Propaganda Hardiknas 2014
Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi
(UU DIKTI) & Tolak
UKT. Hentikan Liberalisasi, Privatisasi, dan
Komersialisasi Pendidikan-
Oleh:
Dept. Pendidikan dan Propaganda
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional
Pendahuluan
Pendidikan adalah bagian yang tidak
bisa terpisahkan dari kehidupan rakyat. Pendidikan adalah alat untuk memajukan
taraf kebudayaan rakyat dan menjawab seluruh persoalannya. Demikian pula dengan
semangat pendirian sebuah negara, negara pada pembentukannya tentu
memprioritaskan agar pendidikan dijadikan sebagai salah-satu tujuan utamanya.
Begitu pula halnya dengan Indonesia. Pada saat proklamasi 1945,
pendidikan dijadikan sebagai
salah-satu tujuan, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Untuk mencapai cita-cita tersebut
maka pendidikan haruslah diletakan pada posisi yang tepat. Pendidikan haruslah sesuai dengan kondisi masyarakat. Sehingga pendidikan dapat menganalisis dan menyelesaikan permasalahan yang
terjadi. Dengan demikian,
pendidikan mampu menjawab permasalahan dengan meningkatkan akal, fikiran, serta
taraf kebudayaan rakyat, sehingga dapat menuntunnya mencari jalan keluar atas segala
persoalannya.
Demikian pentingnya posisi
pendidikan dalam bangsa dan negara Indonesia ini, sehingga terukirnya
momentum Hari Pendidikan Nasional, setiap tanggal 2 Mei sebagai hasil perjuangan rakyat Indonesia.
Momentum Hardiknas harus menjadi sarana sebagai salah-satu dari bagian perjuangan rakyat secara terus-menerus untuk melawan
liberalisasi, privatisasi, dan
komersialisasi pendidikan yang menjadi gambaran pendidikan Indonesia
saat ini.
Kondisi Umum Pendidikan
Indonesia
Masalah pendidikan telah menjadi arena liberalisasi, komersialisasi
dan privatsasi dari klas-klas reaksi dan golangan kapitalis birokrat yang anti
rakyat. Tujuan pendidikan telah melenceng jauh dari cita-cita mulianya untuk
membebaskan manusia Indonesia dari penjajahan Imperialisme dan Feodalisme yang
terbelakang[1].
Hingga saat ini, pendidikan bahkan ditujukan untuk merawat dan melanggengkan
sistem tua setengah jajahan dan setengah feodal yang telah terbukti menindas
dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Espektasi akan terbangunnya bangsa yang
cerdas “seperti amanat UUD 1945” dengan tatanan masyarakat yang maju secara
ekonomi, politik dan kebudayaan dan tercermin dalam penghidupan yang adil,
sejahtera dan berdaulat, sampai saat ini belum bisa terwujud. Sebab
kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat jauh dari harapan
untuk dapat diabdikan bagi kepentingan Rakyat. Pendidikan saat ini, lebih diorientasikan
pada kepentingan Imperiaisme,
Feodalisme dan Kapitalisme birokrat, yang terbukti tidak pernah
mampu menjawab persoalan rakyat.
Faktanya bahwa, dari sekian kali
pergantian rezim, pendidikan justeru tidak pernah terlepas dari kepentingan
Imperialisme[2]
dan borjuasi komprador[3]
didalam negeri, baik kepentingan secara Ekonomi: institusi yang berorientasi meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya. Menjadikan institusi pendidikan menjadi
lembaga bak perusahan yang menerapkan liberalisasi, komersialisasi dan
privatisasi. Dengan demikian berdampak pada pendidikan yang mahal dan
menciptakan tenaga kerja yang murah., Secara Politik: Sebagai mesin yang melahirkan analisis-analisis yang menguatkan, melegitimasi
atau bahkan melahirkan suatu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah
yang mengfabdi kepada Imperialisme dan feodalisme,
dan secara Kebudayaan: Sebagai
corong propaganda, sebagai salah satu sandaran bagi Imperialisme dalam mentransformasikan
ide dan kepentingannya, yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan
rakyat.
