pendidikan masih menunjukkan angka yang sangat rendah. Dengan terbatasnya
anggaran untuk pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga
pendidikan (dasar, menengah ataupun tinggi) telah membuka kesempatan bagi
lembaga pendidikan untuk mengutip uang dari orang tua peserta didik. Selain itu
lembaga pendidikan (terutama perguruan tinggi) kemudian berlomba-lomba untuk
menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya dengan berbagai jenis jalur masuk
serta kutipan uang masuk yang berbeda-beda yang mencapai puluhan hingga ratusan
juta rupiah.
Setahun paska Konferensi Meja
Bundar Program Fulbright sudah mulai memberi bantuan untuk pendidikan
Indonesia, program tersebut sebagai inisiatif setahap-demi setahap merubah
sistim pendidikan Indonesia. Sementara program pertukaran pelajar secara terus
menerus berusaha ditingkatkan yang pada puncaknya tahun 1997 sebesar 13,000
mahasiswa Indonesia belajar di AS. Kepentingan AS terhadap pertukaran pelajar
cukup jelas, karena AS ingin menciptakan tentara-tentara dan tenaga intelektual
yang akan melegitimasi seluruh kebijakannya di negeri ini. Selanjutnya AS
sangat berkepentingan agar kurikulum pendidikan Indonesia berada di bawah
kebudayaan imperialis, jauh dari realitas penghidupan rakyat dan mengubah
aspirasi sejati rakyat dengan teori usang yang dimilikinya.
Sejak bergabung menjadi anggota WTO pada tahun 1995,
Indonesia didorong untuk melakukan liberalisasi dan privatisasi serta melakukan
pemotongan subsidi untuk sektor Pendidikan dengan memasukkan pendidikan sebagai
salah satu sektor jasa yang dapat diperjual belikan. Dengan diratifikasinya
semua perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No. 7 tahun 1994 yang
mengatur tentang tata-perdagangan barang, jasa dan Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait
dengan perdagangan. Yang paling diuntungkan dengan adanya kebijakan tersebut
tentunya adalah negara-negara imperialis dunia seperti AS, Inggris dan
Australia melalui ekspor jasa pendidikan dan pelatihan, termasuk dengan program
pertukaran pelajar ataupun tenaga pendidik dengan tujuan dapat
mentransformasikan sistem budaya, ekonomi dan politiknya untuk dijalankan di
Indonesia untuk memperkuat hegemoninya melalui sektor Pendidikan dan, dengan
partisipasi rakyat yang rendah untuk mengakses pendidikan. Serta, rendahnya
anggaran Negara untuk pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
menjadi alasan untuk melibatkan pemerintah asing dalam sektor pendidikan.
Pada tahun 1999 pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran
hutang sebesar USD 400 juta dari IMF (dana moneter Internasional), kemudian
melahirkan beberapa penandatangan kesepakatan yang mengharuskan pemerintah
mencabut subsidi pendidikan, inilah yang kemudian melahirkan PP 61 Tahun 99
tentang PT BHMN. Dengan alasan untuk menigkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia. Kenyataannya, setelah kebijakan tersebut diuji cobakan di 8 PTN: UI,
ITB, UGM, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP. 8 Perguruan Tinggi yang telah
di-BHMN-kan tersebut hanya mendapat rangking 300-an ditingkat Perguruan Tinggi
Asia Pasifik, dan dari pelaksanaan BHMN tersebut hanya menyisakan biaya
pendidikan yang begitu tinggi dengan fasilitas yang minim.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendapatkan kucurun
utang dari Bank Dunia sebesar USD 114,54 juta untuk membiayai program Indonesia
Managing Higher Education For Relevance
And Efficiency (IMHERE) yang
disepakati pada bulan Juli tahun 2005 dan akan berakhir pada juni 2011. Program
ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi Perguruan Tinggi dan dengan tujuan
Efisiensi dan relevansi Perguruan Tinggi sebagai mesin pencetak tenaga kerja
murah yang sesuai dengan kebutuhan imperialis. Selain telah melahirkan UU BHP,
program kerjasama dari Bank Dunia (Word Bank) ini juga memaksa pemerintah
Indonesia untuk melakukan pemangkasan anggaran pendidikan dari APBN. Pendidikan
menyedot anggaran hingga 45% dari total APBN yang didalamnya termasuk anggaran
gaji Guru dan Dosen.
Dalam kerjasama konprehensif
US-Indo untuk pendidikan, AS kembali akan menginvestasikan U$D 165 juta selama
lima tahun. Program tersebut meliputi pentingnya pertukaran pengalaman
kepemimpinan dan manajemen, keahlian ilmiah dan teknis serta pemahaman budaya.
Secara terperinci kerjasama tersebut berisi program Pengembangan Program
Fulbright, Community College Initiative, layanan konsultasi mahasiswa dan
pertukaran lainnya yang disponsori oleh Departemen Luar Negeri AS, memperbaiki
mutu pendidikan tinggi di Indonesia melalui program Kemitraan Perguruan Tinggi
yang akan mendukung kerjasama lembaga-lembaga pendidikan tinggi Indonesia dan
Amerika Serikat. Pemerintah AS juga akan mengundang Menteri Pendidikan Nasional
ke AS pada musim panas mendatang untuk menghadiri KTT Pendidikan Tinggi
AS-Indonesia untuk memajukan kerjasama.
