Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melawan Neoliberalisasi di Dunia Pendidikan



Pendidikan adalah Milik Rakyat, Bukan Milik Penguasa atau Pengusaha

Pendidikan adalah istrumen yang penting dalam membentuk taraf  berpikir  masyarakat. Melalui pendidikan  dapat  memberikan  panduan  bagi masyarakat menjawab berbagai fenomena sosial dan alam untuk menjalani kehidupan sehari-harinya. Pendidikan tentu bersifat membebaskan manusia dari kebodohan, penghisapan dan penindasan. Karena
hakekatnya  pendidikan  diorientasikan untuk memberikan kemerdekaan bagi masyarakat untuk mencapai kebenaran, keadilan dan emansipasi di tengah-tengah kehidupan manusia.

Selanjutnya ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian menjadi objek pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam dunia pendidikan, bertujuan untuk memahami  fenomena alam,  masyarakat  dengan serangkaian eksperimen- eksper i men yang dapat di pertanggungung -jawabkan. Zaman komunal primitif masyarakat  masih terbatas dalam hal  ilmu pengetahuannya. Alam dianggap masih ganas dan hanya di taklukkan masyarakat  dengan berburu, meramu, berpindah-pindah  di dalam komune-komune primitif. Dengan alat kerja yang sederhana yang terbuat dari batu, tulang-tulang hewan, menjadi karakteristik  ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa komunal primitif . Pada  500 SM  terjadi  kemajuan ilmu pengetahuan. Mulai berkembang pengetahuan  mencari filosofi kebenaran atas alam dan manusia. Memasuki zaman Yunani Kuno, kita mengenal berbagai tokoh semacam Epicurus,  Socrates,  Plato,  Aristoteles, Phytagoras, mulai meletakan kajian-kajian sosial dan sains sebagai konstruksi awal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun semenjak kekuasaan Romawi para ilmuwan- ilmuwan  mulai d iburu  da n  di hukum  ketika mengembangkan ilmu pengetahuan. Tapi jika ilmuwan itu memberikan sumber legitimasi untuk menguasai ekonomi politik, maka ilmuwan itu akan menjadi ahli-ahli juru bicara. Puncaknya di zaman Dark Ages ilmuwan seperti Ilmuwan Copernicus, Galileo Galilei yang menolak dogma penguasa atas geosentrisme (bumi sebagai pusat tata surya) dan menggagas Heliosentrisme (matahari sebagai pusat tata surya dan bumi mengelilingi matahari) secara ilmiah dengan ilmu pengetahuan astronomi. Tentu penemuan dasar ini
menjadi dasar revolusi sains yang dicetuskan oleh Thomas Kuhn. Maka jelas bahwa pendidikan di era kepemilikan perbudakan maupun feodalisme telah dilarang berkembang oleh pemerintah monarki untuk menjaga kekuasaan ekonomi, politik serta kebudayaan
terbelakangnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang spektakur  lahir seiring  dengan  kehancuran feodalisme di Eropa dan Amerika. Revolusi Inggris merupakan tanda lahirnya sistem sosial baru termasuk kebebasan atas perkembangan IPTEK. Istilah Revolusi Inggris diperkenal pertama kali oleh Fredick Engles, banyak melahirkan penemuan- penemuan mesin canggih seperti  mesin uap di  dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun kebebasan yang diraih dari tuan tanah dan monarki serta masuknya ke zaman pencerahan di era kapitalisme-imperialisme, masih saja menyisahkan hubungan produksi penghisapan dan penindasan atas masyarakat. Perampasan nilai lebih klas buruh, menjadi cerminan watak kapitalisme yang eksploitatif. Kondisi ekonomi politik yang menghisap dan menindas, telah menentukan orientasi perkembangan IPTEK yang hanya ditujukan  untuk mempertahankan sistem kapitalisme yang telah mencapai puncaknya Imperialisme. Karena sudah  menjadi  hukumnya bahwa kebebasan IPTEK d i  dalam dunia pendidikan akan bermasalah, jika stuktur masyarakatnya masih terdapat  klas penindas. Klas penindas yang berkuasa atas ekonomi dan politik, akan senantiasa menjadi pendidikan sebagai alat kebudayaan  untuk mempertahankan  sistem ekonomi politik si penindas. Itu halnya Aristoteles sekali pekerja intelektual yang paling setia kepada  Julius  Caesar  untuk mempertahankan Romawi didalam era pebudakan.  Sama halnya dewasa ini, Universitas Chicago AS menjadi pusat penelitian untuk memuluskan pengembagan   neoliberalisasi Imperialisme yang dikepalai oleh Milton Friedman.