Dominasi imperialisme di Indonesia,
secara khusus dilapangan kebudayaan memang sangat fokus pada dunia pendidikan,
mulai tingkatan dasar hingga universitas. Imperialis AS dan rezim boneka
didalam negeri memastikan seluruh sekolah dan universitas mempelajari ilmu
pengetahuan dan teknologi yang membenarkan dan mendukung pandangan dunia
imperialisme serta skema penindasan dan penghisapannya di Indonesia.
Isu buruknya sistem pendidikan, mulai
sistem pengajaran hingga fasilitas pendukungnya dieksploitasi sedemikian rupa
bukan untuk memperbaikinya, akan tetapi dipergunakan sebagai kesempatan untuk
mempromosikan privatisasi pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia berada dalam
kontrol imperialis AS dan diarahkan untuk mendukung dominasi ekonomi, politik
dan kemiliteran imperialis di Indonesia.
Nilai-nilai individualisme dipromosikan secara sistematis di sekolah-sekolah
dan universitas dengan tujuan menghancurkan seluruh aspek kolektivisme dan
aspirasi persatuan rakyat Indonesia di bawah ide dan tindakan kritisnya.
Sementara itu, pemerintah senantiasa
dengan tulus memainkan perannya secara maksimal, dalam memuluskan kehendak sang
tuan imperialis. Untuk hal tersebut, pemerintah telah membentuk berbagai produk
hukum yang menjadi legitimasi terjadinya Liberalisasi, Privatisasi dan
Komersialisasi pendidikan di Indonesia, seperti: PT BHMN Th. 1999 dengan
berbagai varian peraturan sebagai manifestasi kesepakatan GATS-WTO, Th. 1995, lahirnya
UU sisdiknas no 20 tahun 2003, yang secara terbuka juga mengatur sistem
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan yang meletakkan dasar terjadinya
liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Selanjutnya, UU
tentang Guru dan Dosen, tahun 2005 dan, lahirnya UU BHP Th. 2009 dan, yang
terbaru yakni Undag-undang pendidikan tinggi (UU DIKTI) no 12 tahun 2012, serta
berbagai kebijakan lainnya, seperti pemberlakukan Uang kuliah tunggal (UKT)
sebagai salah satu sistem pembayaran pendidikan (khusus dalam pendidikan
Tinggi), perubahan kurikulum pendidikan, 2013, RUU pendidikan Kedokteran, dll.
Dunia
pendidikan telah terseret dalam arus krisis multidimensi. Karena itu, dunia
pendidikan didorong agar dapat membantu mengeluarkan krisis yang sedang terjadi
yaitu dengan menciptakan hasil lulusan yang relevan dengan kebutuhan pasar
tenaga kerja. Pemerintah terus memformulasikan pendidikan agar dapat melahirkan
tenaga kerja yang siap dibayar murah dengan skill yang sesuai dengan kebutuhan
pasar. Pemerintah bahkan tidak akan pernah ragu untuk menutup jurusan-jurusan
yang dipandang sudah tidak relevan dengan pasar, kemudian digantikan jurusan
yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Demikian hakikat diubahnya kurikulum
pendidikan nasional yang diberi nama “kurikulum
2013”. Kaitannya dengan Kurikulum 2013, dalam pidatonya, SBY menyampaikan “Jangan sampai lembaga pendidikan
menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang tidak
Klop dengan apa yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja, apakah bekerja
dijajaran lembaga pemerintah dan negara atau didunia swasta atau diberbagai
cabang profesi yang lain“.[4]
Pengembangan kurikulum yang dibutuhkan
oleh dunia usaha, upaya perwujudannya juga dilakukan dengan memperbanyak
sekolah-sekolah kejuruan (Vokasi) tingkat pendidikan menengah (SMK, SMEA, STM)
baik dengan jurusan teknik, ekonomi, pariwisata, ilmu kesehatan, ilmu pelayaran
dll. Pada tahun 2008 rasio perbandingan SMA dengan SMK adalah 70:30, sedangkan
pada tahun 2012 perbandingannya adalah 51:49, dan pada tahun 2015 mendatang
target MENDIKBUD jumlah SMK mencapai 55% dari sekolah menengah atas yang saat
ini berjumlah 22.000 dengan menampung 9 juta siswa. Pada tahun 2020 jumlah SMK
ditargetkan mencapai 60%[5].
