Propaganda Hardiknas 2012
Peringatan
Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012;
(HARDIKNAS)
Kualitas Pendidikan
Indonesia Suram Sepanjang Jaman;
Tolak
Rancangan Undan-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT)
Lawan Privatisasi dan
Liberalisasi Pendidikan Sebagai Perwujudan Skema Dominasi Imperialisme di
Sektor Kebudayaan
“Gantungkan
Cita-citamu Setinggi langit!!. Pribahasa
ini sering kali kita dengar diucapkan oleh guru-guru kita disekolah untuk
memotivasi agar kita lebih giat belajar hingga mampu menggapai cita-cita yang
kita inginkan. Namun melihat tanggung jawab Negara memenuhi hak atas pendidikan
dan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat yang tak jua terealisasi. Kita
tidak lagi bisa menggantungkannya terlalu tinggi. Karena akan menjadi mimpi yang
tak terbeli!!.
Diterbitkan
Oleh:
PP-FMN
Front
Mahasiswa Nasional
Latar Belakang
Pendidikan
adalah merupakan suatu proses dialektika manusia untuk mengembangkan akal pikir
dalam menyelesaikan setiap persoalan-persoalan social, serta menjadi tolak ukur
kemajuan suatu zaman peradaban Bangsa dan Negara, dalam mencerdaskan kehidupan
rakyat. Sehingga menjadi tonggak instrument kemajuan tenaga produktif yang akan
menopang kesejahtraan rakyat secara utuh. Pendidikan harus menjadi pondasi
utama dalam mewujudkan kemajuan rakyat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat
adil dan makmur, serta menjunjung tinggi nilai-nilai social yang maju dan
mengabdi pada kepentingan rakyat.
Kenyataannya,
pendidikan Indonesia tidak berujung sesuai dengan hakekat pendidikan itu
sendiri. Berdasarkan historis, pendidikan Indonesia masih menyisakan
kepedihan mendalam bagi rakyat, sistem
pendidikan Indonesia belum bisa berbuat apa-apa bagi kemajuan tenaga produktif,
dari masa ke masa hanya dijadikan alat legitimasi untuk mempertahankan sistem
ekonomi, politik yang anti rakyat. Rezim
berganti rezim tak jua membawa harapan kemajuan, pemerintahan Indonesia dari
masa ke masa hanyalah menjadi rezim
penghamba yang tidak berani berdiri diatas kepentingan rakyat Indonesia.
Dibawah kepemimpinan pelayan setia “SBY” imperialisme yang dipimpinan Amerika
Serikat terus menancapkan dominasinya atas kepentingan politik, ekonomi,
militer dan kebudayaan.
Historis Hari Pendidikan Nasional
Tanggal
2 Mei tiap tahunnya rakyat Indonesia mempringatinya sebagai Hari Pendidikan
Nasional (HARDIKNAS). Sejarah 2 Mei sendiri tentu tidak lahir dengan sendirinya
melainkan atas dasar perjuangan rakyat Indonesia, dalam perkembangan masyarakat
Indonesia telah dijelaskan secara komprehensif mengenai literature, sejarah
telah banyak menguraikan bentuk penindasan pemerintah kolonialisme Belanda yang
menghisap sumber-sumber rempah dan kekayaan alam Indonesia selama tiga setengah
abad lamanya. Pendidikan yang semestinya bisa diakses oleh rakyat secara luas
hanya menjadi sebuah impian belaka, karena pada dasarnya pemerintah colonial
Belanda membatasi rakyat pribumi mengakses pendidikan. Pendidikan
hanya bisa dikenyam oleh anak priyayi dan anak tuan tanah local yang mengabdi
atas kepentingan pemerintah Belanda, karena kaum priyayi dan tuan tanah
bersekongkol jahat untuk menghisap rakyat kecil. Oleh karenanya pemerintah
colonial Belanda memberikan akses sepenuhnya bagi anak priyayi dan tuan tanah
untuk mengenyam pendidikan.
