Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Propaganda Hardiknas 2013

Stop Privatisasi, Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan
Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT)
Bubarkan-WTO!
Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat


Di terbitkan Oleh:
Dept. Pendidikan dan Propaganda
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional


“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsa an Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat … ” (Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat)


Pengantar
Dalam pembangunan dan perjalanan sebuah Negara, didalamnya terdapat pengaruh dari pendidikan atas maju mundurnya Negara tersebut, terutama dalam peran pentingnya untuk memajukan kebudayaan melalui upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran, taraf berfikir dan kemampuan rakyatnya untuk melakukan suatu tindakan dalam mengubah keadaan sosialnya. Secara khusus bagi Indonesia, sejak paska Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 silam, melalui Pembukaan UUD 1945 alenia keempat, Konstitusi mengamanatkan bahwa “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, diletakkan sebagai salah satu tujuan pembentukan Negara. Lebih lanjut, amanat tersebut dipertegas kembali sebagai hak setiap warga negara dan tanggungjawab Negara untuk menyelenggarakannya, dengan menjamin kesempatan bagi seluruh rakyat untuk mengaksesnya secara secara luas dan merata tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, UUD 1945 Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) dan (5) UUD 1945.

Lebih khusus lagi, pemerintah juga telah membuat UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pedoman penyelenggaran pendidikan yang tersistematis (Butuh diperiksa kembali). Dalam UU tersebut (SISDIKNAS), dijelaskan bahwa, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara sesuai dengan perkembangan jaman.

Mengacu pada Amanat konstitusi 1945, untuk dapat mewujudkan tujuan pembentukan Negara tersebut (Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ), hanya akan dapat terwujud ketika pendidikan dapat diselenggarakan secara ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat. Artinya bahwa, pendidikan diselenggarakan berdasarkan situasi objektif masyarakat, baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan. Dalam implementasinya, hal tersebut akan dimanifestasikan dalam system penyelenggaraan, kurikulum, aksesabilitas, dan sarana prasarana pendukung lainnya.
Jadi, pendidikan senantiasa harus dijalankan berdasarkan azaznya sebagai proses dialektika (perkembangan) manusia untuk mengembangkan kemampuan, akal dan pikirannya. Sebagai media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, yakni suatu proses penerapan ilmu pengetahuan serta mencari hipotesa–hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman untuk menjawab problem–problem sosial. Dengan demikian pendidikan tidak tercabut dari kedudukannya sebagai suatu instrument yang melahirkan tenaga-tenaga (Intelektuil dan praktisi) yang akan menjadi mesin penggerak bagi perkembangan hidup massa rakyat yang adil, sejahtera dan berdaulat.
Arti Penting Peringatan Hardiknas 2013
Sudah menjadi tradisi bagi seluruh Rakyat Indonesia, baik Pemerintah maupun Warga Negara diseluruh nusantara senantiasa mengambil prakarsa dalam memperingati hari pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan berbagai bentuk kegiatan stiap tahun. Bahkan setiap Tanggal 2 Mei, sebagai momentum bersejarah bagi Pendidikan di Indonesia dan perjuangan negeri ini, pemerintah telah menetapkannya sebagai hari Libur Nasional.

Dalam sejarahnya, hari pendidikan nasional terlahir sebagai bagian perjuangan panjang bangsa ini, dalam perjuangan merebut kemerdekaan atas penjajahan kolonial Belanda yang sedemikian panjangnya. Selain sebagai upaya untuk memajukan kesadaran dan taraf berfikir rakyat, pendidikan juga telah berperan sebagai media konsolidasi bagi kaum muda terpelajar dan Intelektuil bersama seluruh rakyat untuk merumuskan upaya-upaya melawan penjajahan Belanda. Dengan demikian, maka saat ini harus dipahami pula bahwa sesungguhnya pendidikan bukanlah bagian yang terpisah-pisah dengan seluruh aspek penghidupan rakyat.

Jadi, dalam momentum hardiknas 2013 kali ini, kita tidak lagi dapat dipandang sebagai ceremonial semata, melainkan sebagai ruang untuk memperjuangkan nasib pendidikan yang telah kian jauh dari hakekat dan orientasinya untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa. Sebagai ruang untuk memperjuangkan hak atas pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan perspektif, orientasi dan sistem penyelenggaraan yang sesuai dengan keadaan objektif Rakyat, sehingga pendidikan benar-benar dapat menjawab seluruh persoalan Rakyat. Peringatan momentum ini, sekaligus sebagai ruang konsolidasi dan uapaya-upaya memperbesar dan memperkuat persatuan bagi pelajar, pemuda, mahasiswa dan Intelektuil-intelektuil lainnya bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkan pendidikan yang “Ilmiah, Demokratis dan mengabdi pada Rakyat”. Momentum Hardiknas kali ini, harus dapat diletakkan sebagai bagian perjuangan melawan Liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan yang telah menjadi kenyataan pendidikan Indonesia sekarang ini.    