Adapun daerah yang diprioritaskan pembangunan SMK adalah daerah yang masuk
koridor MP3EI dan kabupaten/kota yang angka partisipasi kasarnya dibawah
standar nasional.
Seluruh amanat dalam Pembukaan
dan isi UUD 1945 untuk menyelenggarakan pendidikan nasional, pun sepertinya tidak berlaku
sebagaimana sudah diatur. Berbagai kebijakan yang diambil untuk meningkatkan
akses rakyat atas pendidikan menjadi khiasan belaka yang tak bermakna. Mahalnya
biaya pendidikan menjadi factor utama tingginya angka putus sekolah dari sekolah dasar sampai
pendidikan tinggi. Pada tahun 2013 saja, angka putus sekolah mencapai 182.773
anak. Sementara tingkatan SMP mencapai 209.976 anak. Sedangkan tingkatan SMA
yang putus sekolah sebanyak 223.676 anak.[6]
Kemudian Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan
ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya. Kemudian dari jumlah tersebut, yang
sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Tentu Ini jumlah yang sangat
memprihatinkan dan membongkar kebohongan sekolah gratis sebagai program 9 tahun
wajib belajar seperti yang digalak-galakkan oleh pemerintah. Sementara itu,
dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil
lulus hanya sekitar 10 persen. Sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi
hanya sekitar 1,4 persen.[7] Kemudian Program sistem kurikulum yang selalu
berubah-ubah ibarat “kelinci percobaan”. Pemerintah seolah-olah menunjukkan
keseriusannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas akses
mendapatkan pendidikan. Sementara kita paham bahwa sistem pendidikan nasional
yang diterapkan oleh pemerintah, tentu secara prinsip mempunyai orientasi untuk
melanggengkan kepentingan imperialisme dan feodalisme di Indonesia untuk meraup
keuntungan atas pendidikan, menciptakan tenaga kerja murah, serta
mempertahankan kebudayaan yang terbelakang dan lama. Liat saja program
kurikulum pendidikan 2014
Sebagaimana kita
ketahui, Rezim SBY melalu kacungnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), telah mengucurkan bantuan dana pendidikan melalui Program
Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program BSM disebut-sebut menjadi satu dari enam
program prioritas Kemendikbud pada 2014 nanti. Adapun lima program prioritas
lainnya ialah Pendidikan Menengah Universal (PMU), Kurikulum 2013, peningkatan
kualitas guru, rehabilitasi sarana prasarana, dan afirmasi daerah tertinggal [8].
Seluruhnya hanyalah sistem kurikulum
yang tambal sulam yang hanya menambah anggaran dan tentu tidak akan
berhasil meningkatkan pendidikan sebagaimana dijelaskan angka putus sekolah di
atas.
Kondisi Pendidikan
Tinggi Indonesia
Pendidikan tinggi adalah jenjang
tertinggi dari tahapan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam hal ini,
pendidikan tinggi harus juga berusaha keras untuk membangun dan membentuk pola
pikir dalam menggali ilmu pengetahuan (teoritik) dan menerapkannya untuk
menjawab persoalan rakyat (Praktik). Perpaduan antara pengembangan teori dan
memajukan praktik adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan dari konsepsi
pendidikan sejati. Tahap inilah yang kemudian akan melahirkan para intelektual
yang bertujuan untuk membangun masyarakat. Sumbangsihnya kemudian akan
ditujukan untuk membangun bangsa baik secara, ekonomi, politik, budaya, maupun
teknologi. Demikian pula yang seharusnya ada dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Pendidikan tinggi di Indonesia saat
ini kerap mendapat sorotan dan beragam penilaian. Sorotan dan penilaian
terhadap perjalanan pendidikan tinggi di Indonesia dikarenakan pendidikan
tinggi di Indonesia sudah disorientasi. Disorientasi yang dimaksud adalah
tercerabutnya orientasi pendidikan dari hakekatnya. Pendidikan tinggi di
Indonesia keluar dari frame untuk
menjawab persoalan pokok rakyat. Namun, pendidikan dijadikan arena
liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi. Dalam perjalannya, pendidikan
tinggi di Indonesia kerap ditambal-sulam melalui kebijakan rezim yang silih
berganti. Kebijakan terbaru dengan bentuk peraturan perundang-undangan adalah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang lazim disebut
dengan UU DIKTI.