Berangkat
dari kepentingan tersebut, pemerintah colonial belanda membuka sekolah-sekolah
untuk menciptakan tenaga-tenaga administratif pemerintahan colonial belanda di
Indonesia, dari sinilah dilahirkan pula intelektuil progresif yang ikut serta
ambil bagian dalam perjuangan rakyat pribumi. Dalam perjalanannya,
sekolah-sekolah semakin banyak dibuka terutama dalam program “Politik Etis” atau
yang biasa dikenal sebagai “Politik Balas Budi” yang salah satu isinya adalah
program Edukasi yang tidak memilki perspektif dalam memajukan taraf kebudayaan
rakyat pribumi. Kenyataan tersebut dapat dibuktikan lewat penyelenggaraan
pendidikan yang tidak mampu diakses luas oleh rakyat pribumi.
Semakin
berlipat gandanya penghisapan dan penindasan terhadap rakyat pribumi semakin
menguatnya semangat perlawanan rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan, tak
terkecuali kalangan intelektual yang lahir dari sekolah pemerintah colonial
Belanda. Kalangan intelektual dan kelompok terpelajar membangun sekolah-sekolah
rakyat secara luas dan terbuka untuk menopang taraf berpikir rakyat. Tentu
usaha tersebut tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah colonial Belanda,
kenyataannya, sekolah-sekolah yang dibuka oleh rakyat pribumi tersebut banyak
yang ditutup oleh pemerintahan colonial Belanda, akan tetapi berangkat dari
kenyataan tersebut, semangat perlawanan rakyat pribumi semakin menuaikan
keberhasilan yang meluas, tercatat diera tersebut kaum intelektual dan kelompok
terpelajar bersama rakyat membuka kembali sekolah-sekolah yang ditutup oleh
belanda. Usaha tersebut dipelopori oleh Mas Soewardi atau yang biasa dikenal
dengan Ki Hajar Dewantara.
Dalam
perjalanannya, Ki Hajar Dewantara memperjuangkan pendidikan di Indonesia telah
mengalami berbagai rintangan, terutama tindakan semena-mena pemerintahan
colonial Belanda. Upaya yang dilakukan
Ki Hajar Dewantara pada saat itu adalah cerminan bentuk kepeduliannya terhadap
rakyat Indonesia. Pedoman inilah yang melahirkan pembebasan rakyat dari
cengkraman penjajahan colonial belanda. Salah satu sekolah yang didirikan oleh
Ki Hajar Dewatara adalah sekolah rakyat yang didirikan di Jogja pada tanggal 3
Juli tahun 1922. Selain mendirikan sekolah, Ki Hajar Dewantara juga menulis
sebuah artikel tentang kekejaman pemerintah colonial belanda yang kerap
membunuh dan menindas rakyat pribumi secara semena-mena. Berangkat dari
semangat Ki Hajar Dewantara yang memperjuangakan pendidikan Indonesia tanpa
dibatasi sekat-sekat antara orang kaya dan miskin patut dijadikan semangat baru
bagi anak Bangsa.
Arti penting Hari
Pendidikan Nasional bagi Rakayat Indonesia
Momentum Hari Pendidikan Nasional kali ini akan menjadi peringatan yang
begitu berarti bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat atas kepentingan
mendapatkan pendidikan yang layak bagi kebutuhan jaman akan terus dikobarkan
setiap tahunnya. Bahwasanya perkembangan suatu jaman semakin tidak berimbang
antara Negara imperialisme dengan Negara jajahan dan setengah jajahan seperti
Indonesia. Perkembangan situasi politik dunia semakin menunjukkan titik kronis
yang berkepanjangan akibat monopoli secara besar-besaran yang dilakukan
imperialisme pimpinan AS, sehingga dari waktu ke waktu terus berdampak ke Negara-negara
berkembang.
Selain memperingati Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Rakyat Indonesia
juga akan memperingati Hari Buruh Intenasional (May-Day) yang jatuh pada
tanggal 1 Mei. Peringatan May-Day dan Hardiknas kali ini adalah salah satu
upaya bagi setiap gerakan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu
jeratan dominasi imperialisme di Indonesia yang menjadi akar persoalan rakyat
Indonesia dalam memperjuangan kesejahtraan. Selain itu rakyat Indonesia juga
akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS) yang diperingati pada
tanggal 20 Mei untuk mengenang peristiwa perjuangan rakyat pada tahun 1920 yang
menandai bangkitnya perjuangan pembebasan melawan penjajahan Belanda yang untuk
pertama kalinya dilancarkan secara Nasional. Namun setelah 92 tahun sejak
kebangkitan nasional tersebut, rakyat Indonesia belum bisa membebaskan diri
dari sistem setengah jajahan dan setengah feodal terutama dalam memperjuangkan
pendidikan.