Dari bentuk-bentuk kerjasama
yang akan di tandatangani, AS begitu ngebet untuk memastikan agar haluan sistem
pendidikan Indonesia berada dalam garis yang diinginkan. Setelah AS melalui
lembaga multilateral yang di pimpinnya seperti WTO dan World bank yang telah
berhasil memaksa seluruh anggotanya untuk menjalankan program privatisasi
pendidikan, kerjasama bilateral kali ini digunakan untuk mempercepat serta
memastikan seluruh skema sektor ini agar relevan dengan kepentingan imperialis
dan yang jelas dibawah kontrol Amerika.
Berbagai tekanan yang telah
dibangun US terhadap Indonesia, khususnya disektor pendidikan tentu saja telah
menggeret jauh pendidikan dari hakekatnya. Selain dengan tujuan untuk memajukan
taraf berfikir dan untuk membangun budaya masyarakat yang lebih maju,
pendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan hak dasar bagi setiap warga Negara.
Hak ini telah dituangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (EKOSOB) PBB, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pembukaan
tentang tujuan pendidikan nasional untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan
“memajukan kesejahteraan umum” serta batang tubuh UUD Pasal 31 dan Pasal 27.
Kaum pemuda sangat
berkepentingan atas pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pendidikan dan lapangan
pekerjaan adalah jaminan untuk masa depan pemuda sebagai generasi penerus
bangsa. Hak atas pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia, dalam
kenyataannya masih jauh dari harapan. Biaya pendidikan di Indonesia terbilang
sangat mahal. Akibat tidak dipenuhinya anggaran pendidikan 20 persen sesuai
amanat UUD 1945 dan kebijakan pencabutan subsidi pendidikan untuk rakyat. Biaya
pendidikan di perguruan tinggi pada periode 2010-2011 menunjukkan angka yang
tinggi dengan rata-rata disetiap perguruan tinggi mencpai minimal Rp. 600.000
hingga puluhan Juta Rupiah. Bahkan dibeberapa perguruan tinggi dengan jurusan
tertentu seperti fakultas kedokteran atau kelas Internasional mencapai ratusan
juta rupiah.
Anggaran pendidikan 20% yang
oleh SBY disampaikan telah terealisai bahkan lebih hingga 20,2%, yakni
meningkat dari tahun 2010 sebesar Rp. 225.229,40 Trilliun dan pada tahun 2011
Rp. 243.276,06 Trilliun. Kenyataannya, anggaran tersebut termasuk didalamnya
alokasi untuk gaji guru yang meliputi gaji pokok, tambahan penghasilan,
tunjangan profesi dan insentif daerah. Bahkan celakanya lagi angka tersebut
menjadi tampak lebih besar karena Anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
sebesar Rp. 16.812.01 Trilliun termasuk dalam akumulasi perhitungan anggaran
20% tersebut. Jika dihitung prosentase untuk penyelenggaran pendidikan riil
hanya mencapai 10% bahkan turun dari anggaran pada tahun sebelumnya yang
mencapai 11,06%. Artinya bahwa sesungguhnya anggaran 20% tersebut masihlah
sangat jauh dari reaslisasinya.
Untuk dana BOS sendiri dalam
pendistribusiannya tetap menunjukkan praktek diskriminasinya. Penyaluran dana
BOS akan diperuntukkan bagi siswa SD sebanyak 27,8 juta orang dengan nominal
Rp.400.000 per-tahun untuk siswa yang berada di Kota Madya, dan Rp. 397.000
per-tahun untuk siswa di Kabupaten, sedangkan untuk SMP sebesar 571.000
Per-tahun untuk 10 Juta Orang. Angka tersebut bahkan turun jauh dari prosentase
nominal dan jumlah sasaran pada tahun 2009 yakni SD sebanyak 30 Juta orang
(71%) dari 42,5 juta orang, dan untuk SMP sebanyak 12,5 juta orang (29%).
Hal inilah yang menyebabkan pendidikan semakin mahal,
diskriminatif sehingga sulit diakses oleh rakyat, terutama bagi anak buruh dan
kaum tani bahkan bagi sebagaian pegawai rendahan sekalipun yang tingkat
ekonominya terus menurun seiring krisis Global yang terus menajam dan menjalar
diberbagai belahan Dunia, tak terkecuali di Indonesia sendiri, yang merupakan
Negara setengah jajahan dan setengah feodal sebagai topangan utama imperialisme
dalam mengatasi krisis panjangnya saat ini. Melalui rezim boneka SBY-Budiono,
imperialism AS terus memperkuat dominasinya didalam negeri bahkan dengan cara
kekerasan sekalipun.
Politik Kebijakan Pendidikan;
Liberalisasi dan Privatisasi.
Berbicara soal pendidikan, tentu
kita berbicara tentang hubungan antara rakyat dan Negara, tentang hak dasar
rakyat dan tanggung jawab negara. Bahwa negara bertanggug jawab
menyelenggarakan pendidikan yang layak untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan
ketentuann UUD 1945 pasal 31, a).Ayat (1): Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. b). Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar 9 Tahun dan, pemerintah wajib membiayainya. c).Ayat (4):
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
ABN-APBD. dan UU Sisdinas No. 20 Tahun 2003. Dalam Sistem Pendidikan
Nasional (SPN) pasal 11 ayat 2 tahun 2003 dinyatakan “pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana
guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai
15 tahun”.
Jika Negara menjalankan amanat UUD 1945, bisa dipastikan
seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan dapat mengenyam pendidikan dari
tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai tingkat SMA dan tidak ada lagi
persoalan-persoalan yang menghambat kemajuan tingkat berfikir dan majunya
Kebudayaan di indonesia. Akan tetapi, dengan Pemerintah dibawah ampuan
kekuasaan Rezim boneka yang tidak memiliki Perspektif untuk memajukan budaya
dan kehidupan rakyatnya, amanat UUD 1945 hanya menjadi jargon semata.