Secara khusus, peringatan Hardiknas kali ini semakin istimewa mengingat situasi krisis Imperialisme yang kian buruk dan berdampak besar bagi penghidupan rakyat yang kian merosot. Keistimewaan selanjutnya ialah, dimana pada tahun ini Indonesia juga telah ditetapkan sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan besar Imperialisme (MDGs, APEC dan WTO) yang telah digunakan sebagai skema penghisapannya terhadap Rakyat, tidak terkecuali sebagai ruang untuk memperkuat kerjasama dalam menjalankan berbagai skema liberalisasi, termasuk bagi pendidikan. Artinya bahwa, dengan kenyataan-kenyataan tersebut, potensi kian melecutnya kesadaran dan bangkitnya gerakan rakyat yang akan semakin besar dan meluas telah terbuka lebar. Situasi tersebut tentunya akan memberikan keuntungan tersendiri bagi gerakan rakyat untuk terus memperbesar dan memperkuat persatuan melalui kerja-kerja “membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakkan massa” yang dijalankan secara konsisten, Intensif, Massif dan berkesinambungan.

Kondisi Pendidikan saat ini
Espektasi akan terbangunnya bangsa yang cerdas “seperti amanat UUD 1945” dengan tatanan masyarakat yang maju secara ekonomi, politik dan kebudayaan dan tercermin dalam penghidupan yang adil, sejahtera dan berdaulat, sampai saat ini belum bisa terwujud. Sebab kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat jauh dari harapan untuk dapat diabdikan bagi kepentingan Rakyat. Pendidikan saat ini, lebih diorientasikan pada kepentingan pasar semata dan, terbukti tidak pernah mampu menjawab persoalan rakyat.
Faktanya bahwa, dari sekian kali pergantian rezim, pendidikan justeru tidak pernah terlepas dari kepentingan Imperialisme[1] dan borjuasi komprador[2] didalam negeri, baik kepentingan secara Ekonomi: Dapat mendatangkan keuntungan yang besar, Secara Politik: Sebagai mesin yang melahirkan analisis-analisis yang menguatkan, melegitimasi atau bahkan melahirkan suatu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah, dan secara Kebudayaan:  Sebagai corong propaganda, sebagai salah satu sandaran bagi Imperialisme dalam mentranspformasikan ide dan kepentingannya, yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Dominasi imperialisme di Indonesia, secara khusus dilapangan kebudayaan memang sangat fokus pada dunia pendidikan, mulai tingkatan dasar hingga universitas. Imperialis AS dan rezim boneka didalam negeri memastikan seluruh sekolah dan universitas mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi yang membenarkan dan mendukung pandangan dunia imperialisme serta skema penindasan dan penghisapannya di Indonesia.
Isu buruknya sistem pendidikan, mulai sistem pengajaran hingga fasilitas pendukungnya dieksploitasi sedemikian rupa bukan untuk memperbaikinya, akan tetapi dipergunakan sebagai kesempatan untuk mempromosikan privatisasi pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia berada dalam kontrol imperialis AS dan diarahkan untuk mendukung dominasi ekonomi, politik dan kemiliteran  imperialis di Indonesia. Nilai-nilai individualisme dipromosikan secara sistematis di sekolah-sekolah dan universitas dengan tujuan menghancurkan seluruh aspek kolektivisme dan aspirasi persatuan rakyat Indonesia di bawah ide dan tindakan kritisnya.
Sementara itu, pemerintah senantiasa dengan tulus memainkan perannya secara maksimal, dalam memuluskan kehendak sang tuan imperialis. Untuk hal tersebut, pemerintah telah membentuk berbagai produk hukum yang menjadi legitimasi terjadinya Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi pendidikan di Indonesia, seperti: PT BHMN Th. 1999 dengan berbagai varian peraturan sebagai manifestasi kesepakatan GATS-WTO, Th. 1995, lahirnya UU sisdiknas no 20 tahun 2003, yang secara terbuka juga mengatur sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan yang meletakkan dasar terjadinya liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Selanjutnya, UU tentang Guru dan Dosen, tahun 2005 dan, lahirnya UU BHP Th. 2009 dan, yang terbaru yakni Undag-undang pendidikan tinggi (UU PT) no 12 tahun 2012, serta berbagai kebijakan lainnya, seperti pemberlakukan Uang kuliah tunggal (UKT) sebagai salah satu sistem pembayaran pendidikan (khusus dalam pendidikan Tinggi), perubahan kurikulum pendidikan, 2013, RUU pendidikan Kedokteran, dll.
Hingga 68 (enam puluh delapan) tahun diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, terdapat berbagai persoalan sebagai kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi saat ini dibawah kebijakan-kebijakan anti rakyat dan kesesatan orientasi penyelenggaraan pendidikan tersebut, yakni:


