Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MATINYA KAMPUS


Mendambakan Tempat belajar nyaman adalah impian manusia yang memiliki semangat untuk melepaskan diri dari belenggu pemikiran setelah, berabad-abad lamanya manusia direndahkan dan dihinakan oleh suatu legitimasi atas tafsir kebenaran tunggal raja dan agama. Dorongan lahiriah manusia sebagai homo sapiens membentuk sejarah dialektika manusia, atas keadaan yang membentuk kesadaran objektif dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan derajat kehidupan masyarakat.
Perkembangan pengetahuan yang sangat pesat tersebut, merupakan buah dari perjuangan panjang masyarakat dunia dalam sederetan aksi membangun peradaban yang maju. Salah satu tempat terjadinya proses dialektika tersebut berada di kampus, tokoh dunia serta pemikiran fundamental dan eksentrik yang diperoleh dan dirumuskan dalam kampus telah mempengaruhi dinamika peradaban manusia sampai detik ini. Kampus telah hadir dengan irama yang menggetarkan hati setiap orang yang memiliki naluri revolusioner untuk ikut serta “bermetamorfosis” dalam setiap perubahan yang dihasilkan oleh kampus.
Sejarah telah menyuguhkan berbagai pengalaman Mahaguru, lewat usaha mereka mendirikan kampus sebagai tempat untuk mentransformasikan pengetahuan dan seluruh konsep tentang manusia yang “merdeka”. Merdeka dalam menentukan pemikiran, merdeka dalam melakukan tindakan dan merdeka atas dirinya sendiri dalam berfikir dan bertindak.
Kampus menjadi medan juang bagi musafir yang ingin menata hidupnya dengan pengetahuan yang akan menaikkan derajatnya kelak. Pengetahuan; teori yang  beredar di sekolah dan perguruan tinggi haruslah menjadi corong untuk memecahkan persoalan masyarakat bukan malah menjadi trouble maker atas penderitaan rakyat.
Menceburkan diri ke dalam dunia pendidikan seperti menyelami lautan dalam yang tiada ujung untuk mendapatkan sekelumit pengetahuan berharga tiada tandingan. Namun pada suatu kondisi, ketika sikap hidup yang “miskin kesadaran objektif atas keadaan orang lain”, maka pengetahuan bisa berubah menjadi buah simalaka buat jiwa yang tak bersalah atau cikal bakal “revolusi” demi kesejahteraan rakyat suatu bangsa.
Matinya kampus, bukanlah sekedar metafora yang ingin mengerakkan ribuan hingga jutaan orang mengambil barisannya di jalan raya, serta meneriakkan ketidakadilan. Namun sebuah refleksi; apakah akal budi yang diberikan oleh tuhan diperuntukan merampas hak orang lain?. Yah !, pertanyaan sederhana yang akan diabaikan oleh mereka dengan label “Mahaguru” dalam dunia kampus penuh pergulatan kotor para pemikir yang “sok idealis” seolah ingin memajukan peradaban.
Kenapa hal tersebut perlu diutarakan dalam tulisan ini karena sudah cukup banyak “penghuni kampus” dengan pengetahuan yang menyebabkan rakyat semakin melarat. Program SDGs (suistanble development goals); pembangungan berkelanjutan di masa pemerintahan Jokowi-JK, telah melakukan kerjasama dengan berbagai kampus unggulan Indonesia untuk melakukan pembangunan infrasturktur tanpa melihat secara objektif kebutuhan masyarakat terhadap pembangunan tersebut. Sederhananya beberapa kasus yang hari ini dapat kita lihat tentang rencana pembangunan yang ditopang pengetahuan mapan dan digunakan untuk merampas kesejahteraan rakyat.