Krisis Umum Imperialisme dan
Berlipatgandanya Penghisapan Terhadap Rakyat diberbgai Dunia
Semenjak abad ke-20 hingga saat ini, sistem kapitalisme monopoli Global terus
menyisakan sendi-sendi penderitaan rakyat diberbagai dunia. Semenjak
memuncaknya krisis yang dialami oleh imperilisme pada pertengahan tahun 2008
akibat macetnya pembayaran kredit perumahan (sub-preme mortage), telah
menyebabkan merosotnya pertumbuhan ekonomi dunia. Krisis tersebut tidak
terlepas dari krisis over produksi teknologi canggih seperti otomotif,
persenjataan dan elektronik yang semakin menumpuk akibat produksi masal yang
dilakukan oleh sistem kapitalisme monopoli. Situasi pasar yang semakin
menyempit dan menurunya daya beli Rakyat, berdampak pada semakin bangkrutnya
perusahaan-perusahaan besar dunia. Bank-bank besar dipaksa
memberikan dana talangan guna menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar milik
imperialisme.
Karena situasi tersebut, Negara-Negra imperialisme semakin melipatgandakan
penghisapan dan penindasannya di Negara jajahan dan setengah jajahan untuk
menyelamatkan krisis yang dideritanya. Imperialis pimpinan AS semakin mengintensifkan
liberalisasi perdagangan melalui berbgai macam skema seperti WTO, bahkan perjanjian
perdagangan bebas (FTA). Tentu kenyataan inilah yang semakin memperkuat
dominasi imperialisme AS diberbagai Negara secara politik, ekonomi, militer dan
kebudayaan.
Selain ekspor barang komoditas, imperialisme juga berkepentingan atas
ekspor capital supaya terhindar dari pembusukan capital. Kawasan Asia adalah
merupakan sasaran yang paling potensial bagi imperialisme dalam hal investasi
dan perdagangan. Asia merupakan tempat populasi penduduk terbesar di dunia
sebagai pasar luas dan besar. Selain itu juga banyak menyimpan tenaga kerja dan
cadangan kekayaan alamnya yang berlimpah, sehingga kedudukan Asia sangat
penting bagi imperialisme dalam menyelamatkan krisis yang terus membusuk.
Krisis demi krisis yang berlangsung lama telah membawa imperialisme
menggali liang kuburnya semakin dalam. Seiring massifnya penghisapan yang
dilakukan imperialisme diberbagai Negara jajahan dan setengah jajahan, telah
melahirkan gerakan-gerakan rakyat anti imperialisme yang terus berkembang diberbagai
Negari.
Situasi Umum Pendidikan Di
Bawah dominasi Impeialisme
Sejarah pendidikan nasional Indonesia memang tidak terlepas dari dikte yang
dilakukan pemerintahan asing. Pada jaman pemerintahan Belanda, sejak
dijalankannya program politik etis seiring pemberlakuan kebijakan
perundang-undangan Pemerintah kolonial Belanda yang mengatur soal Agraria yang
dikenal dengan Agrarische Weet. Pada masa itu, pendidikan hanya diperuntukan
bagi golongan “Priyayi” atau bangsawan
yang selain untuk mengakomodir kepentingan Bangsawan lokal yang senantiasa
memberikan pelayanannya terhadap pemerintah Belanda. Hal tersebut juga ditujukan
untuk menegaskan kekuasaan colonial Belanda di Indonesia, serta untuk memenuhi
kebutuhan tenaga administrative diperusahaan-perusahaan perkebunan milik
colonial Belanda dan Negeri-Negeri asing lainnya.