1.     Semakin melambungnya Biaya Pendidikan
United Nations-Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), melalui program universalnya yang diberlakukan diseluruh negara Anggotanya (Millenium Development Goals-MDGs) menargetkan bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak sekolah (Usia 7-16 Th) harus dapat menyelesaikan program pendidikan dasar[3].
Sebagai capaiannya hingga akhir tahun 2012 lalu, PBB mengklaim bahwa pendidikan dasar secara universal dalam proses pencapaian target, (Dikatakan masih dalam proses pencapaian target, salah satunya karena target tersebut belum dicapai oleh seluruh Negara Anggota dan juga karena tenggat waktunya masih berjalan hingga tahun 2015). Kenyataannya, hampir setengah dari seluruh anak usia sekolah menengah di negara-negara berkembang berada di luar sekolah (menganggur/tidak sekolah), terutama yang berasal dari keluarga miskin di daerah pedesaan terpencil dimana sekolah umum, guru dan pelayanan sosial dasar lainnya tidak disediakan oleh pemerintah, karena pengetatan fiskal yang dikenakan oleh lembaga keuangan imperialis. Selain itu, disampaing program ilusifnya tersebut, Imperialisme (Kapitalis monopoli) juga mendorong untuk privatisasi dan komersialisasi pendidikan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan dari pembangunan sekolah, biaya dan mengotak atik kurikulum siswa disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan multinasional.
Di Indonesia sendiri, pemerintah (Kemendikbud maupun Presiden) mengklaim bahwa program tersebut yang di implementasikan melalui program pendidikan dasar gratis “Wajib Belajar Sembilan Tahun”, telah tercapai sejak tahun 2009. Kenyataannya, dalam pembiayaan pendidikan dasar Menengah, secara umum terdapat tiga komponen biaya, satu diantaranya masih dibebankan kepada peserta didik, seperti biaya seragam, baiaya buku, biaya ekstra kurikuler serta biaya bimbingan khusus lainnya. Karenanya, persoalan putus sekolah dan melambungnya angka buta huruf-pun kian tak terbendung sebagai salah satu persoalan bagi rakyat Indonesia.

Selanjutnya, untuk pendidikan tinggi, persoalan mahalnya biaya telah semakin menajam, terutama akibat pemberlakukan berbagai kebijakan yang melegitimasi praktek liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan, seperti undang-undang yang terbaru saat ini yakni UU pendidikan tinggi (UU PT). Dibawah UU tersebut, pendidikan tinggi (PT) terus diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana operasional bagi PTN dan PTS yang meliputi pembiayaan investasi, pegawai, operasional, dan pengembangan institusi. Kenyataannya, faktor biaya masih menjadi penghambat atas akses rakyat untuk mengenyam pendidikan Tinggi. Secara umum, biaya pendidikan tinggi diseluruh Indonesia saat ini mulai dari Rp. 700.000 hingga Rp. 200 juta. Biaya yang relatif lebih tinggi, terutama didasarkan pada program study atau jurusan-jurusan khusus (Ex. Kedokteran atau jurusan kesehatan lainnya, Vocasi, dll).

Kebijakan yang terbaru dalam skema pemungutan biaya pendidika tinggi, pemerintah menjalankan skema pembayaran dengan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT[4]). Melalui  edaran yang diterbitkan oleh Dikti pada tahun 2011 dan tahun 2012, serta melalui siaran yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Muh. Nuh) dijelaskan bahwa UKT menghapus seluruh varian biaya yang menjadi Item dalam sistem pembayaran sebelumnya, sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pungutan diluar biaya wajib bagi mahasiswa. Kenyataannya, UKT tidaklah menghapus seluruh varian tersebut, melainkan menggabungkannya (Compose) menjadi satu sehingga tidak keluar dalam banyak varian. Artinya bahwa, UKT-pun tidak memberikan perubahan significant atas biaya pendidikan, bahkan kenyataan dari kampus-kampus yang telah menerapkan UKT (UNTAD-Palu, UNSOED Purwokerto, UGM Yogyakarta, UNUD Denpasar) biaya pendidikannya tetap naik.
Dalam UU tersebut, pemerintah juga mengatur bahwa dengan adanya otonomi, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan untuk menetapkan jenis biaya pendidikan diluar biaya penyelenggaraan pendidikan (SPP) berdasarkan bidang study, tingkat harga kebutuhan wilayah dan kemampuan orang tua atau wali dari peserta didik (Manifest sebagai prinsip penerapan UKT). Hal tersebut bertentangan dengan pasal 28 C ayat (1), pasal 28 E ayat (1) dan 31 ayat (1) UUD 1945. Sebab dengan kondisi yang demikian maka peserta didik tidak dapat memlih secara bebas untuk mengembangkan dirinya yang salah satunya dapat dilakukan dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi dikarenakan dibatasi oleh kemampuan pemenuhan biaya studi.
Secara khusus tentang pemungutan biaya melalui peserta didik (mahasiswa), didalam UU PT yang mengatur bahwa “Pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang Membiayainya, (Pasal 85 ayat (2)”, menerangkan bahwa Bentuk otonomi pengelolaan pendidikan tinggi akan mengeksploitasi peserta didik sebagai sumber pemasukan, dikarenakan ruang bagi institusi pendidikan dalam lahan bisnis sangat minim ataupun dipengaruhi oleh dinamika persaingan antar PT. Bahkan jikapun harus membangun kerjasama dengan perusahaan (swasta maupun milik pemerintah), pasal 65, Ayat 3 tentang dana melalui badan usaha), sesungguhnya pemerintah telah memformlasikan institusi pendidikan menjadi serupa dengan perusahaan yang fokus pada kegiatan investasi.

