Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERNYATAAN SIKAP FPR SULSEL DI HARDIKNAS 2015

Lawan Segala Bentuk Komersialisasi, Liberalisasi, dan Privatisasi di Indonesia!
Wujudkan Pendidikan yang berbasis kerakyatan.

Pendidikan di Indonesia yang harusnya memiliki orientasi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, hingga saat ini masih melenceng jauh dari amanat dan semangat konstitusi. Saat ini pendidikan masih saja menjadi alat yang semata-mata menciptakan tenaga-tenaga terdidik yang murah. Di sisi lain, pendidikan masih dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan rejim, tuan tanah besar dan imperialisme AS beserta sekutunya yang terus menghisap dan menindas rakyat. Sehingga sistem pendidikan nasional di Indonesia tidak lagi bertujuan untuk menyelesaikan persoalan rakyat dan mengabdi kepada rakyat, justru sebaliknya merawat keterbelakangan yang diciptakan system ekonomi dan politik yang anti rakyat. Hal ini tentunya terlihat  jelas dari belenggu komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi yang  menjangkit sistem pendidikan di Indonesia saat ini.

Carut marutnya sistem pendidikan nasional di Indonesia, dapat dilihat dari semakin kecilnya akses rakyat atas pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan terutama pendidikan tinggi, menjadi faktor utama rakyat semakin jauh dari bangku-bangku sekolah maupun pendidikan tinggi. UU Pendidikan tinggi yang menguatkan otonomi perguruan tinggi dalam pengelolahan keuangan, memberikan payung hukum pada Negara untuk melepaskan tanggung jawabnya atas penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya, kenaikan biaya pendidikan kemudian diserahkan pada mahasiswa dan orang tua mahasiswa yang setiap tahunnya mengalami peningkatan hamper 100%. Selain itu, UUptI yang dipertahankan semasa pemerintahan Jokowi-JK ini, membuka ruang kepada investor dalam negeri maupun asing (imperialism) untuk menanamkan modalnya di perguruan-perguruan tinggi. Sehingga semakin jelas, pendidikan kini tidak ubahnya seperti perusahaan yang berorientasi profit.

Pengembangan kurikulum yang dibutuhkan oleh dunia usaha, upaya perwujudannya juga dilakukan dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan (Vokasi) tingkat pendidikan menengah (SMK, SMEA, STM) baik dengan jurusan teknik, ekonomi, pariwisata, ilmu kesehatan, ilmu pelayaran, dll. Pada tahun 2008 rasio perbandingan SMA dengan SMK adalah 70:30, sedangkan pada tahun 2012 perbandingannya adalah 51:49, dan pada tahun 2015 saat ini target pemerintah jumlah SMK mencapai 55% dari sekolah menengah atas yang saat ini berjumlah 22.000 dengan menampung 9 juta siswa. Pada tahun 2020 jumlah SMK ditargetkan mencapai 60%. Adapun daerah yang diprioritaskan untuk pembangunan SMK adalah daerah yang masuk koridor MP3EI dan kabupaten/kota yang angka partisipasi kasarnya di bawah standar nasional. Hal ini jelas memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa orientasi dari pendidikan di Indonesia ditujukan untk menopang kepentingan dari imperialis AS dan tuan tanah besar.

Sementara tingginya biaya pendidikan akibat komersialisasi justru berbanding terbalik dengan kondisi rakyat yang terus hidup miskin karena skema busuk rezim. Menurut data BPS, tahun 2014 ini dari total penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk 2010 sebesar 237.641.326 jiwa, dari semua itu rakyat miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa. Terdiri dari 17,74 juta jiwa adalah rakyat di pedesaan, sementara 10,33 juta jiwa berada di perkotaan. Parameter miskin ini diukur dengan penghasilan-per-kapita-per-bulan sebesar Rp 289.041 untuk perkotaan dan Rp 253.273 di desa. Tentunya masih banyak lagi rakyat Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan tetap, yang penghasilanya dibawah angka batas minimum kemiskinan. Sementara lapangan kerja masih saja sulit didapatkan oleh pemuda mahasiswa di Indonesia. Tahun 2015, total pengangguran terdidik di Indonesia mencapai 47,81 % dari total pengangguran di Indonesia sebesar 7,24 juta. Artinya tidak ada perubahan yang siknifikan dari masa SBY ke Jokowi, bahkan dapat dipastikan semakin meningkat di tengah kondisi politik dan ekonomi yang semakin carut marut saat ini. Sedangkan persoalan lain seperti UN, carut marut Kurikulum 2013, kebebasan berdemokrasi di lingkungan akademik, masih terbatasi di dunia pendidikan di Indonesia.

Dalam Peringatan Hardiknas 2015 ini, kami menegaskan kembali, bahwa Negara harus hadir sepenuhnya untuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Di bawah pemerintahan Jokowi-JK yang telah berlangsung lebih 6 bulan, namun perubahan atas dunia pendidikan di Indonesia tidak juga dirasakan rakyat. Malahan Pendidikan semakin mahal yang berbanding lurus dengan semakin sempitnya akses rakyat atas pendidikan. Oleh karena itu kami dari Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan menyatakan sikap sebagai berikut:
11.      Cabut UUPT dan revisi UU sisdiknas no 53 thn 2003
22.      Cabut sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal
33.      Hentikan kekerasan akademik  dan pembungkaman demokrasi di kampus
44.      Berikan pendidikan gratis yang layak bagi rakyat Indonesia
55.      Berikan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang memadai
66.      Maksimalkan APBN 20% sektor pendidikan (diluar gaji guru karyawan dan dosen)
77.      Berikan lapangan pekerjaan yang layak
88.      Tingkatkan professional tenaga pendidik (guru dan dosen)
99.      Trasparansikan anggaran institusi pendidikan dan usut tuntas kasus korupsi di dunia pandidikan
110.  Maksimalkan kinerja lembaga pendidikan mutu (LPM)
111.  Tolak kerja sama institusi pendidikan dangan institusi aparat militer

FRONT PERJUANGAN RAKYAT SULAWESI SELATAN:

LBH MAKASSAR, FMN MAKASSAR, AGRA SUL-SEL, STP TAKALAR, HMI KOM EKONOMI UIN, BEM FIS UNM, KONTRAS SULAWESI, DEMA FEBI UIN, FMBT BANTAENG, BEM MIPA UNHAS, HIMAHI UH, DEMA FDK UIN,AMPERA, MALKOM, SJPM, FMD-SGMK, SRIKANDI, FOSIS UMI, FKPM, HIMAHI UNHAS, DEMA FDK UIN