Pencabutan Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP) pada tanggal 30 maret 2010 oleh Mahkamah konstitusi (MK)
karena desakan dari berbagai kalangan secara intensif mulai dari jalur Hukum
(Yudisial Review) hingga dengan jalan yang lebih maju dengan berbagai aksi
protes diberbagai daerah, juga karena UU tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pada kenyataannya, pencabutan UU tersebut
sama sekali tidak merubah kenyataan penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih
demokratis untuk dapat diakses secara luas dan terbuka bagi seluruh Rakyat.
Bahkan PP No. 17 tahun 2010 sebagai pengganti UU BHP tersebut secara esensial
tidak jauh berbeda dengan UU BHP yaitu kebijakan yang mengatur sistem
pendidikan yang menekankan pada otonomi kampus, sehingga praktek
kommersialisasi didunia pendidikan tetap dapat dijalankan.
Kenyataan diperguruan Tinggi yang membuktikan tetap
menguatnya kommersialaisasi pendidikan ditunjukkan dengan naiknya biaya
pendidikan pada periode tahun ini. Dengan membuka berbagai kerjasama serta
berbagai program studi. PT semakin leluasa untuk tetap menaikkan biaya
pendidikan, salah satunya adalah dengan membuka kelas internasional dengan uang
pangkal dan uang semester yang berkalilipat dengan kelas reguler. Universitas
Indonesia misalnya, yang membuka kelas internasional, difakultas kedokteran
uang pangkalnya mencapai 70 juta dengan biaya semester 35 juta, fakultas teknik
uang pangkal 25 juta dengan biaya semester 15 juta, dan fakultas ekonomi yang
uang pangkalnya 26 juta dan biaya semesternya 25 juta, dan hal ini juga terjadi
dibeberapa kampus lainnya, sperti UNS menetapkan biaya pembangunan institusi
mencapai Rp. 100 juta untuk fakultas kedoktaran, dan di UNHAS mempunyai jalur
nonsubsidi (JNS) dengn biya rata-rata Rp.
20 juta per-semester.
Kenyataan ini diperkuat dari akses orang miskin di Perguruan
Tinggi Negeri pada tahun 2011 ini, akses orang miskin ke PTN sebesar 4,19%.
Sedangkan orang kaya mencapai 32,4%, angka perbandingan ini sangat jauh bila
dibandingkan dengan tahun 1980 sampai 1990-an yang mencapai 10%. Dengan membandingkan
struktur sosial masyarakat Indonesia berdasarkan pendapatan,
hal yang bisa dikatakan mimpi untuk dapat mengakses pendidikan tinggi.
Dalam berbagai kenyataan saat ini, telah menggambarkan kepada
kita semua, betapa mirisnya kondisisi pendidikan kita, berbagai macam kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah selalu bertentangan dengan kepentingan rakyat
Indonesia. Pemerintah selalu mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya untuk
memajukan kualitas pendidikan. Dalam kondisi seperti ini pemerintah sama sekali tidak memiliki niat
baik untuk menopang kualitas pendidikan, baik yang meliputi sarana dan
prasarana, ataupun aspek penunjang lainnya demi berjalannya proses belajar
mengajar degan baik dan efektif seperti: fasilitas yang memadai dan merata,
tenaga pengajar dengan kualitas dengan kesejahteraan yang terjamin dan lain sebagainya.
Sementara itu realisasi anggaran pendidikan yang diamanatkan
dalam UUD 1945 minimal 20% dari APBN-APBD hanya menjadi sebuah janji dan wacana
semata. Anggaran pendidikan 20% yang dikampanyekan oleh Pemerintah. Bahkan
oleh SBY sendiri yang katanya lebih dari standar yaitu telah mencapai 20,2%
ternyata bukan sepenuhnya untuk pendidikan riil, akan tetapi dalam
pendistribusiannya angka tersebut termasuk alokasi untuk gaji Guru dan Dosen,
dan belum lagi dibagi dalam anggaran pendidikan kedinasan dan lembaga lainnya.
Pada tahun 2011 ini, anggaran pendidikan masih menggunakan pola yang sama.
Bahkan jika dihitung anggaran untuk pendidikan murni hanya mencapai 10% dari
APBN, dan itu artinya, setiap tahunnya tingkat partisipasi rakyat akan terus
berkuran akibatnya, jumlah putus sekolah dan penyandang buta aksara akan
meningkat seiring dengan konsep liberalisasi dan Privatisasi didunia
pendidikan.
Tabel 1.1 Alokasi pendanaan Pendidikan Nasional tahun 2010/2011.
Komponen
anggaran pendidikan
|
Tahun 2010*
|
Tahun 2011**
|
Alokasi
Pemerintah Pusat.
|
96.480.30
|
84.175.44
|
a.
Kementrian Pendidikan
|
62.393.30
|
50.348.75
|
b.
Kementrian Agama
|
26.326.60
|
26.263.22
|
c.
14 K/L lainnya
|
7.760.40
|
5.400.12
|
d.
Bagian Anggaran 999
|
2.163.35
|
|
Transfer ke Daerah
|
127.749.10
|
156.600.62
|
1). DBH Pendidikan
|
748.50
|
745.13
|
2). DAK Pendidikan
|
9.334.90
|
10.041.30
|
3). DAU Pendidikan:
|
95.932.10
|
104.106.75
|
a.
Non Gaji
|
11.365.70
|
11.093.65
|
b.