Artinya bahwa jika terbangun kerjasama atau usaha mandiri sekalipun, pendapatan PT akan sangat ditentukan oleh jenis dan bentuk kerjasama atupun usaha mandiri, besaran saham dan kesepakatan perjanjian Sharing/distribusi hasil. Kenyataannya hal tersebut tidak berpengaruh terhadap aksesabilitas rakyat untuk melanjutkan pendidikan tinggi, karena biaya pendidikan tinggi tetap saja tidak terjangkau. Dalam kebijakan sebelumnya (PT BHMN-BHP), juga mengatur hal yang sama, namun biaya pendidikan tinggi tetap mengalami penaikan mencapai 40-50% pertahun.

2.     Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar
Dunia pendidikan telah terseret dalam arus krisis multidimensi. Karena itu, dunia pendidikan didorong agar dapat membantu mengeluarkan krisis yang sedang terjadi yaitu dengan menciptakan hasil lulusan yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Pemerintah terus memformulasikan pendidikan agar dapat melahirkan tenaga kerja yang siap dibayar murah degan skill yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pemerintah bahkan tidak akan pernah ragu untuk menutup jurusan-jurusan yang dipandang sudah tidak relevan dengan pasar, kemudian digantikan jurusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Demikian hakikat diubahnya kurikulum pendidikan nasional yang di beri nama “kurikulum 2013”. Kaitannya dengan Kurikulum 2013, dalam pidatonya, SBY menyampaikan “Jangan sampai lembaga pendidikan menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang tidak Klop dengan apa yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja, apakah bekerja dijajaran lembaga pemerintah dan negara atau didunia swasta atau diberbagai cabang profesi yang lain“.[5]

Pengembangan kurikulum yang dibutuhkan oleh dunia usaha, upaya perwujudannya juga dilakukan dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan (Vokasi) tingkat pendidikan menengah (SMK, SMEA, STM) baik dengan jurusan teknik, ekonomi, pariwisata, ilmu kesehatan, ilmu pelayaran dll. Pada tahun 2008 rasio perbandingan SMA dengan SMK adalah 70:30, sedangkan pada tahun 2012 perbandingannya adalah 51:49, dan pada tahun 2015 mendatang target MENDIKBUD jumlah SMK mencapai 55% dari sekolah menengah atas yang saat ini berjumlah 22.000 dengan menampung 9 juta siswa. Pada tahun 2020 jumlah SMK ditargetkan mencapai 60%[6]. Adapun daerah yang diprioritaskan pembangunan SMK adalah daerah yang masuk koridor MP3EI dan kabupaten/kota yang angka partisipasi kasarnya dibawah standar nasional.

Pembukaan sekolah yang secara khusus dengan jurusan-jurusan tersebut telah memberikan cadangan tenaga kerja bagi Imperialisme, baik sejak masih menjadi peserta didik (Siswa) maupun setelah lulus sekolah. Semasa dalam proses pembelajaran, perusahaan dapat merekrut tenaga dengan membangun kerjasama dengan pihak sekolah, sehingga dengan dalih “Praktikum, PSG, PKL, dll” siswa dapat dipekerjaan tanpa bayaran selama, 3 atau 6 bulan hingga satu tahun. Setelah lulus sekolah, banyak yang kemudian direkrut melalui proses perjanjian kontrak, atau sistem DW oleh perusahaan-perusahaan dimana peserta didik sebelumnya mengikuti praktikum.

Dengan demikian sangat jelas bahwa orientasi pendidikan indonesia dari masa ke masa tidak ada peningkatan secara mutu dan kualitas, pendidikan hanya diselenggarakan untuk melahirkan lulusan dengan keterampilan terbatas yang siap menjadi buruh dengan standar upah yang sangat rendah. Penyelenggaraan pendidikan tidak diciptakan untuk membangun kemandirian bangsa dalam mengelola keayaan alam, sehingga melahirkan tenaga-tenaga ahli yang siap mengabdikan ilmu pengetahuaannya bagi kepentingan rakyat dan bangsa.  Disisi lain, orientasi yang demikian menunjukan adanya pelepasan tanggung jawab negara atas hak lapangan pekerjaan. Pemerintah tidak lebih dari fasilitator, membuat aturan, mencetak tenaga kerja terampil dan menyerahkannya kepada pasar. Semakin terang bahwa kapitalis birokrat ada untuk kepentingan golongannya dan menjadi musuh rakyat.

