Jokowi-JK masih menerapkan Komersialisasi atas Kesehatan (Bagian 1)
Kesehatan
adalah HAK Rakyat
Kesehatan adalah keadaan sehat
fisik, mental maupun sosial yang memberikan setiap orang bisa bertindak
produktif untuk menjalankan kehidupan sosial ekonominya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa “setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”. Demikian dijelaskan juga dalam
pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa:
- Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
- Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera, lahir dan batin.
- Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Sementara UU Kesehatan No. 6 Tahun 2009 juga menyatakan
bahwa kesehatan
merupakan hak asasi manusia yang merupakan salah-satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan oleh pemerintah. Pasal 4 dalam UU Kesehatan tersebut juga
menjelaskan bahwa “Kesehatan adalah
hak setiap warga negara”.
Maka sangat
terang, bahwa seluruh rakyat mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan tanpa
mendiskriminasikan serta mengorientasikan kesehatan yang bersifat bekerlanjutan
dan menyangkut pula atas lingkungan yang sehat. Oleh karenanya, kesehatan
adalah pelayanan publik non-komersil
yang harus diberikan negara kepada rakyat.
Kesehatan adalah kewajiban penuh
pemerintah
Landasan
utama bahwa perlindungan HAM merupakan kewajiban pemerintah adalah prinsip
demokrasi bahwa sesungguhnya pemerintah diberi amanah kekuasaan untuk
melindungi hak-hak warga negara termasuk kesehatan. Kekuasaan ini semata-mata
adalah untuk memajukan dan mencapai pemenuhan hak asasi manusia. Pemerintah
tidak lagi hanya menjaga agar seseorang tidak melanggar atau dilanggar haknya,
namun harus mengupayakan pemenuhan hak-hak tersebut. Demikian pula dengan hak
atas kesehatan, merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.
Upaya
pemenuhan hak atas kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang
meliputi pencegahan dan penyembuhan. Upaya pencegahan meliputi penciptaan
kondisi yang layak bagi kesehatan baik menjamin ketersediaan pangan dan
pekerjaan, perumahan yang baik, dan lingkungan yang sehat. Sedangkan upaya
penyembuhan dilakukan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang optimal.
Pelayanan kesehatan meliputi aspek jaminan sosial atas kesehatan(bukan
asusransi), sarana kesehatan yang memadai, tenaga medis yang berkualitas oleh
masyarakat.
Secara
umum, Pasal 10 UU Kesehatan menyatakan bahwa “Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan bagi seluruh rakyat”. Oleh karenanya,
pemerintah harus menyelenggarakan kesehatan sebagai pelayanan publik yang
bersifat nirlaba.
Akan tetapi
kenyataannya, apakah pemerintah telah
menjalankan kewajibannya atas kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia ? Mari
kita mengurai dan menganalisisnya.
Kebijakan Kesehatan di
Indonesia tidak pro-Rakyat
Kartu
Indonesia Sehat (Bukanlah) Gratis buat rakyat Indonesia
KIS
adalah kartu identitas peserta kesehatan yang dikelola oleh badan
penyelenggaran jaminan sosial (BPJS). KIS merupakan produk kampanye Jokowi-JK
tahun 2014 untuk menarik simpatik rakyat memilihnya. Tentu rakyat akan berharap
ini dapat menjadi solusi di tengah mahalnya biaya kesehatan khususnya bagi
kalangan klas buruh dan kaum tani maupun warga miskin. Tapi kenyataannya, saat
ini KIS ini juga tidak memberikan pelayanan gratis bagi rakyat. Karena telah
terintegrasi dengan BPJS, maka pemegang KIS juga harus membayar iuaran bulanan
sebagai wujud yang disebut-sebut Jaminan kesehatan nasional. Maka sama saja
bohong bahwa KIS itu memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat. Karena
dibaliknya BPJS masih menjadi motor untuk memungut biaya dari rakyat tiap bulannya.