Kebijakan pendidikan Indonesia saat ini yang tidak terlepas dari
kepentingan Negara-Negara imperialisme seperti Amerika Serikat, Jepang,
Australia dan Cina. Mereka menjadikan pendidikan sebagai salah satu sector jasa
yang mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda. Selain itu, pendidikan
dijadikan sebagai “corong propaganda” yang mempromosikan kepentingan
Negara-Negra Imperialisme. Kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk
mempertahankan dominasi mereka atas monopoli sumber daya alam, tenaga kerja
murah, serta pasar dan menjadi sasaran investasi bagi keserakahan mereka.
Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar US
$ 400 juta dari IMF (dana moneter internasional), yang kemudian melahirkan
penandatanganan kesepakatan Letter of Inten/LoI. Dalam kesepakatan tersebut
pemerintah Indonesia diharuskan melakukan pencabutan subsidi public termasuk
kesehatan dan pendidikan. Kesepakatan inilah yang kemudian melatar belakangi
lahirnya PP. 61 Tahun 1999 tentang BHMN perguruan tinggi (Menjadikan Perguruan
Tinggai Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diuji cobakan di 7 kampus negri
besar di Indonesia yaitu; UI, ITB, IPB, UPI, USU, UGM dan UNAIR.
Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan
internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General
Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Orgnization/WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12
komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para
investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk
pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian yang melahirkan UU
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia mendapatkan
kucuran hutang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian
Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati
pada juni 2005 dan berakhir pada tahun 2011. Program ini bertujuan untuk
mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi
dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot APBN
sehingga harus dipanggkas subsidinya. Pemangkasan tersebut juga meliputi pemangkasan anggaran
Guru dan Dosen.
Dalam perjalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) banyak menuai
protes dari berbagai elemen rakyat Indonesia, tidak sedikit dari masyarakat
Indonesia khususnya Pemuda Mahasiswa melakukan berbagai aksi massa supaya UU
BHP harus dicabut. Tanggal 30 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan
pencabutan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena bertentangan
dengan konstitusi (UUD 1945), ini tidak terlepas dari protes rakyat yang cukup
lama. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menghentikan praktik komersialisasi
pendidikan di Indonesia. Semenjak dikeluarkannya rancangannya sampai
disahkannya pada tanggal 17 Desember 2008, UU BHP selalu mendapatkan kecaman
yang keras dari berbagai gerakan rakyat.. Hal ini membuktikan bahwa sekali lagi
perjuangan massa mampu melahirkan perubahan.
Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi (RUU PT) Penuh Muatan Privatisasi dan Liberalisasi
Sudah menjadi tradisi dan membudaya dalam sebuah sistem setengah jajahan
dan setengah feodal yang memiliki karakter rezim penghamba bagi kepentingan
investasi, segala sesuatu yang dirumuskan hanyalah sebuah genta penyakit bagi
rakyat secara umum diberbgai sector. Dibawah kepemimpinan rezim fasis Susilo
Bambang Yudoyono tercatat telah melakukan beberapa regulasi skema penghisapan
dan penindasan terhadap rakyat. Kenyataan itu merupakan upaya keras SBY untuk
mendapatkan nilai bagus dari sang “Raja Gurita Imperialisme AS”. Apapun yang
diinginkan sang raja, maka sang pelayan setia SBY siap menggelontorkan kekayaan
yang dimiliki rakyat, termasuk harus mencabut subsidi-subsidi public rakyat
seperti subsidi pendidikan.
Salah satu kebijakan anti rakyat yang sedang dirancang adalah Rancangan
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Keberadaan RUU PT sendiri ialah
sebagai pengganti dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), dimana
keberadaan Undang-Undang tersebut hakekatnya penuh dengan muatan privatisasi
dan liberalisasi. Kaitannya dengan hal tersebut, meskipun telah menuai protes
dan perlawanan dari berbagai kalangan, Pemerintah tetap kekeh untuk Mengesahkan
UU tersebut, terbukti dengan berbagai rasionalisasi dan pembelaan yang
dilakukan oleh Pemerintah untuk tetap mendorong RUU tersebut, bahkan sampai saat ini RUU tersebut sudah mengalami
Revisi hingga kesekian kalinya.