Hal serupa juga terimplementasikan dalam pendidikan tinggi yang kenyataannya banyak melibatkan peserta didik dalam proses produksi dengan dalih praktikum, baik di perusahaan-perusahaan atau Industri yang dibuka oleh Pihak kampus sebagai usaha mandiri, maupun perusahaan-perusahan yang memiliki kerjasama dengan pihak kampus. Skema tersebut juga semakin massif dengan dijadikannya institusi pendidikan sebagai media promosi bagi Enterpleneurship sebagai profesi yang menguntungkan dan menjamin masa depan mahasiswa. Tidak heran jika akibatnya kemudian banyak alumni perguruan tinggi yang menjadi Sales, tenaga Even Organizer (EO), ataupun yang percaya diri membangun usaha sendiri berhadap-hadapan dengan perusahaan-perusahan besar milik kapitalis yang telah memonopoli modal, bahan mentah, alat produksi hingga pasar. Skema tersebut saat ini semakin massif dengan dibukanya jurusan-jurusan Vokasi diberbagai perguruan Tinggi.
Skema tersebut sesungguhnya ialah manifest dari skema imperialisme atas perdagangan tenaga kerja, melalui program fleksibelitas pasar tenaga kerja (labour market flexibellity-LMF). UU PT bahkan kembali menjadi Tenaga pendidik (Dosen) dan tenaga kependidikan (Staff, karyawan) sebagai komoditas pasar tenaga kerja, khususnya didalam lingkup perguruan Tinggi. Hal tersebut dalam UU PT pasal 69 ayat 2, diatur bahwa, “Dosen dan tenaga kependidikan diangkat dan ditempatkan di pergutuan tinggi tertentu oleh pemerintah atau badan penyelenggara. Pasal 65 Ayat 1-3,  PTN badan hukum memiliki: “Wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan”, Pasal 70 ayat 2,  “Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan,.
Penjelasan tentang aturan tersebut diatas (sama dengan UU BHP) akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pendidik dan tenaga pendidikan. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan dua pola yakni 1). diangkat oleh pemerintah, kemudian selanjutnya disebut sebagai PNS, dan 2). diangkat oleh badan penyelenggara atau perguruan tinggi yang bersangkutan, kemudian selanjutnya disebut sebagai pegawai perguruan tinggi. Terang bahwa dengan skema tersebut akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Skema ini adalah skema yang dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia di kampus-kampus yang sudah menerapkan PT BHMN dan BHP ataupun BLU sebelumnya tanpa jaminan atas masa depan yang jelas, dimana kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Peraturan tersebut juga diatur dalam pasal 70 ayat 4 dan 6, tentang kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
3.     Kesenjangan dan Diskriminasi antar  Institusi pendidikan
Karena sesatnya Orientasi pendidikan yang tidak terlepas dari tujuan untuk menndatangkan keuntungan yang besar secara ekonomi, telah meletakkan pendidikan kian sarat dengan berbagai bentuk diskriminasi yang semakin mempertajam kesenjangan antar Sekolah. Kesenjangan tersebut tampak dari kondisi sekolah yang ada di kota dengan di pedesaan, terutama terkait dengan ketersediaan saranan prasaran, ketersediaan tenaga pendidik (Guru) maupun tenaga kependidikan lainnya. Kesenjangan tersebut dalam kenyataannya sangat mempengaruhi akses serta kualitas atas pendidika itu sendiri. Ketentuan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang baru beberapa bulan lalu telah dicabut karena dianggap bertentangan dengan Amanat konstitusi serta karena mangakibatkan semakin tingginya jurang diskriminasi dan kesenjangan dalam institusi pendidikan, namun kenyataan sampai saat ini samasekali tidak mengubah keadaan pendidikan yang masih timpang antara satu dengan lainnya.
Diskriminasi dan kesenjangan pendidikan juga terjadi didalam pendidikan tinggi yang semakin tampak, baik kesenjangan antara Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan tinggi berbadan Hukum (PT BH) serta Perguruan Tinggi Asing (PTA). Kesenjangan tersebut muncul dalam bentuk kualitas pendidikan, akses atas anggaran/subsidi pendidikan hingga kesenjangan sosial yang dirasakan oleh Mahasiswanya. Dalam UU PT, hal tersebut adalah konsekwensi lansung yang “utamanya” akan dialami oleh PTS didalam Negeri, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 50 tentang pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia. Dengan adanya pendirian PTA akan membuka peluang adanya penutupan PTS-PTS di Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan PTA yang didirikan di Indonesia maupun dengan PT Badan Hukum, baik karena persaingan atas kualitas yang dimiliki PTA dan PT BH yang dapat lebih baik daripada PTS-PTS di Indonesia dan didukung dengan kemapanan (Establish) PTA-PTA tersebut dalam hal pengelolaan keuangan.
4.     Semakin sempitnya akses rakyat atas pendidikan
Rendahnya akses rakyat atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, selain karena ketersediaan sarana-prasarana yang cukup dan memadai yang masih sangat terbatas (Jumlah PT saat ini, 3.150-PTN dan PTS) juga tidak terlepas karena persoalan mahalnya biaya dan rendahnya anggaran yang disediakan oleh Pemerintah. Realisasi anggaran pendidikan 20% yang disampaikan oleh pemerintah telah terealisai bahkan lebih hingga 20,2%, yakni Tahun 2012 Rp. 285 T dan, Tahun 2013 sebesar Rp.331,8 Triliun.
Kenyataannya, anggaran tersebut termasuk didalamnya alokasi untuk gaji guru yang meliputi gaji pokok, tambahan penghasilan, tunjangan profesi dan insentif daerah. Bahkan celakanya lagi angka tersebut selalu tampak lebih besar karena anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) termasuk dalam akumulasi perhitungan anggaran 20% tersebut. Sedangkan anggaran yang dialokasikan untuk perguruan tinggi hanya sebesar 2,5% dari total anggaran pendidikan. Jika dibagi secara merata dengan total jumlah perguruan tinggi yang ada (3.150 PT), tentu saja 2,5% jumlah yang sangat terbatas. Artinya bahwa sesungguhnya anggaran 20% tersebut masihlah sangat jauh dari reaslisasinya.
Berdasarkan data BPS Maret 2011, jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.233.740 perbulan. Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp.233.740-Rp.280.488 masuk dalam kategori hampir miskin, dengan jumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk Indonesia. Artinya dengan kenyataan demikian, bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik, dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di Indonesia, maka akibat rendahnya anggaran serta mahal dan terus meningkatnya biaya pendidikan, menyebabkan semakin sempit dan tidak terjangkaunya pendidikan bagi rakyat. Berdasarkan data yang dirilis UNESCO-PBB tahun 2011, tercatat sebesar 527.850 orang siswa SD atau samadengan 1,7% dari 31,05 juta siswa SD putus sekolah setiap tahunnya. Untuk pendidikan tinggi sendiri dari total jumlah penduduk Indonesia dengan hitungan usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa, yang terserap dalam PT hanya mencapai 4,8 juta jiwa. Sementara angka tersebut terus berkurang dengan angka putus kuliah (DO) mencapai 150.000 orang setiap tahun.