Gaji
|
84.557.40
|
93.013.10
|
4).
Tambahan penghasilan untuk Guru PNSD
|
5.800.00
|
3.696.18
|
5). Tambahan DAU untuk tunjangan Profesi Guru
|
10.994.90
|
17.148.98
|
6). Dana Otonomi
khusus Pendidikan
|
2.309.90
|
2.662.47
|
7). Dana insentif Daerah
|
1.387.80
|
1.387.80
|
8). Dana percepatan pembangunan Infrastruktur pendidikan (DPPIP).
|
1.250.00
|
|
9). Bantuan Operasional Sekolah
|
16.812.01
|
|
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
|
1.000.00
|
2.500.00
|
Anggaran Fungsi Pendidikan (A+B+C)
|
225.229.40
|
243.276.06
|
APBN
|
1.126.146.56
|
1.202.046.21
|
Persentase Anggaran Fungsi Pendidikan
|
20,0%
|
20,2%
|
Anggaran Fungsi Pendidikan (20%)
|
225.229,30
|
243.276.06
|
Pertumbuhan Ekonomi
|
5,5%
|
6,5%
|
Inflasi
|
5,1%
|
5,3%
|
Catatan: *) APBN Tahun
2010.
**) APBN Tahun 2011.
Dari data tabel di atas, bisa kita simpulkan bahwa dari total
anggaran pendidikan yang 20% bukanlah sepenuhnya untuk pendidikan riil, akan
tetapi telah dibagi kedalam beberapa lembaga seperti ke Depertemen Agama, yang
semestinya Depertemen Agama memiliki anggaran sendiri, dan diluar dari anggaran
pendidikan itu sendiri, dan konsep pendanaan inilah yang dibanggakan
SBY-Budiono dalam pidatonya mengatakan anggaran pendidikan untuk tahun 2011 melebihi
dari amanat Konstitusi. Padahal kenyataannya SBY
melakukan pembohongan publik, kepada seluruh rakyat Indonesia.
Selain persoalan anggaran, pendidikan Indonesia juga
dihadap-hadapkan dengan problem disorientasi yang secara sistematis, dimana
pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi pasar tenaga kerja sesuai dengan
program US untuk Negara-negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia yaitu Labor Market Flexibelity (LMF) dan Relevancy and Efisiency sesuai program
IMHERE dalam perjanjian kerjasama dengan Bank Dunia (WB) yang baru akan
berakhir bulan Juni mendatang. Dalam aspek ini, pemerintah selalu latah dan
tidak pernah serius dalam mengkoreksi persoalan pendidikan.
Negara dengan karakteristik setengah jajahan dan setengah
feodal (SJSF), pendidikan juga tidak terlepas privatisasi dan mesin pencetak
tenaga kerja murah dengan menjadikan peserta didik sebagai komoditasnya untuk
mendatangkan investasi yang besar bagi pemerintah indonesia, seperti kerja sama
pemerintah Ameriaka Serikat dengan pemerintah Indonesia (US-INDO), dimana AS
menginvestasikan dana sebesar USD 165 juta selama 5 tahun. Pertukaran
pelajar yang hingga tahun 1997 Indonesia telah mengirimkan mahasiswanya ke
Amerika Serikat sebanyak 13.000 orang dan, ini menandakan bahwa imperialisme AS
berupaya keras untuk menancapkan Politik, Ekonomi dan Budaya dan menyebabkan
Indonesia akan kehilangan nilai-nilai sosialnya terhadap rakyatnya sendiri
dengan berupaya merubah sistem dan orientasi pendidikan Indonesia setahap demi
tahap. Sistem pendidikan yang bagaimana selalu mengtamakan kepentingan Imperialisme.
Di tahun 2011 ini saja Indonesia dengan berbagai Negara, telah menyepakati
beberapa program kerja sama di sektor pendidikan:
Tabel 1.2 Kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Luar Negeri.
NO
|
Negara
|
Bentuk Kerjasama
|
Nilai ( Hibah/ pinjaman)
|
01.
|
Jerman
|
1.
pertukaran
informasi dan pengalaman
2.
pertukaran
ilmuwan, staf universitas, guru, instruktur, mahasiswa, pelajar untuk
observasi, studi, penelitian dan pelatihan
3.
pertukaran
bahan ajar, alat bantu peraga dan pameran
4.
kerjasama
antar universitas.
5.
Pemberian
beasiswa bagi mahasiswa, sarjana dan ilmuwan
6.
Pengakuan
ijazah
7.
Pengajaran
bahasa, kebudayaan dan kesusastraan
8.
Kerjasama
antara universitas
|
|
02.
|
Perancis
|
1.
Pengajaran
bahasa, kesusasteraan dan kebudayaan
2.
Penyelenggaraan
pelatihan dan seminar pendidikan serta pertukaran tenaga pengajar.
3.
Pengakuan
persamaan ijazah dan tanda lulus.
4.
Pengirimanlpertukaran
tenaga pengajar, peneliti, tenaga ahli.
5.
Pemberian
beasiswa.
|
05.
|
03.
|
India
|
1. untuk meningkatkan pendidikan,
2. penelitian,
3. pertu-karan academic dan
4. memberikan beasiswa dari ke dua
Negara
|
|
04.
|
Australia
|
1. Beasiswa
2. pendidikan dan pelatihan
3. Pertukaran Tenaga Pengajar
|
$ 355
juta
1.
Peningkatan
Akses (A$ 275 juta)
2.
Peningkatan
dan Jaminan Mutu (A$ 105 juta)
3.