Latar belakang lahirnya UU DIKTI ini
berkaitan erat dengan dinamika ekonomi politik dunia. Dalam kancah atau ranah
ekonomi politik dunia saat ini, saat dimana kapitalisme sudah
tersentral/monopoli. Zaman yang demikian
disebut sebagai imperialisme, dimana sistem masyarakat diatur sedemikian rupa
untuk menyokong kepentingan dari para kapitalis monopoli internasional. Begitu
pula dengan yang terjadi di negara Indonesia, negara yang dipimpin oleh rezim
boneka. Indonesia sebagai negara setengah jajahan dari imperialisme AS didesak
untuk melakukan liberalisasi disegala sektor, termasuk sektor pendidikan.
Liberalisasi pendidikan ini termanifestasi dengan cara pencabutan subsidi,
deregulasi, dan privatisasi. Hal ini terjadi berkat dorongan dan kesepakatan
pemerintah Indonesia denga imperialisme melalui perjanjian-perjanjian di dalam
forum-forum internasional, seperti WTO.
Melalui WTO, pada tahun 1995
meratifikasi GATS. Dalam GATS mengatur bahwa, bagi negara-negara yang sedang
berkembang untuk melalukan proses liberalisasi 12 sektor jasa, yang salah
satunya adalah pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi kemudian diharapkan menjadi
komoditas yang dapat diperjual-belikan skala internasional. Hal ini ditujukan
untuk menerapkan liberalisasi di dunia penddikan tinggi. Dalam prosesnya,
terjadi bermacam penerapan seperti PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang PT BHMN.
Perturan tersebut telah membawa dan
mengubah status dari beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan
Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Ada 5 PTN berubah statusnya, UI,
ITB, IPB, UGM, dan UNAIR. Hal ini akhirnya menyebabkan ke lima PT BHMN tersebut
dapat melakukan pencarian dana secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan biaya
penyelenggaraan pendidikannya. Pencarian biaya tersebut bisa dilakukan dengan menerapkan
beberapa kebijakan dan peraturan otonom.
Kemudian, hal inilah yang
menyebabkan banyak PTN ingin mengubah statusnya menjadi PT BHMN karena dinilai
lebih berhari depan (menguntungkan). Dalam hal ini, perguruan tinggi kemudian
menjadi ladang komersil dan menyebabkan semakin tidak terjangkaunya biaya
pendidikan tinggi dari rakyat Indonesia yang berpenghasilan rendah. Kemudian,
hal ini yang mendorong rezim untuk membuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan payung hukum yang mencakup
seluruh elemen dalam pendidikan nasional secara umum. Dalam UU Sisdiknas ini
kemudian diatur tentang otonomi dan badan hukum pendidikan. Sehingga dalam
perjalannya melahirkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(UU BHP). Kemudian lahir pula PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan yang mengacu pada peraturan dan bentuk berupa Badan
Layanan Umum (BLU). Hal ini yang selanjutnya menyebabkan PTN berbondong-bondong
untuk menjadi PT BHP maupun PT BLU.
Pada Maret 2010, UU BHP kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan juga PP Nomor 17 Tahun 2010 diubah menjadi PP Nomor 66
Tahun 2010 yang di dalamnya terjadi perubahan status pengelolaan keuangan bagi
PT BHMN dan PT BHP mejadi bentuk PTN BLU ataupun PTN saja. Akan tetapi, belum
selesai perjuangan untuk mewujudkan pendidikan tinggi menjadi lebih baik,
pemerintah kemudian memunculkan kembali suatu produk hukum berupa UU DIKTI.
Imperialisme yang merupakan tahapan
tertinggi dari kapitalisme terus
berusaha mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan. Kemudian,
dalam praktiknya kapitalis monopoli dengan menggunakan WTO dan Bank Dunia
melakukan penetrasi untuk melakukan liberalisasi pendidikan. Lembaga-lembaga
tersebut mendorong dan menyuarakan agar institusi pendidikan melakukan
difrensiasi institusi atau dengan kata lain mengkelompokan institusi
pendidikan, juga melakukan intervensi dalam hal pembiayaan, mendefinisakan
kembali peran pemerintah, sehingga kedua hal belakang ini dijadikan saran lepas
tanggung-jawab
pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. WTO dan Bank Dunia juga menekan
agar melakukan proses otonomi untuk efisiensi, serta mendorong agar pendidikan
tinggi (Institusi) harus memiliki hubungan kerja sama dengan sektor privat baik
dalam maupun luar negeri.