Per-Agustus 2011, BPS juga menyebutkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa, serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa, dengan pendapatan rata-rata petani dan nelayan (sebagai komposisi yang mayor dari total jumlah populasi dan dari total angkatan kerja di Indonesia) perbulan yang tidak lebih dari Rp.550.000–Rp.750.000 perkapita, tentu merekalah yang secara umum merasakan dampak dari UU PT.
5.     Semakin hilangnya demokratisasi dalam kehidupan kampus
Dari aspek sejarah atau latar belakang lahirnya UU ini, menjelaskan bahwa orientasi atas penyelenggaraan pendidikan tinggi, secara penuh untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan, serta terlepasnya tanggungjawab pemerintah atas pendidikan tersebut. Artinya bahwa, selain untuk mempertahankan keterbelakangan kebudayaan masyarakat Indonesia dan untuk dapat menarik investasi sebesar-besarnya dari sektor pendidikan, maka akan sangat dibutuhkan kestabilan politik didalam kampus. Karenanya, untuk menjamin hal tersebut pemerintah akan terus menghambat bangkitnya kesadaran politik mahasiswa dengan cara menyibukkan mahasiswa dengan berbagai aktifitas akademik seperti memperbanyak tugas kuliah, praktikum dll. guna menjauhkan mahasiswa dari kenyataan sosial masyarakatnya.
Perampasan hak demokratis mahasiswa maupun civitas akademik lainnya akan semakin nyata, dimana akan semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, kebebasan akademik ataupun untuk menjalankan aktfitas politik dan kebudayaan lainnya didalam kampus. Kaitannya dengan hal tersebut, seiring kencangnya gerakan penolakan UU PT, pemerintah terus mempropagandakan “Normalisasi gerakan mahasiswa”, dilahirkannya UU Ke-Ormasan yang akan semakin menyulitkan ruang gerak bagi organisasi rakyat maupun organisasi mahsiswa. Hal tersebut juga diatur dalam UU PT pasal 76 tentang organiasasi kemahasiswa dan  pasal 76 Ayat 3 tentang “dikotomi” organiasasi kemahasiswaan “Intra dan Ekstra”.
Dari pengalaman sebelumnya, (BHMN-BHP) dapat kita lihat dengan pengetatan kebijakan tentang aktifitas dan organiasai kemahasiswa didalam kampus, seperti pemberlakuan jam malam (Mahasiswa berada didalam lingkungan kampus, maksimal sampai dengan Pukul 21.00), ancaman (Skorsing, DO, pengurangan nilai, dll) dan intimidasi bagi mahasiswa yang kritis dan melakukan aktifitas politik didalam kampus. Kenyataannya terdapat berbagai kasus seperti, penangkapan dan pemukulan mahasiwa diberbagai kampus, pembubaran organisasi mahasiswa didalam kampus (UNHAS dan UNM Makasar) droup out (DO) terhadap 23 mahasiswa di UNHAS, DO 9 mahasiswa UNAIR-Surabaya, pemukulan mahasiswa di UII Yogyakarta, penyerangan asrama mahasiswa di Pontianak-KALBAR, pemukulan mahasiswa di kampus STKIP-LOTIM, dan berbagai kasus serupa diberbagai kampus lainnya.
6.     Rendahnya Kualitas Pendidikan
Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia masih meninggalkan berbagai macam persoalan bagi Rakyat. Terus meningkatnya angka pengangguran dan meluasnya kemiskinan adalah potret nyata kualitas pendidikan di Indonesia yang tidak mampu mengubah keadaan social masyarakat, baik secara ekonomi, politik dan kebudayaan, sebagai jaminan atas terwujudnya kesejahteraan secara ekonomi, keadilan secara hukum, partisipatif secara budaya yang mencerminkan kesejahteraan, kedaulatan dan kemerdekaan yang sejatinya bagi rakyat.
Gambaran lain yang juga dapat secara kongkrit menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia adalah kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah (Pejabat pemerintah adalah output dari pendidikan Indonesia) beserta seluruh jajarannya dari tingkat pusat hingga daerah yang samasekali tidak mendukung dan berpihak kepada rakyat. Setiap kebijakan anti rakyat tersebut mencerminkan betapa pemerintah memang tidak memiliki aspirasi untuk mewujudkan kedaulatan bangsa dan kesejahteraan bagi rakyat.
Karenanya, sekali lagi paper ini menegaskan bahwa kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh perspektif dan orientasi penyelenggaraannya, yang kemudian akan tersusun dalam standar mutu yang ditetapkan berdasarkan keadaan objektif masyarakat, perspektif dan orientasi penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Berkaca dari kecenderungan pemerintah saat ini, berbicara soal kualitas pendidikan tentu saja standar mutu pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak mungkin akan sama dengan standar mutu yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Hal tersebut dikarenakan oleh perbedaan perspektif dan orientasi pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dengan aspirasi sejati rakyat.
Namun demikian, jikapun mengikuti standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah, kualitas pendidikan Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Dikancah Internasional (Pe-Rankingan Internasional), pendidikan Indonesia hanya berada pada posisi/urutan ke 124 dari 127 Negara. Bahkan perguruan tinggi-perguruan tinggi unggulan di Indonesia, tidak satupun masuk dalam kualifikasi 200 PT Unggulan klas dunia (The Top of 200 world class University), Universitas Indonesia saja sebagai PT ternama di Indonesia hanya berada pada peringkat 201.
Sedangkan index pertumbuhan manusia (IPM) Indonesia dalam pe-ranking-an Internasional, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara[7]. Dari tahun 2006-2011 Indonesia hanya pernah naik peringkat sebanyak dua kali, yakni tahun 2010-2011 dari 126 Naik ke Peringkat 125 dan, Tahun 2011 naik ke Peringkat 124. Dengan Pertumbuhan rata-rata pertahun: Th. 1980-2011: 1.23%. Th. 1990-2011: 1.19% dan, Tahun 2000-2011: 1.17%. Sedangkan Trend Index Pertumbuhan Manusia (IPM) Indonesia, tahun1980-2011 dengan nilai IPM rata-rata: Th.1980: 0,423. Th. 1990: 0, 481. Th. 2000: 0,543. Th. 2005: 0, 572. 2009: 0,607. Th. 2010: 0, 613. Th. 2011: 0, 617[8].