Pengembangan
Kapasitas untu
4.
Tata
Kelola dan Akuntabilitas (A$ 45 juta).
Jumlah ini termasuk A$ 300 juta dari sumber AIPRD
(yang terdiri dari $ 200 juta dana pinjaman dan A$ 100 juta dana hibah),
sampai sejumlah A$ 55 juta
|
05.
|
Belanda
|
1.
Manajemen
Guru dan Kualitas Pendidikan
2.
Akuntabilitas,
Insentif dan Struktur Pendukung pada Pendidikan Dasar
3.
Monitoring
Pendidikan dan Sistem Evaluasi
4.
Teknologi
Komunikasi dan Informasi Pendidikan
5.
Fasilitas
Rapid Response
6.
Administrasi
Program
7.
Beasiswa
8.
Pertukaran
pelajar
|
·
Early Childhood Education and Development (ECED) – Pengembangan Pendidikan Anak
Usia Dini: US $ 25,300,000 melalui IBRD (International Bank for
Reconstruction and Development) dan IDA (International Development
Association)
·
Decentralizatized Basic Education Project (DBEP) – Proyek Desentralisasi Pendidikan
Dasar untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur: US $ 28,000,000 melalui: ADB (Asian
Development Bank)
·
Dutch Basic Education Support Program in Indonesia
melalui : melalui IBRD
(International Bank for Reconstruction and Development) dan IDA
(International Development Association sebesar US $ 11,132,800
·
HIV/AIDS Prevention and Care Through Life Skills
Education & Peer Education among Young People in Papua melalui UNICEF dan JP Morgan Chase Bank
sebanyak US $ 3,915,007
·
Basic Education and Employment US $ 20,000,000
·
Basic Education Sector Capacity Support Programme
senilai US $
27,000,000 melalui WB
·
Bermutu – Programme (Better Education and Reformed
Management for Universal Teacher Upgrading)
senilai 33,200,000 melalui WB
·
Stuned
1,2 3 Senilai US $ 40,550,962
|
Pendidikan Mahal dengan Kualitas Buruk.
Peningkatan mutu, selalu menjadi jastifikasi bagi pemerintah
untuk menaikkan biaya pendidikan, bahkan dengan berbagai kebijakan yang
dikeluarkan sebagai legitimasinya. Padahal kenyataan mahalnya biaya pendidikan
tidak pernah terbukti dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
belajar dari pengalaman pelaksanaan 10 perguruan tinggi yang dijadikan sebagai
Badan Hukum Milik Negara melalui PP. No. 61 tahun 1999 tidak terbukti dapat
meningkatkan great atau peringkat kualitas pendidikan Indonesia dikancah
Internasional, bahkan lebih kongritnya sebagai bukti bahwa mahalnya pendidikan
tidak mampu meningkatkan mutu dan menjawab kebutuhan rakyat terbukti dengan
angka pengangguran intelektuil yang cenderung meningkat.
Mutu yang terus dijanjikan sebagai legitimiasi peningkatan
biaya hanya sebagai ilusi yang tak akan
pernah terealisasi, terbukti samasekali tidak dapat menjamin kualitas
pendidikan di Indonesia. Meskipun UGM, UI membuka program kelas internasional
dan melakukan kerjasama dengn berbagai lembaga pendidikan asing, kenyataannya
tetap berada diperingkat 77 dari 77 perguruan tinggi di kawasan Asia-Pasifik.
Mutu pendidikan Indonesia juga berada di peringkat 12 dari seluruh negara di
kawasasn ASEAN, termasuk dibawah
Vietnam, sebuah negara yang baru membangun 20-an tahun terakhir pendidikan.
Time Higher Education Supplement (THES) adalah lembaga swasta yang memeringkat
perguruan tinggi tingkat Dunia dengn kriteria jumlah publikasi penelitian atau
karya ilmiah yang dihasilkan Dosen ataupun Mahasiswa dan rasio Dosen dan Mahasiswa.
Kenyataan-kenyataan tersebut
diatas akan semakin menjauhkan rakyat untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan sebagai penunjang kemampuannya dalam melakukan perubahan nasibnya
serta untuk pengembangan budaya yang lebih maju kedepannya. Faktanya,
pengangguran yang cukup tinggi akibat sempitnya lapangan pekerjaan yang
disediakan oleh pemerintah masih menjadi persoalan utama bagi pemuda di
Indonesia. Di Indonesia terdapat sekitar 105 juta angkatan kerja dengan jumlah
penggangguran mencapai 11 juta jiwa (BPS 2010), angkatan kerja Per-Agustus 2008 sebesar 111,95 juta jiwa
dan, pada tahun 2009 mencapai 113, 74 juta jiwa. Artinya angka tersebut terus
naik setiap tahunnya, dengan rentan waktu 6-7 bulan (Agustus 2008-Februari 2011) saja, angka tersebut bertambah sebesar
1,79 juta jiwa. Perhitungan ini masih diragukan, karena pemerintah juga
menghitung sektor pekerja informal yang tidak memiliki pekerjaan secara tetap
dan cukup besar keberadaannya. Pada tahun 2011 saat ini dengan rentan waktu
lebih dari 2 (Dua tahun) dan dengan kenyataan pertumbuhan ekonomi rakyat yang
terus merosot serta semakin sempitnya lapangan pekerjaan, angka tersebut
diperkirakan meningkat jauh lebih besar.
Selain itu, dalam pertemuan mahasiswa indonesia di Prancis. Oleh
Menteri Pendidikan Nasional (Muh.