Dalam UU DIKTI seluruh keinginan dan
kemauan yang diajukan oleh para kapitalis monopoli telah diakomodir. Sehingga
bentuk rezim boneka yang terus mengabdi pada kepentingan imperialisme terlihat
jelas. Pada naskah resmi UU DIKTI, pasal 48 khususnya ayat 1 dan 4, perguruan
tinggi diwajibkan untuk melakuan kerjasama dan pengabdiannya kepada dunia usaha
dan industri, kemudian pemerintah juga berkewajiban memfasilitasi kerjasama dan
kemitraan perguruan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri. Hal ini
memperjelas bahwa pendidikan tinggi diorientasikan untuk mengabdi pada dunia
usaha dan industri yang dikuasai oleh para kapitalis monopoli, sehingga
perguruan tinggi melalui penelitiannya dan para intelektualnya dapat disetorkan
untuk tetap menstabilkan kepentingan imperialisme di Indonesia. Lalu, Pasal 65
tentang wewenang PTN menerapkan sistem pengelolaan BLU dan PTN Badan Hukum.
Pada pasal ini ditegaskan bahwa PTN dengan kualifikasi tertentu yang ditentukan
oleh menteri dapat diberikan keleluasaan untuk melakuakan usaha mandiri dalam hal akademik
maupun non akademik. Perguruan tinggi kemudian dapat mengelola keuangan dan
membuat/membentuk/mendirikan unit usaha dan menetapkan sumber pemasukan lain
untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sementara, pada Pasal 85 UU DIKTI
membatasi dan membagi beban pembiayaan pendidikan tinggi yang merupakan
tanggung jawab penuh pemerintah kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan atau
yang membiayainya. Hal inilah yang sangat memungkinkan perguruan tinggi
memungut biaya pendidikan yang tinggi dari rakyat dan menumpahkan bebannya
kepada rakyat. Pada Pasal 86, disini juga terlihat bagaimana dominasi kapitalis
monopoli internasional dalam menetukan nasib pendidikan tinggi. UU DIKTI menghendaki
pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri
untuk memberikan bantuan kepada perguruan tinggi, kemudain setelah itu
pemerintah akan memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia insdustri yang
telah memberikan bantuan atau sumbangan untuk penyelenggaraan pendidikan. Dalam
hal ini, pemerintah kembali membagi atau menggantungkan nasib dunia pendidikan
tinggi kepada kebaikan para kapitalis monopoli.
Kemudian perihal pendanaan yang
selanjutnya, dijelaskan pada pasal 87. Pasal ini memberikan hak kepada
perguruan tinggi untuk mengelola kekayaan negara untuk membantu pembiayaan
penyelenggaraan. Hal ini yang menyebabkan beberap universitas seperti
Universitas Sumatra Utara/USU menjadi salahsatu tuan tanah, karena menguasai
perkebunan berhektar-hektar. Sementara Pasal 88 dan 89 adalah penegasan kembali
pembagian pembiayaan pendidikan tinggi. Negara dalam hal ini direpresentasikan
oleh pemerintah memang memberikan dana bantuan, namun hal ini ditujukan untuk
mengukur seberapa banyak dan besar biaya yang akan ditanggung mahasiswa dan
calon mahasiswa untuk dibebani biaya pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dari pasal
89 ayat 3 draft yang menjelaskan pemerintah paling sedikit mengalokasikan
2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana bantuan operasional. Bantuan
dana operasional di PTN meliputi untuk membiayai investasi, pegawai, operasional, dan
pengembangan institusi dan di PTS meliputi untuk investasi dan pembangunan.[9]Kenyataan tersebut terwujud dalam APBN-P 2012
anggaran pendidikan adalah Rp 285 Triliun. Kurang lebih 137 Triliun dari 285
Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100 Triliun lebih anggaran ditransfer ke
daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji guru, dan pembangunan sekolah. Sebanyak
Rp 50 Triliun untuk kementrian lainnya. Sebanyak 57,8 Triliun anggaran dikelola
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara anggaran untuk pendidikan
tinggi hanya 5 Triliun pertahunnya untuk 3000an PTN dan PTS di Indonesia.[10]
Kemudian, pada Pasal 90 mengatur mengenai
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi luar negeri. Hal ini
mencerminkan bahwa UU DIKTI adalah undang-undang yang meliberalkan pendidikan
tinggi, bahwa perguruan tinggi luar negeri dapat berdiri di Indonesia adalah
hal yang menjadikan peran dan tanggung jawab pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan tinggi telah dibatasi dan dibelenggu oleh kepentingan bisnis
pendidikan.