Dari seluruh kenyataan pendidikan sekarang ini, terbukti bahwa dengan anggaran yang rendah dan biaya yang mahal tersebut, terbukti sama sekali tidak dapat menjamin kualitas pendidikan di Indonesia. Berdasarkan edaran yang dikeluarkan Education For All (EFA), yakni United Nations Development’s Program (UNDP) yang termasuk dalam tujuan pembangunan millenium (MDGs, 2000-2015), menyebutkan bahwa peringkat pendidikan Indonesia pada tahun 2011 berada pada posisi 69 atau menurun hingga 4 (empat) tingkat dari tahun sebelumnya yaitu pada posisi 65 dari 127 Negara.
Untuk perguruan tinggi (PT) sendiri, Peringkat (Ranking) tertinggi yang diraih Indonesia ditingkat Internasional (Dunia) terhitung dari 50 PT di Indonesia hanya mencapai peringkat 569 (ITB), 611 (UGM), 789 (UI) dan disusul  oleh PT lainnya hingga yang paling akhir pada posisi 6210 (UNSOED) dan 6522 (Institut Sains dan Teknologi Akprindo). Selain tidak dapat menjamin kualitas dari pendidikan tersebut, Pemerintah juga terbukti abai atas berbagai persoalan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan fasilitas  dan sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Akar persoalan Pendidikan Indonesia:
Kenyataan pendidikan saat ini, dengan berbagai kebijakan tersebut tidak terlepas dari intervensi Imperialisme melalui berbagai skema dan instrumennya, seperti kerjasama multilateral (Global dan regional) dan bilateral, utamanya kerjasama bilateral Indonesia-Amerika Serikat (US-Indo Comprehensive Partnership). Kerjasama-kerjasama tersebut yang paling universal, yakni seperti Millennium Developments Goals (MDGs) dibawah Payung PBB yang telah menjadi blue print program seluruh Negara Anggotanya, dengan mengatas namakan Pembagunan. Selanjutnya, organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization-WTO) yang menfokuskan kesepakatannya pada liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan pendidikan melalui kesepakatannya tentang perdagangan jasa, yakni General Agreement on Trade and Service (GATS).  
Dalam perkembangan dunia sekarang ini, ditengah hantaman krisis yang secara bergelombang terus menghantam langsung ke jantung Imperialisme, utamanya Amerika Serikat dan Negara-negara Imperialisme lainnya dikawasan Eropa, semakin terang menjelaskan bahwa sistem kapitalisme adalah sistem yang hanya akan menjerumuskan rakyat dalam penghidupan yang secara bertahap terus merosot dan mematikan. Disisi yang lain, seluruh upaya imperialisme dalam meyelesaikan krisisnya, telah menjadi kebijakan-kebijakan baru yang terus menindas rakyat semakin tajam. Terang bahwa, seluruh ilusi yang ditebarkan tentang kebaikan dari sistem kapitalisme, tidak kurang hanya sebagai tipu muslihat untuk mengelabui rakyat agar tetap percaya bahwa sistem kapitalisme adalah sistem ekonomi yang adil dan humanis.
Kenyataannya, seluruh skema yang diterapkan oleh imperialisme dan telah dipaksakan di negeri-negeri berkembang dan bergantung yang secara lansung berada dibawah dominasinya, telah menyebabkan penderitaan rakyat yang semakin hari semakin menyakitkan. Di Indonesia, seperti halnya terhadap negara-negara berkembang dan bergantung lainnya yang senantiasa dijadikan sebagai sandarannya dalam mempertahankan sistem usang tersebut, Imperialisme tidak sama sekali memiliki kehendak untuk memajukan pendidikan. Hal tersebut didasarkan pada kepentingan yang sedemikian komprehensif, karenanya Imperialisme akan terus mempertahankan keterbelakangan budaya dari Negara-negara yang kongkrit berada dibawah dominasinya. Secara terus menerus, Imperialisme akan memaksimalkan peran dari Rezim boneka bentukannya di Negara tersebut.
Artinya, seluruh persoalan rakyat di Indonesia termasuk persoalan atas pendidikan yang “Tidak Ilmiah, Tidak Demokratis dan tidak mengabdi pada Rakyat” adalah kondisi khusus yang diciptakan terhadap Negeri setengah jajahan dan setengah Feodal (SJSF). Persoalan inilah (SJSF) yang menjadi akar dari seluruh Persoalan Rakyat Indonesia. Dibawah sistem usang tersebut, seluruh rakyat tidak akan pernah mendapatkan hak dasarnya secara utuh. Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalisme Birokrat akan terus menghambat perkembangan budaya dan merampas seluruh hak dasar rakyat.
Atas dasar tersebut, maka tidak ada jalan lain bagi seluruh rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu penghisapan tiga musuh utamanya tersebut (Imperialisme, Feodalisme dan Kaiptalisme Birokrat) melainkan dengan terus berusaha menyatukan diri dan berjuang bersama untuk menghancurkan dominasinya. Seluruh Rakyat tidak boleh lagi melakukan perjuangannya secara terpisah-pisah, Pemuda dan mahasiswa, tidak lagi boleh memandang sebelah mata persoalan rakyat disektor lainnya. Selain focus menyelesaikan persoalan khususnnya secara  sektoral, pemuda dan mahasiswa harus mampu menghubungkannya dengan persoalan rakyat di sector lainnya, kemudian terintegrasi dalam setiap bentuk perjuangan rakyat tersebut.
Berdasarkan Uraian diatas, maka dalam momentum hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2013 ini, Front Mahasiswa Nasional (FMN), menyatakan sikap: Stop Privatisasi, Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan-Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT), Bubarkan-WTO dan Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat. Melalui Momentum ini pula, FMN Menuntut:

1.       Hentikan Liberalisasi, Privatisasi dan komersialisasi pendidikan!
2.       Cabut Undang-undang pendidikan tinggi (UU DIKTI) No. 12, Thn. 2012.
3.       Tolak pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
4.       Tolak Kurikulum baru Thn 2013
5.       Hentikan Kriminalisasi dan Tindakan anti demokrasi di lingkungan pendidikan-Wujudkan kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat dimuka umum
6.       Hentikan Diskriminasi dan Wujudkan kebebasan mimbar akademik dilingkungan pendidikan
7.       Tingkat kesejahteraan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan
8.       Usut korupsi di dunia pendidikan
9.       Tolak RUU KAMNAS dan RUU ORMAS
10.  Tolak kenaikan harga BBM.
11.  Hentikan Liberalisasi perdagangan dan Bubarkan WTO.

Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Peruangan Rakyat!

~Pemuda Mahasiswa~
“Belajar, Berorganisasi dan Berjuang bersama Rakyat!”



[1] IMPERIALISME: Kapitalisme monopoli, yakni Fase akhir atau puncak tertinggi dari sistem kapitalisme. Secara esensial, didalam fase inilah watak dari sistem kapitalisme semakin nyata (Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif) yang tercermn dalam hubungan produksinya yang semakin anarkis dan brutal dalam menghisap rakyat,-R. Kamus Progressif, Buletin Gelora, tentang Imperialisme.  
[2] BORJUASI BESAR KOMPRADOR, Yakni pengusaha yang terhubung lansung dengan kapitalisme monopoli (Imperialisme)
[3] Tujuan MDGs kedua, “Mencapai Pendidikan Dasar Universal (Education For All)
[4] Implementasi UU PT dalam sistem pembayaran pendidikan tinggi
[5] http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2013/04/02/2090, pada tanggal .html,” transkrip pengantar presiden republik indonesia pada rapat terbatas tentang kurikulum pendidikan 2013 kantor presiden 2 april 2013 “  
[7] Comprehensive Report of UNDP for Human development Index (HDI), (Human Development Report 2011, Key to HDI Countries and Ranks, 2011. Hal. 126)
[8] Comprehensive Report of UNDP for Human development Index (HDI) 2011, (Human Development Index trends, 1980-2011, Tabel 2. Hal. 133)