Namun yang harus menjadi catatan bahwa berkaitan dengan RUU PT persoalannya
bukanlah semata-mata pada pasal per-pasal, malainkan pada persoalan Perspketif
dan Orientasi dari Undang-undang tersebut yang sudah sangat terang secara
Hitoris bahwa RUU tersebut sebagai Pengganti UU BHP yang telah menjauhkan
Rakyat dari Akses pendidikan Tinggi. Secara Ekonomi, pastinya dengan RUU
tersebut jika tetap disahkan akan semakin memberikan ruang bagi Lembaga kampus
untuk mengkomersilkan Pendidikan baik melalui kurikulum, dan distribusi Output
sebagai tenaga kerja murah, kerjasama pembangunan dan pengembangan Usaha.
Secara Politik, tentunya RUU tersebut akan bertententangan dengan UU SISDIKNAS
dan UU 1945.
Disamping itu juga bahwa RUU tersebut kemudian akan menjadi Legitimasi dari
pemerintah untuk melepaskan tanggungjawabnya atas pendidikan, khususnya
Pendidikan tinggi. Selanjutnya, diaspek kebudayaan, melalui kurikulum yang akan
diterapkan, selain hanya akan mewakili kepentingan dari Imperialisme atas
tenaga Kerja, maka kurikulum yang akan diterapkan juga tidak akan jauh dari
kepentingan tersebut, bahkan yang paling buruk adalah dimana kurikulum yang
akan dijalankan akan semakin luas memberikan ruang transpormasi ide dan
kebudayaan dari Imperialis yang sangat jauh dari relaitas hidup Rakyat
Indonesia. Hal tersebut juga sudah sejak lama diterangkan dari program
kerjasama pemerintah dikancah Internasional khususnya dilapangan Kebudayaan,
seperti US-Indo Komprehensif ataupun kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di regional
tingkat ASEAN maupun Asia Timur, dimana akan diberlakukan keseragaman dalam
Sistem Pendidikan, baik dari keseragaman kurikulum, sistem penyelenggaraan
hingga pembiayaan.
Kampus Sebagai Pusat Konsolidasi Teori
Untuk Mempertahankan Kepentingan
Imperialisme dan Rezim
Boneka.
Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, tentu kampus memiliki
peran penting dalam ranah kemajuan bangsa, karena kampus adalah merupakan
instrument untuk melakukan pengkajian atas persoalan yang dihadapi rakyat indonesia.
Sehingga berangkat dari hal tersebut kampus menjadi ibu yang akan melahirkan
tenaga ahli yang mengabdi atas kemajuan bangsa dan rakyat indonesia. Akan
tetapi kenyataannya lembaga Pendidikan Tinggi/Kampus selalu terlibat dalam
setiap skema kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah boneka imperialisme di
indonesia yaitu Susilo Bambang Yudoyono.
Dalam
praktiknya, lembaga pendidikan tinggi selalu terlibat dalam setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh rezim boneka untuk menyelamatkan beban krisis yang kian
hari semakin meyulitkan imperialisme dalam upaya penyelesaiannya, Oleh
karenanya, imperialisme akan menggunakan berbagai macam cara untuk melepaskan
dirinya dari jeratan krisis tersebut. salah satunya adalah program Counter
Insurgency (CO-IN) dilapangan kebudayaan, dimana imperialisme mempromosikan
budaya individualisme, anti nasionalisme, tidak ilmiah dan anti rakyat
tentunya. Demi melancarkan dominasinya dilapangan kebudayaan, imperialisme
telah melakukan kerjasama komprehensif antara pemerintahan Amerika Serikat
dengan Pemerintahan Indonesia (US-INDO), dimana AS telah menginfestasikan dana
sebesar USD 165 juta selama 5 tahun.
Berangkat
dari program-program kerjasama inilah yang kemudian menguatkan posisi kampus
untuk terus berlomba-lomba melakukan praktik komersialisasi pendidikan, tidak
sedikit kampus-kampus besar di indonesia melakukan kerjasama secara langsung
dengan negara-negara imperialisme lainnya, secara setahap demi setahap
kampus-kampus di indonesia kehilangan orientasinya dalam memajukan ekonomi,
politik dan kebudayaan bangsa. Kampus-kampus akan berubah menjadi warung siap
saji yang menyediakan paket menu yang telah ditentukan besaran harganya, menu
yang disediakanpun adalah menu pesanan dari negeri-neri imperialisme, tidak
heran jika kampus telah jauh dari nilai-nilai budaya ilmiah rakyat, jauh dari
setiap kenyataan yang dihadapi bangsa indonesia.