Penjabaran dan penjelasan beberapa
pasal dalam UU DIKTI membuktikan bahwa UU ini sarat dengan intervensi
imperilaisme. UU DIKTI berorientasi untuk tetap mendukung status quo dari rezim boneka para kapitalis birokrat. Hal ini yang
mengantarkan UU DIKTI pada orientasi sistem pendidikan tinggi yang liberal,
komersil, dan lepas dari tanggung jawab pemerintah.
Lepasnya Tanggung Jawab
Pemerintah dalam Hal Pembiayaan Pendidikan Tinggi
Pembacaan seksama dalam menelaah isi
dari UU DIKTI akan mengantarkan analisa pada kesimpulan bahwa pemerintah telah
lepas tangan untuk membiayai pendidikan tinggi. Dalam isinya UU ini tercantum
bahwa pemerintah memberikan atau membiayai melalui anggaran APBN dan APBD, akan
tetapi hal tersebut bertentangan dengan kewajiban mahasiswa, orang tua
mahasiswa, untuk ikut serta dalam membiayai pendididikan tinggi.
Selain itu, pemerintah juga secara
terang menjabarkan bahwa pembiayaan/pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi
juga di lemparkan kepada masyarakat serta dunia usaha. Hal ini menimbulkan
keraguan dalam argumentasinya, sehingga dapat menyebabkan kewajiban pemerintah
menjadi pilihan untuk membiayai, serta membuka pintu untuk menanggalkan tangung
jawabnya.
Konsekuensinya adalah masyarakat
dibebani tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi. Dalam hal ini, mucul
kepastian bahwa rakyat akan dibatasi aksesnya, bahkan ditutup untuk mereka para
buruh, tani, pegawai rendahan, miskin perkotaan, dll. Hal ini sudah jelas
melanggar amanat konstitusi yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dan Pasal 31 UUD 1945 tentang hak atas pendidikan untuk seluruh warga negara.
Selain itu, pendidikan tinggi yang diatur oleh UU DIKTI akan memungkinkan terus
melonjak naiknya biaya pendidikan, dikarenakan adanya otonomi yang diberikan
pemerintah kepada perguruan timggi untuk mengelola dan menentukan kebutuhan
dana penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. Sehingga ini akan membatasi
akses peserta didik yang miskin dan bodoh, sehingga kemiskinan dan kebodohan
tetap dijaga dan dilestarikan oleh UU DIKTI ini.
UKT adalah Manifestasi
dari Komersialisasi Pendidikan yang dibenarkan oleh UU DIKTI
Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah
jenis biaya tunggal yang harus dibayarkan oleh mahasisiwa per semester pada
perguruan tinggi. UKT adalah hasil dari pembagian seluruh beban pembiayaan
operasional pendidikan tinggi, keseluruhan biaya ini kemudian disebut Biaya
Kuliah Tunggal (BKT). BKT sendiri dirumuskan sebagai dasar penetapan biaya yang
akan dibebani kepada mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah. Sehingga dalam
konsepsi dan penerapannya jelas bahwa UKT adalah bukti nyata dari lepas
tanggung jawabnya pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi.