Nuh) disampiakan bahwa, Idonesia saat ini masih kekurngan Dosen bergelar
Doktor/Dr sedikitnya 10% dari total Dosen yang ada di Indonesia, ini disebabkankan karena beberapa
Perguruan tinggi kurang melakukan penelitian dan risert. Perguruan Tinggi
Negeri/Swasta hanya menentukan besaran keuntungan yang akan diperoleh,
ketimbang mementingkan kualitas pendidikan itu sendiri, dan ini telah
mencerminkan betapa bobroknya Sistem Pendidikan Nasional. Dan berikut adalah
tabel Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia di Dunia Internasional.
Tabel 1.3 peringkat Perguruan Tinggi Indonesia di dunia.
|
http://www.webometrics.info/rank_by_country.asp?country=id diakses pada tanggal 24 Februari 2011.
Kualitas pendidikan juga akan sangat dipengaruhi dengan
ketersediaan fasilitas yang layak dan memadai sebagai penunjang berjalannya
proses belajar mengajar yang baik dan efektif. Dengan kenyataan Angka
kemiskinan yang tinggi, anggaran pendidikan 20% yang tidak pernah terealisasi
dan dengan Batuan Operasional Sekolah (BOS) yang tidak dapat diserap sesuai
dengan ketentuan, menyebabkan biaya operasional sekolah tidak pernah tercukupi
apalagi di lembaga pendidikan swasta yang oleh Pemerintah sendiri secara terang
menunjukkan diskriminasinya dengan dikotomi atas lembaga pendidikan swasta dan
negeri. Faktanya banyak gedung sekolah yang menjadi tempat belajar mengalami
kerusakan dan dengan kondisi yang memprihatinkan, terutama didaerah-daerah
terpencil. Dari total ruang kelas SD hampir 50% (891.594) ruang kelas masuk kategori
rusak ringan dan berat. Demikian halnya dengan persoalan fasilitas yang masih sangat minim, karena dalam mekanisme
penyaluran BOS tidak dialokasikan untuk pembangangunan ataupun penambahan
fasilitas, pengadaan fasilitas dan perbaikan gedung-gedung rusak diserahkan
sepenuhnya sebagai tanggungjawab sekolah.
Kondisi inilah kemudian menyebabkan setiap sekolah menarik
uang masuk/sumbangan, biaya seragam sekolah, batik, baju olah raga, dan biaya
buku pelajaran kepada peserta didik. Terlenih dalam mekanisme pembagian Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) di tahun 2011, terdapat beberapa perbandingan dalam
pendistribusiannya, seperti perbedaan besaran untuk Sekolah Dasar (SD) di Kota
Madya Rp. 400.000. Dengan Kota
Kabupaten sebesar Rp. 397.000. pertanyaannya adalah, apakah pemerintah memiliki
data kongkrit berapa jumlah siswa yang berhak mendapatkan dana BOS tersebut?
Dalam menganalisis beberapa perkembangan pendistribusian BOS
pada tahun sebelumnya, pemerintah mengalami beberapa kendala, karena mekanisme
penyaluranya tahun lalu melalui komite sekoh, anggaran dana BOS turun 1 kali
dalam 3 bulan, dan itu yang menjadi faktor utama kenapa BOS tidak mendapatkan
hasil yang sesuai dengan ketentuan, disatu sisi, mekanisme inilah yang
memberikan peluang terhadap lembaga-lembaga kedinasan dan pendidikan untuk
menyelewengkan anggaran pendidikan tersebut. Dilain sisi BOS diperuntukkan
untuk pemenuhan proses belajar mengajar, dan didalamnya termasuk gaji guru honorer. BOS tidak membiayai alokasi pendanaan
infrastruktur dan fasilitas. Inilah yang menyebabkan sekolah tetap harus
berfikir keras untuk mendapatkan dana dalam memenuhi kekurang biaya
operasional, fasilitas dan bangunan sekolah, sehingga setiap tahunnya sekolah
berlomba-lomba menyaring siswa/siswi. Dengan biaya masuk mencapai Rp. 4 juta hingga Rp 10 jutaan
keatas. Ini adalah imbas dari praktik Liberalisasi dan Privatisasi yang
diterapkan SBY-Budiono disektor publik khususnya pendidikan.
Jika kita meninjau kembali prinsip dasar praktik privatisasi dan liberalisasi sektor pendidikan
yang pada hakekatnya adalah pendidikan menjadi sektor jasa, dengan ketentuannya
hanya orang yang memiliki modal saja yang mampu mengenyam pendidikan, maka dari
kenyataan inilah kemudian menyebabkan akses pendididikan semakin sulit dijangkau
rakyat miskin. Pada tahun 2011 ini saja, indeks pertumbuhan pendidikan
indonesia menurun, disebabkan dengan beberapa faktor yang salah satunya adalah
tingginya angka putus sekolah. Dalam penilaian Indeks pembangunan pendidikan (Education
Deploment Index) dalam EFA Global monitoring report 2011, penilaian didasarkan
atas 4 indikator penilaian diantara; a).
Penurunan drastis terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas V SD.
b). Kemudian angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas juga beranjak signifikan,
khususnya anak-anak yang putus sekolah usia SD kembali bermasalah dalam baca
tulis, dan hal ini disebabkan faktor ekonomi. Kenyataan seperti inilah yang
dibantah oleh SBY-Budiono dalam paparan pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal
kenyataan objektif yang terjadi jauh menyimpang dari janji SBY dalam seratus
hari SBY pada saat itu.