Para
tokoh akademisi, Guru besar berpangku tangan ketika melihat persoalan bangsa
indonesia yang tiada henti-hentinya diterpa persoalan. Untuk memahami persoalan
bangsa saja, para tokoh Akademisi dan Guru Besar yang dilahirkan oleh
kampus-kampus siap saji tidak tau menahu apa yang menjadi persoalan bangsa
indonesia. Sehingga wajar kemudian merka dangkal pemikiran dan pandangannya
atas keadaan bangsa dan persoalan rakyat indonesia, yang mereka pahami adalah
budaya negara-negra Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan lain
sebagainya. Mereka hanya bisa berbual membanding-bandingkan negara indonesia
dengan negara maju.
Hal
inilah yang melatar belakangi mahasiswa saat ini kehilangan semangat belajar,
kehilangan semangat pengabdiannya terhadap bangsa dan rakyat indonesia, karena
sedari dini telah di didik dan dicengkoki dengan teori-teori yang tidak bisa di
ilmiahkan kebenarannya dalam praktik sosial kebangsaan.
Selain
itu juga, kampus tidak memberikan jaminan kepada mahasiswa dalam melakukan
percobaan ilmiah, kebebesan mengeluarkan pendapat. Kebijakan-kebijakan kampus
telah membatasi gerak demokrasi mahasiswa, tidak sedikita mahasiswa yang terkena
skorsing, dipersulit nilai akademik, bahkan ancaman droup out (DO) karena
memperjuangakan hak-hak sosial ekonomi dikampus. Dari beberapa ulasan inilah
kita bisa simpulkan tentang karekteristik perguruan tinggi indonesia yang masih
menjujung tinggi budaya-budaya feodal, tidak heran jika kampus-kampus besar di
indonesia adalah cerminan eksisnya budaya feodal (anti kemajuan tenaga
produktif) seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Pajajaran Bandung
(UNPAD), Universitas Sriwijaya Palembang (UNSRI), dimana kampus-kampus tersebut
adalah wujud nyata dari nama-nama kerajaan feodal di indonesia.
Mutu Pendidikan Indonesia tidak
berkualitas Sepanjang Masa
Sudah
menjadi ketetapan dalam sebuah negara setengah jajahan-setengah feodal seperti
indonesia yang anti kemajuan tenaga produktif, dibawah kepemimpinan rezim
boneka imperialisme, pendidikan justru diorientasikan untuk menjaga kepentingan
imperialisme dalam memonopoli sendidi-sendi kehidupan rakyat dinegara setengah
jajahan dan setengah feodal. Pendidikan layaknya barang dagangan pada umumnya,
untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka rakyat harus bersedia untuk
membayar dengan biaya yang mahal.
Berdasarkan
data yang dimuat harian kompas pada tanggal 23 Maret 2011. Harian kompas
melaporkan bahwa sampai saat ini 88,8% sekolah di indonesia, mulai dari tingkat
SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Dari 201.557
sekolah di indonesia 40,31% berada dibawah standar pelayanan minimal, dan
48,89% berada pada posisi standar pelayanan minimal, hanya 10,15 yang memenuhi
standar pelayanan nasional pendidikan. Dengan keadaan demikian pemerintah
justru gencar mengalokasikan dana bagi RSBI (kompas, 31/3/2011).
Peringkat
kualitas pendidikan indonesia di Asia Tenggara berada pada urutan ke-12 dari 12
negara yang ada di Asia tenggara, hal ini di sampaikan oleh badan survey
Political and Economic Risk (PERC). Bahkan kualitas pendidikan indonesia masih
dibawah veatnam, sementara hasil survey Word Competitiveness Year Book tahun
2007, daya saing pendidikan indonesia berada pada urutan 53 dari negara yang
disurvey, dan data ini diperkuat dengan data yang diterbitkan oleh Time Higher
Education Supplement (THES). Peringkat Perguruan Tinggi (PT) terkemuka di
indonesia seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM)
berada pada peringkat ke-77 dari 77 Perguruan Tinggi dikawasan Asia-Pasifik,
meskipun kampus-kampus tersebut sudah membuka program internasional dan
melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan asing.