UKT menjadi seakan baik atau adil
karena didalamnya terdapat konsepsi bahwa UKT disesuaikan atau ditentukan
berdasarkan kelompok kemampuan ekonomi masyarakat. Dalam hal ini, pembagian
kelompoknya pun bervariasi, antara 3-8 kelompok. Asumsinya adalah semakin
tinggi kelompoknya semakin besar biaya kuliahnya/UKT nya. Namun pada Peraturan
Menteri DikBud tentang BKT dan UKT, tercantum bahwa sedikitnya hanya 5% yang
ditampung dalam kelompok 1dan 2, yang biayanya berkisar 500.000-1.000.000. sementara
itu pada kelompok 3-8, biayanya berkisar 1.500.000-25.000.000.[11]
pada kelompok yang belakangan inilah dimaksimalkannya penerimaan mahasiswa.
UKT adalah bagian yang terintegrasi
dalam satuan sistem dibawah naungan UU DIKTI. Semangat otonomi yang desuarakan
oleh UU DIKTI kemudian termanifestasi kedalam bentuk proses penetapan UKT di
masing-masing perguruan tinggi. Dalam hal ini, perguruan tinggi diberikan
keleluasaan untuk menghitung seluruh biaya operasionalnya dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Hal ini yang menjadi dasar penetapan Biaya
Kuliah Tunggal. BKT ini yang kemudian bisa disebut sebagai beban biaya
pendidikan. Beban biaya ini yang akan dibebankan kemudian ke mahasiswa setelah
dikurangi dana bantuan operasional pendidikan yang diberikan oleh pemerintah,
kemudian dibagi lagi dengan dana dari masyarakat (dunia usaha, dunia industri,
dll), baru sisanya kemudian yang dibebankan kepada mahasiswa. Melihat pembagian
ini, jelas sudah sangat sama dengan mekanisme
yang tertulis dalam UU DIKTI, BAB V tentang Pendanaan dan Pembiayaan,
pasal 83-87. Dengan demikian jelas bahwa UKT seperti halnya UU DIKTI adalah
bentuk nyata dari komersialisasi pendidikan tinggi, yang pasti akan menutup
akses rakyat untuk mendapat pendidikan dan akan menghalangi tercapainya
cita-cita bangsa untuk mencerdaskan seluruh rakyatnya.
Penutup
Kemerosostan hakekat pendidikan di
Indonesia telah dibuktikan dengan bermacam skema yang dibuat oleh rezim boneka
pimpinan SBY. Pendidikan diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan imperialisme
atas tenaga kerja yang murah. Pendidikan juga dijalankan untuk membentuk atau
meciptakan manusia yang siap dan berwatak kompetitif. Hal ini dibuktikan dengan
diberlakukannya Kurikulum 2013. Sementara dalam dunia pendidikan tinggi, bukti
nyata dari ciri rezim pengabdi adalah dengan mengeluarkan UU DIKTI.
Keberadaan UU DIKTI sebagai peraturan
tertinggi yang mengatur secara spesifik tentang pendidikan tinggi tidak ubahnya
seperti peraturan yang sebelumnya pernah ada. UU DIKTI adalah manifestasi
konkrit dari ketundukannya rezim pemerintah Indonesia kepada imperialisme. Hal
ini dikarenakan, dalam orientasi, spirit yang
diperlihatkan, hingga isi seluruhnya UU DIKTI ini menunjukan tujuan untuk
liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Dalam hal ini, dapat
terlihat dari prinsip otonomi institusinya, pembagian beban biaya pendidikan
kepada mahasiswa, pemberian izin kepada perguruan tinggi asing untuk berbisnis
pendidikan di Indonesia, keharusan untuk berkoneksi dengan dunia usaha dan
dunia industri yang saat ini dikuasai oleh kapitalis monopoli internasional,
pembatasan kebebasan mimbar akademik bagi mahasiswa, hingga penerapan Uang
Kuliah Tunggal di perguruan tinggi negeri.
Sehingga, keberadaan UU DIKTI dan
segala turunannya harus ditolak. Penolakan ini tentunya dengan melakukan usaha
pencabutan terhadap UU DIKTI dan kemudian menuntut kepada pemerintah untuk
membuat peraturan tentang pendidikan tinggi yang baru, yang berpihak pada
kepentingan rakyat. Sehingga dengan demikian pendidikan tinggi dapat
dikembalikan kepada hakekatnya, yaitu menjadi tepat menimba ilmu pengetahuan
yang ilmiah dan demokratis, dan mengabdikan ilmu yang didapat untuk
bersama-sama rakyat menjawab persoalan-persoalan yang ada.