Reklamasi pesisir Makassar, reklamasi teluk benoa bali, pengerukan gunung kendeng untuk dijadikan sumber semen dan beberapa lagi program pembangunan yang juga secara tegas mendapat penolakan masyarakat karena pembangunan tersebut dianggap warga tidak memberikan kesejahteraan untuk mereka kelak. Ironinya untuk menyatakan bahwa pembangunan CPI (central point Indonesia) dipesisir Makassar layak dan tidak merusak lingkungan, maka diutuslah beberapa tenaga ahli lingkungan dari Universitas Hasanudin untuk melakukan riset untuk memperkuat izin bahwa reklamasi pesisir Makassar bisa dilakukan.
Penolakan warga terhadap tindakan kampus yang menjadikan pengetahuan suatu hal yang orientasi profit membuat kesal banyak warga diberbagai daerah di Indonesia. Seperti yang kita saksikan di beberapa media berita, dimana masyarakat sekitar gunung kendeng yang  melakukan aksi di depan Universitas Gajah Mada karena sikap kampus yang telah melegitimasi upaya dari pabrik semen tiga roda untuk melakukan pengerukan secara leluasa di daerah pemukiman warga gunung kendeng. Tak hanya itu, kampus ternama lainnya yakni Institut Pertanian Bogor  Juga telah mendatangkan kekecewaan bagi  warga, terlihat dari  puluhan warga yang bekerja sebagai tukang ojek melakukan aksi demonstrasi sebagai respon atas  kebijkan kampus yang melarang adanya kegiatan ojek di dalam kampus. Hal ini sangat membuat kesal para warga, khususnya para ojek yang menyatakan bahwa sumber penghasilan mereka didapatkan dari ojek di dalam kampus.
Matinya kampus tidak seutuhnya disebabakan “kecelakaan berfikir” oleh pimpinan kampus semata  namun di kalangan mahasiswa juga demikian. Tradisi ilmiah dalam kampus secara signifikan mengalami kemunduran, serta mempengaruhi pergerakan beberapa tahun terakhir ini. Mahasiswa yang seharusnya punya sikap “politik” terhadap perubahan sosial dengan “pisau analisis yang tajam” dan, secara objektif bisa menyimpulkan langkah baru yang dapat menginspirasi kembali massifnya gerakan yang akan datang untuk menghancurkan 3 musuh rakyat yaitu Imperialisme , feodalisme, dan kapitalisme birokrat.
Kekeliruan dalam mengenal siapa musuh rakyat di dalam kampus berefek kepada banyaknya permusuhan di kalangan mahasiswa. Hal ini bersumber dari berbagai permasalahan yang dianggap sepele, seperti perbedaan ideologi organisasi, dan berbeda suku. Namun tiga tahun terakhir ini, krisis identitas benar-benar melanda mahasiswa. Pertarungan gagasan dan ide diabaikan dan watak barbar telah menjadi ciri khas bagi mahasiswa diajang demokrasi. Keadaan tersebut sangat menguntungkan bagi kelompok liberal dari kalangan mahasiswa untuk berafiliasi bersama kapitalis birokrat kampus secara perlahan-lahan, dengan cara menempatkan “kaki tangan birokrasi di kursi-kursi vital” organisasi kemahasiswaan.
Kurangnya evaluasi mengakibatkan tidak adanya otokritik terhadap langkah yang diambil oleh mahasiswa. Mengandalkan kemampuan retorika semata adalah hal konyol tanpa data dan fakta serta win-win solution untuk menaikkan lagi derajat mahasiswa dalam tatanan sosial masyarakat yang lebih luas.       
           Pengetahuan menjadi ancaman bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Masihkah pantas kampus dijadikan tempat untuk mendapatkan pengetahuan yang akan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat di Negara ini? Dunia kampus juga telah menjadi donimasi para pemikir (sofis), yang hanya bisa berceloteh menyatakan bahwa “kita sedang sekarat” namun, tak memiliki satu pun aksi yang lengkap dengan gagasan dinamis untuk merubah kampus menjadi benteng pertahanan rakyat. 

Penulis : Abdul Salman