Dalam
meningkatkan kualitas pendidikan indonesia, pemerintah justeru menggunakan
cara-cara yang pragmatis dengan menetapkan standar kelulusan nasional melalui
Ujian Nasional (UN). Dari data hasil ujian nasional, tiap tahunnya menunjukkan
hasil yang memprihatinkan, berdasarkan data yang ada terdapat 267 sekolah
dengan tingkat kelulusan nol persen, secara keseluruhan terdapat 154.051 siswa
yang dinyatakan tidak lulus mengikuti ujian nasional tahun 2010.
Dalam
menyikapi persoalan tersebut, pemerintah justeru menyalahkan pihak sekolah dan
para siswa yang dianggap tidak serius menghadapi ujian nasional, benar adanya,
ketika memajukan kualitas pendidikan harus diukur secara kongkrit, akan tetapi
yang menjadi persoalannya adalah faktor-faktor pendukung untuk menopang
kualitas pendidikan tersebut, seperti soal anggaran, fasilitas, dan kaulifikasi
tenaga pendidik dimasing-masing daerah, pada kenyataannya berbeda-beda. Daerah
yang anggaran pendidikannya rendah, fasilitas yang minim dan sedikitnya tenaga
pendidik yang belum memenuhi syarat-syarat kualifiaksi, hal ini tentu tidak
bisa disamakan dengan daerah yang alokasi anggarannya relatif lebih tinggi,
fasilitas yang jauh lebih bagus, dan jumlah tenaga pendidik yang lebih banyak
serta memenuhi syarat kualifikasi.
Meskipun
ada beberapa sekolah yang memilki prestasi bagus ditengah keterbatasan sumber
daya yang dimiliki, akan tetapi hal tersebut tidak menjadi situasi yang umum
terjadi, dengan demikian sudah seharusnya standar kelulusan ditentukan oleh
masing-masing sekolah atau masing-masing daerah. Selain itu, kualitas
pendidikan seharusnya tidak diukur secara formal melalui nilai-nilai tersebut,
melainkan kualitas pendidikan seharusnya diukur dari seberapa besar peran
pendidikan dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Dengan
demikian hakikat pendidikan dapat memajukan tenaga produktif dan kebudayaan
bangsa indonesia sehingga mampu membebaskan diri dari berbagai persoalan yang
dilahirkan oleh sistem setengah jajahan dan setengah feodal.
Tingginya Angka Penganguran adalah
Cerminan Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal
Pendidikan yang mahal ternyata juga tidak sebanding dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS, hingga
Februari 2010 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 107,41 juta orang dari 116
juta angkatan kerja di Indonesia. Maka jumlah pengangguran mencapai 8,59 juta
orang atau sekitar 7,41%. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang
bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang atau 31,42%, sedangkan
bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang atau 68,58%. Maka jumlah
pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,59 juta orang karena yang
bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja
kehilangan pekerjaannya.
Begitupun
dengan jumlah pengangguran terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah
penduduk yang bekerja, sebesar 55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang
berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30 juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau
14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan Diploma I, I, III 2,89 juta atau
hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya 4,6%. Berdasarkan data Bapenas 2012, diantra 237,6 juta penduduk indonesia,
26,8% atau 64 juta jiwanya adalah remaja dengan usia 15-24 tahun.
Belum lagi
keadaan pekerja Indonesia semakin memprihatikan karena politik upah murah yang
diterapkan oleh berbagai perusahaan dan pemerintah, serta tidak adanya jaminan
kepastian kerja dengan diberlakukannya sistem outsourcing.Demikian halnya
dengan jaminan kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja (K3), serta jaminan
sosial lainnya.
Rendahnya Kulitas Pendidikan Tidak Terlepas dari Peran
Guru
Berbicara tentang kualitas
peandidikan tentu tidak terlepas dari peranan guru yang merupakan salah satu
komponen yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan pendidikan. Selogan tentang
“pahlawan tanpa tanda jasa” dimana pemerintah menagrtikannya secara harafiah,
pengabdian guru sama sekali tidak dihargai, kenyataan ini bisa kita lihat dari
rendahnya pendapatan guru, khususnya guru honorer, guru kontrak dan guru bantu.