Tentunya perjuangan melawan
liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan adalah perjuangan yang
berat. Atas dasar tersebut, maka tidak ada jalan lain bagi seluruh rakyat untuk
membebaskan diri dari belenggu penghisapan tiga musuh utamanya tersebut
(Imperialisme, Feodalisme dan Kaiptalisme Birokrat) melainkan dengan terus
berusaha menyatukan diri dan berjuang bersama untuk menghancurkan dominasinya.
Seluruh Rakyat tidak boleh lagi melakukan perjuangannya secara terpisah-pisah,
Pemuda dan mahasiswa, tidak lagi boleh memandang sebelah mata persoalan rakyat
disektor lainnya. Selain focus menyelesaikan persoalan khususnnya secara sektoral, pemuda dan mahasiswa harus mampu
menghubungkannya dengan persoalan rakyat di sector lainnya, kemudian
terintegrasi dalam setiap bentuk perjuangan rakyat tersebut.
Berdasarkan Uraian diatas, maka dalam
momentum hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2013 ini, Front Mahasiswa Nasional (FMN), menyatakan sikap: Stop Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi
Pendidikan-Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI),
dan Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis
dan Mengabdi Pada Rakyat. Melalui
Momentum ini pula, FMN Menuntut:
1.
Cabut Undang-undang
pendidikan tinggi (UU DIKTI) No. 12, Thn. 2012.
2.
Tolak pemberlakuan Uang
Kuliah Tunggal (UKT) & Turunkan Biaya Kuliah.
3.
Cabut Surat Keputusan
Dirjen Dikti No 26 Tahun 2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus dan
SK rektor pendukungnya.
4.
Menuntut dilibatkannya
mahasiswa dalam menetapkan seluruh kebijakan kampus.
5.
Tolak Kurikulum baru Thn 2013
6.
Wujudkan Sistem
Pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat dengan
melawan semua bentuk penjajahan
kebudayan imperialisme dan feodalisme.
Demikian bahan propaganda
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2014 kami susun. Semoga seluruh jajaran
organisasi FMN mampu menyebarluaskan bahan propaganda ini dengan metode-metode
yang menarik simpatik luas baik anggota
ataupun massa mahasiswa. Terima kasih.
Hormat kami,
Diketahui,
Dimas Simpati Rachmad P Panjaitan
Ka. Depertemen Pendidikan & Propaganda Ketua Pimpinan Pusat FMN
[1] Lihat: Program Perjuangan FMN
2014-2016, Paragraf I
[2]
IMPERIALISME: Kapitalisme monopoli, yakni
Fase akhir atau puncak tertinggi dari sistem kapitalisme. Secara esensial,
didalam fase inilah watak dari sistem kapitalisme semakin nyata (Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif)
yang tercermin dalam hubungan produksinya yang
semakin anarkis dan brutal dalam menghisap rakyat,-R. Kamus Progressif, Buletin Gelora, tentang Imperialisme.
[3] BORJUASI BESAR KOMPRADOR, Yakni pengusaha
yang terhubung lansung dengan kapitalisme monopoli (Imperialisme)
[4] http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2013/04/02/2090,
pada tanggal .html,” transkrip
pengantar presiden republik indonesia pada rapat terbatas tentang kurikulum
pendidikan 2013 kantor presiden 2 april 2013 “
[6]
http://lipsus.kompas.com/kemdikbud/read/2013/10/16/1236445/Si.Miskin.Tidak.Dilarang.Sekolah,
Diunduh pada tanggal 06/03/2014, Pukul 20.20 WIB
[7]
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/079460436/Gerakan-Anti-Putus-Sekolah-Dimulai-Tahun-Ini,
Diunduh pada tanggal 06/03/2014, Pukul 20.35 WIB
[8] http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4,
Diunduh pada tanggal 01/03/2014, Pukul 14.01 WIB
[9]Muhammad
Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet.
I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 265.
[10]Penjelasan Ketua Panja RUU Pendidikan Tinggi
yang juga anggota Komisi X DPR RI dalam Audiensi tanggl 5 Desember 2011.
[11]Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013
tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi
Negeri di Lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Lampiran.