BPJS
masih menjadi Andalan Kebijakan Kesehatan Jokowi-JK
Sedari
awal dikeluarkannya program UU SJSN dan BPJS di pemerintahan SBY, telah menjadi
persoalan yang ditentang oleh sebagaian rakyat. Memang bila mendengarnya,
program ini seolah-olah merupakan kebijakan yang memberikan jaminan kesehatan
penuh bagi rakyat Indonesia. Konsep SJSN yang ditetapkan di Indonesia ini
merupakan bagian dari Konsesus Washington
dalam bentuk Program SAP (Structural
Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara
IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis. Program SAP inilah yang
diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Delapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI)
oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002 telah menghasilkan
sejumlah undang-undang yang makin membuat rakyat menderita. Di bidang kesehatan
lahirlah UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan swastanisasi
layanan publik di bidang kesehatan.
SJSN atau BPJS ini telah
melakukan sistem komersialisasi kesehatan dimana mengubah kesehatan dari barang
publik menjadi barang privat. Sehingga kesehatan yang sejatinya adalah Jaminan yang harus diberikan pemerintah
kepada rakyat, diubah menjadi sebuah asuransi.
Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu.
Dalam Pasal 1 berbunyi:
“Asuransi sosial adalah
suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran
guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya.”
Lalu Pasal 17 ayat (1): “Setiap peserta wajib
membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut
kepada BPJS secara berkala.”
Dari dua pasal itu bisa
kita pahami. Pertama:
terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui
iuran yang dibayarkan langsung, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan
swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri. Lalu sebagai tambal sulamnya,
negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan
tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa
dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong
yaitu: Peserta yang
mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan
wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko
tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Jadi, jelas
undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap
jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang
akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terdaftar dan tercatat membayar
iuran.
Ketiga:
Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan :
tidak semua jenis penyakit dan semua jenis obat akan ditanggung oleh BPJS.
Selain itu program ini juga tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam
pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Tetapi dengan SJSN dalam
bentuk BPJS kesehatan ini kita lihat rakyat diwajibkan membayar sendiri premi
jaminan kesehatannya, termasuk klas buruh. J aminan sosial yang selama ini
dijanjikan sebenarnya adalah perampasan upah atau pendapatan rakyat untuk kepentingan
perusahaan asuransi. Masyarakat yang akan mendapat pelayanan kesehatan adalah
mereka yang membayar iuran premi asuransi.
Lalu berapa premi atau
iuran yang harus dibayar?
1. Bagi pekerja dengan gaji
minimal Rp 2.2 juta, jumlah premi adalah 5 persen dari total gaji. Empat persen
dari total premi dibayarkan oleh pengusaha dan satu persen dibayarkan oleh pekerja (Baca: ini dialami klas buruh sebagai wujud perampasan upahnya).
2. Iuran bagi pekerja
informal sebesar Rp 25.500 per bulan untuk mendapatkan layanan rawat inap kelas
III, Rp 42.500 untuk kelas II, dan Rp 59.500 untuk kelas I.
3. Iuran rakyat kategori
sangat miskin di subsidi pemerintah. Yang juga perlu diperhatikan, Penerima
Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang sifatnya sementara dan setiap saat
bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus membayar secara penuh.
Perkembangan
BPJS saat ini mampu mengumpulkan uang rakyat dalam setahun berkisar 10 Triliun.
Ironinya, uang rakyat yang dirampas ini dialihkan untuk investasi di sektor
pembangunan infrastuktur yang terintegrasi dengan borjuasi besar komprador.
Sementara di sisi lain, asuransi BPJS ini tidak memberikan sama sekali
peningkatan pelayanan kesehatan di Indonesia. Malah pengguna kartu BPJS
mempunyai masalah segudang ketika berobat. Beberapa persoalan yang mengemuka
atas BPJS diantaranya; rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan
alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu
ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas. Sehingga ini yang membuat banyak
pasien yang terlambat untuk bisa ditangani secara efektif dan tentu tidak
sedikit pasien berujung fatal. Selain itu, banyak peserta BPJS mengeluhkan
pembayaran biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Pasien malah harus membayar jutaan bahkan
puluan juta, apalagi adanya pengklasifikasian penyakit yang ditanggung oleh
BPJS.
Akan
tetapi, di tengah BPJS sebagai sistem asuransi kesehatan yang telah merampas
upah/pendapatan rakyat dan pelayanan BPJS yang buruk, dengan seenaknya pemerintah
Jokowi-JK malah berencana akan menaikkan iuaran BPJS.