Sistem Pendidikan Indonesia Tidak
Ilmiah, Tidak Demokratis dan Tidak Mengabdi Pada Kepentingan Rakyat
Jika kita simpulkan tentang pemaparan di atas, maka dengan
jelas bahwa karakter sistem pendidikan Nasional kita tidak mampu menjawab
persoalan rakyat, artinya pendidikan telah jauh dari hakekat yang sebenarnya.
Karena Sistem Pendidikan Nasional (SPN) tidak pernah serius dalam meningkatkan
mutu pendidikan, kurikulum yang tidak ilmiah yang hanya membentuk cara berpikir
peserta didik dengan teori-teori yang usang dan jauh dari persoalan dan
kenyataan sosial atau kondisis kongkrit yang dihadapi rakyat.
Selain itu juga, sistem pendidikan nasional kita tidak
demokratis, hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya diskriminasi dalam akses
pendidikan, penyaluran bantuan atau subsidi, pengadaan anggaran serta tidak
adanya jaminan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Padahal dalam UUD 1945 pasal 28 (e) telah diatur tentang jaminan mengeluarkan
pendapat, akan tetapi dalam berbagai kebijakan disektor pendidikan tidak
memberikan jaminan kebebasan dan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi
pelajar/mahasiswa. Dalam pengambilan kebijakan pelajar/mahasiswa tidak
dilibatkan.
Hal ini dilakukan untuk mencegah berkembang dan majunya
pelajar/mahasiswa yang kritis yang dapat melahirkan orang-orang yang mengabdi
pada kepentingan rakyat pada umumnya. Akibatnya budaya passif, Individualis dan
konsumtif semakin berkembang bagi peserta didik. Faktanya, banyak
pelajar/mahasiswa yang tidak peduli lagi dengn kondisi sosial, terhadap
penderitaan buruh, kaum tani dan rakyat miskin lainnya bahkan tidak sedikit
peserta didik yang juga tidak menyadari kepentingannya. Tidak bertanggung
jawabnya negara atas rakyatnya juga semakin dibuktikan dengan tidak tersedianya
lapangan pekerjaan yang luas bagi pemuda.
Kondisi pendidikan sepeti ini tidak terlepas dari sistem
pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis dan tidak mengabdi pada rakyat,
sebaliknya Sistem pendidikan di Indonesia hanya berorientasikan sebagai ajang
bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Hal ini dilakukan
sebagai ajang liberalisasi ekonomi untuk mempercepat konsep komersialisasi
pendidikan.
Konsep Pendidikan yang tepat Bagi
Indonesia.
Denga kenyataan Masyarakat Indonesia yang diselimuti dengan
kegelapan dan keterbelakangan budaya dan kesadaran politik yang rendah serta
keadaan ekonomi yang terus merosot, maka Sistem Pendidikan yang tepat bagi
Masyarakat Indonesia adalah Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi
Pada Rakyat.
1)
Pendidikan yang
Ilmiah;
Keilmiahan
adalah merupakan hakekat dari pendidikan yang bertujuan mencerdaskan dan
memajukan IPTEK sumberdaya manusia sebagai tenaga produktif dalam segala aspek
perubahan, baik dalam aspek budaya, politik dan ekonominya. Keilmiahan tidak sekedar membuat kurikulum
materi pendidikan semata, akan tetapi diikuti dengan metode belajar-mengajar
yang mendorong minat dari semua levelan orang yang belajar dan mengajar dalam
berdiskusi, agar mampu mengaitkan teori-teori dengan kondisi sosial masyarakat
demi terciptanya tatanan sosial yang baik. Pendidikan ilmiah akan terwujud
secara terang dengan penyajian materi dan ilmu pengetahuan berdasarkan keadaan
Objektif rakyat dengan situasi kongkrit yang ada disekitarnya. Demikian pula
dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut selalu akan mengikuti
perkembangan materi (Keadaan kongkrit) dan praktek sosial dari masyarakatnya.
2)
Pendidikan yang
Demokratis;
Pendidikan
demokratis menyangkut tentang nilai-nilai demokrasi dalam metode pembelajaran
dan penyelenggaraan pendidikan, nilai-nilai demokrasi berdasarkan pada perinsip
kesetaraan tanpa ada sekat-sekat yang merugikan tatanan sosial. Dan demokratis
harus berprinsip partisipatif dan aktif, dan bersandarkan atas kepentingan
mayoritas dan keadilan. Di tingkat perumusan kebijakan pendidikan, negara atau
institusi pendidikan mampu melibatkan seluas-luasnya partisipasi rakyat.
Sehingga kebijakan pendidikan berorientasikan pada kepentingan rakyat
indonesia. Bukan pada kepentingan pemodal. Kemudian dalam penyelenggaraanya,
Pendidikan tersebut dapat diakses secara luas dan terbuka untuk seluruh rakyat
tanpa diskriminasi bahkan dengan tanpa dikotomi apapun.
3)
Pendidikan yang
mengabdi pada kepentingan Rakyat;
Pendidikan
yang mengabdi pada kepentingan rakyat mengandung arti pendidikan yang bertujuan
memajukan kebudayaan dan taraf berpikir rakyat. Selain pendidikan yang mampu
menjangkau seluruh rakyat pada umumnya, juga menghasilkan lulusan pendidikan
yang bertanggung jawab dan mengadi pada rakyat. Kurikulum pendidikan disertakan
dengan muatan-muatan yang memaparkan realitas sosial rakyat indonesia.