Jika mengacu pada Depdiknas
tahun 2010, jumlah guru yang berstatus PNS (termasuk PNS pada Depertement Agama
dan PNS yang diperbantukan disekolah swasta) berjumlah 1.579.381 orang, Guru
tetap yayasan: 225.667 orang, Guru honorer daerah: 68.157 orang, serta guru
tidak tetap dan guru bantu: 734.106 orang. Nasib yang memprihatinkan terjadi
pada guru tidak tetap yang diperjakan tanpa ada jaminan hukum atas pemenuhan
hak-haknya, hanya sebatas surat keputusan (SK) kepala sekolah. Itu artinya
bahwa, mereka bisa diberhentikan berdasarkan keputusan kepala sekolah kapan
saja berdasarkan keinginan kepala sekolah. Sementara gaji mereka juga sangat
rendah, hanya sebesar Rp. 200.000/bulan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari tidak mencukupi. Selain itu mereka juga sering mendapatkan tindakan
diskrinatif seperti tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di
sekolah.
Persoalan lainnya juga
terkait dengan persoalan guru adalah perbandingan yang tidak merata antara guru
sekolah negeri dengan guru sekolah swasta. Berdasarkan data Direktorat jendral
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikant (Dirjen PMPTK), hingga
tahun 2009 jumlah guru indonesia mencapai 2.607.311 orang dengan rincian; guru
sekolah negeri mencapai 1.972.735 orang atau sebesar 75,66%, sedangkan guru
sekolah swasta hanya mencapai 634.576 orang atau 24,34%. Begitupun dengan
perbandingan perseberan guru dikota dengan guru didesa, dimana guru yang
bekerja diwilayah pedesaan masih sangat sedikit, bahkan dibeberapa sekolah
terpencil masih ada satu guru untuk masing-masing sekolah.
Jumlah Guru Berdasarkan Status
Kepegawaian
No.
|
Guru Berdasarkan Status
Kepegawaian
|
Jumlah
|
I.
|
Sekolah Negeri
|
|
|
Pegawai Negeri Sipil (PNS
)
|
1.433.474
|
|
Pegawai Negeri Sipil
Depag (PNSDPG)
|
8.602
|
|
Guru Tidak Tetap (GTT)
|
464.083
|
|
Guru Bantu (GB)
|
9.429
|
|
Guru Honorer Daerah (GHD)
|
57.147
|
|
Total Guru disekolah
Negeri
|
1.972.735
|
|
|
|
II.
|
Sekolah Swasta
|
|
|
Guru PNS yang
diperbantukan
|
134. 757.
|
|
Pegawai Negeri Sipil
Depag (PNSDPG)
|
2.548
|
|
Guru Tetap Yayasan (GTY)
|
225.667
|
|
Guru Tidak Tetap (GTT)
|
252.485
|
|
Guru Bantu (GB)
|
8.109
|
|
Guru Honorer Daerah (GHD)
|
11.010
|
|
Total Guru disekolah
Swasta
|
634.576
|
Sumber:
Litbang Majalah Komunitas/Ditjen PMPTK tahun 2009
Sitem SJ-SF Menjadi Akar Persoalan
Kehancuran Pendidikan Indonesia
Jika
mengacu pada penjelasan diatas, telah menjelaskan kepada kita semua akan
peranan pemerintah yang tidak pernah memenuhi tanggung jawabnya atas pendidikan
bagi seluruh rakyat indonesia, justru dengan berbgai macam skema pemerintah
terus berupaya keras melanggengkan praktik liberalisasi pendidikan yang tidak
akan pernah mampu menjawab persoalan rakyat indonesia. Rakyat tidak akan pernah
berdaulat atas kemerdekaannya selama masih dipimpin ileh rezim boneka.
Dibawah
cengkraman dominasi imperialisme pendidikan indonesia akan terus didorong jauh
dari keadaan kongrit rakyat, pendidikan akan terus dikendalikan lewat berbagai budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
individualis.