Kurikulum yang mengabdi terhadap rakyat akan mengarahkan peserta didik tidak
jauh dari kenyataan sosial rakyat, dan sekolah-sekolah, kampus-kampus dan
lembaga-lembaga pendidikan lainnya harus di jadikan tempat untuk memperkarakan
masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Dengan demikian, peserta didik sebai
ouput dari pendidikan tersebut dapat mengabdikan kemampuan praktis dan keahlian
akademisnya untuk melakukan perubahan atas segala aspek ditengah kehidupan
rakyat untuk dapat menyelesaikan seluruh persoalan rakyat serta dapat secara
bersama-sama memajukan budaya bangsa yang adil, Sejahtera, madiri dan
berdaulat.
Konsep inilah kemudian yang membawa Pendidikan mampu menjawab
persoalan rakyat dan persoalan kita semua. Selain itu, adapun beberapa
kekhususan yang harus menjadi landasan pelajar, pemuda, Mahasiswa dan kalangan
Intelektuil lainnya untuk terlibat aktif
dalam perjuanga rakyat, terutama klas Buruh atau pekerja lainnya dan Kaum Tani
serta rakyat lainnya. Yang paling pokok adalah menyadari bahwa segala persoalan
yang muncul disektor pendidika dan dihadapi oleh rakyat hari ini tidak terlepas
dari persoalan pokok rakyat akibat dari sistem ekonomi yang usang dan sangat
menindas rakyat saat ini yaitu system Setengah jajahan dan setengah Feodal
(SJSF) yang dicirikan secara khusus dengan Perampasan dan monopoli tanah yang
meluas yang mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas tanah, padahal
disadari bahwa (70%) Rakyat Indonesia tinggal dipedesaan, dan (65%) Rakyat
Indonesia adalah petani. Selain itu sebagai ciri yang sangat menindas bagi klas
buruh dan pekerja lainnya adalah perampasan upah melalui politik upah murah
yang dijalankan secara sistematis oleh pemerintah dengan menciptakan
pengangguran sebesar-besarnya sebagai cadangan tenaga kerja murah. Ciri lainnya adalah tidak tersedianya
lapangan pekerjaan yang luas dan merata bagi pemuda dan seluruh rakyat
Indonesia sebagai jaminan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ciri-ciri
dengan persoalan tersebutlah yang paling
mendasar melahirkan berbagai persoalan lainnya yang terus menggerogoti seluruh
persedian kehidupan Rakyat.
Melihat perkembangan gerakan mahasiswa khususnya maupun
kalangan intelektuil pada umumnya, perjuangan yang dilakukan saat ini
kecendrungannya hanya memperjuangkan aspek-aspek sosial ekonominya semata,
perjuangan sosial ekonomi yang hanya didasarkan pada kepentingannya yang
terganggu secara langsung atau bukan sebagi bentuk pengabdian terhadap rakyat.
Situasi tersebut tentunya hanya akan semakin menjauhkan kita (Mahasiswa
khususnya) dari pertalian erat dengan rakyat. Perjuangan mahasiswa akan
kehilangan ruhnya sebagai penyokong gerakan rakyat, dan hanya semakin
menyuburkan watak borjuasi kecil yang selalu memikirkan kepentingannya sendiri,
tanpa memperdulikan kepentingan rakyat. Tentu hal ini tidak tercipta dengan
sendirinya, melainkan sebagai hasil konstruksi dari sistem pendidkan nasional
yang tidak ilmiah, tidak demokratis, dan tidak mengabdi pada kepentingan
rakyat.
Berdasarkan pemaparan diatas, Front Mahasiswa Nasional yang fokus dengan issu pendidikan akan
menyelenggarakan kampanye atas berbagai persoalan pendidikan dalam momentum
Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) dengan berbagai rangkaian kegiatan
kampanye. Front Mahasiswa Nasional sekaligus mengajak kepada kalangan pemuda,
pelajar, mahasiswa, intelektuil dan seluruh rakyat indonesia untuk ambil bagian
dalam perjuangan menuntut pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada
rakyat sebagai jaminan untuk dapat mewujudkan kehidupan rakyat yang adil,
sejahtera, mandiri dan berdaulat sekaligus mengajak untuk mendukung dan
terlibat aktif dalam perjuangan rakyat disektor lainnya.
Dalam momentum HARDIKNAS kali
ini, Front Mahasiswa Nasioanl akan
menyelenggarakan kampanye dengan garis kampanye “Tolak Kommersialisasi Pendidikan-Hentikan Diskriminasi dan Tindak
Kekerasan didunia Pendidikan”. Adapun Tema Kampanye yang akan diusung kali
ini adalah “Pendidikan Tanggungjawab
Negara-Hentikan Kommersialisasi” dengan Tuntutan:
1.
Turunkan Biaya Pendidikan.
2.
Hentikan Kenaikan Biaya Pendidikan (SPP).
3.
Hentikan Pungli dalam Bentuk apapun.
4.
Realisasikan Anggaran Pendidikan 20%.
5.
Hentikan Diskriminasi dan tindak Kekerasan didunia Pendidikan.
6.
Tolak Ujian Nasional (UN)
7.
Jaminan Kebebasan Berorganisasi dan berekspresi dimuka Umum.
8.
Tingkatkan Kesejahteraan dan Kualitas Tenaga Pendidik.
9.
Wujudkan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia.
10. Realisasikan wajib Belajar 9 tahun.
11. Sediakan Buku pelajaran dan Akses informasi bagi Peserta didik.
Jayalah
perjuangan Mahasiswa!
Jayalah
Perjuangan Rakyat!!
Jakarta, 11 April
2011
Pimpinan Pusat
Front Mahasiswa Nasional
Harry Kusuma
Koordinator
Dept Pendidikan dan Propaganda