Namun historis perkembangan IPTEK di dalam dunia pendidikan akan mengembalikan tugas mulianya yaitu untuk meraih kebebasan, keadilan dan emansipasi di tengah-tengah masyarakat.  IPTEK akan sejalan dengan perjuangan klas masyarakat tertindas untuk menghapuskan penghisapan manusia atas manusia.Dengan demikian pendidikan yang mengembangkan IPTEK benar-benar berorientasi untuk memajukan peradaban manusia.
Di dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, secara resmi  Pendi di kan di perkenal kan kolonial Belanda melalu Politik ETIS (EDUKASI, Trasmigrasidan Irigasi). Pendidikan ini dianggap sebagai politik balas budi Belanda terhadap masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pendidikan di Nusantara era jaman kolonial Belanda maupun Jepang nyatanya hanya dapat diakses oleh mereka yang berasal dari keturunan bangs awan,  r aja- raja lokal ter utama keturunan kolonial. Sementara orientasi pendidikan sudah pasti bukan untuk  membebaskan  rakyat  dari keterbelakangan. Namun pendidikan menjadi alat untuk mentransformasi nilai-nilai yang merperkuat kolonialisasi di Indonesia. Selain itu, pendidikan
dijadikan sebagai institusi untuk mencetak tenaga tenaga bagi pengembangan perkebunan,
pertambangan dan tenaga medis kesehatan kolonial di Indonesia. Dengan demikian pendidikan masih saja menjadi alat pembodohan, penjinakan dan belum ditujukan untuk
memerdekakan. Walaupun tak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan  juga telah membangkitkan kesadaraan para pelajar-mahasiswa untuk bangkit  berjuang melawan kolonialisasi di Nusantara. Kemudian  dewasa  ini ,bagaimana Neoliberalisasi mencengkram Perguruan Tinggi di Indonesia ?


Rusaknya  Pendidikan Dibawah  Cengkraman Neoliberalisasi di Perguruan Tinggi

Pasca perang Dunia ke-II, Blok Sekutu yang menjadi negara-negara pemenang mulai mengambil alih orientasi politik dunia secara luas, serta menciptakan suatu sistem perekonomian dan perdagangan  internasional .  DiBawah pimpinan Imperialisme AS membentuk sistem ekonomi dan perdagangan internasional dengan  menciptakan organisasi – organisasi internasional yang dapat secara aktif  menentukan aturan main dalam perdagangan dunia.  Pembentukan International  Trade Organization  ( I TO)  yang direncanakan sejak 6 Desember 1945 hanya mencapai kesepakatan pembentukan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).  Meskipun hanya bersifat sementara, namun GATT inilah yang menjadi embrio terbentuknya World Trade Organization (WTO).

WTO terbentuk pada 1 Januari 1995, yang menaungi kesepakat an GATT,  sert a berhasi l  menghasilkan kebijakan liberalisasi 12 sektor negara anggota melalui General Agreement on Trade and Services (GATS), hak kekayaan intelektual melalui Trade-Related Aspects of
Intellectual Properties (TRIPs), dan penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlements.  GATS itu sendiri merupakan sebuah perjanjian yang mengatur untuk meliberalisasikan 12 sektor jasa, salah satunya adalah sektor pendidikan.  Hal ini dilakukan untuk  menanggulangi krisis imperialisme yang semakin akut dengan cara memasifkan neoliberalisasi di seluruh sektor publik termasuk pendidikan.

Indonesia adalah salah satu dari negara dunia ketiga lainnya yang menyepakati perjanjian GATS.  Dalam sektor pendidikan, WTO sedikitnya membentuk 4 model kerja sama.  Pertama, Cross border supply yaitu perguruan tinggi asing menawarkan kuliah melalui
i nt e r ne t .   KeduaConsumptions  abroad yaitu mahasiswa belajar di perguruan tinggi asing.  Ketiga, Commercial presence yaitu perguruan tinggi luar negeri  membentuk  partner ship  (kerja sama), subsidiary (anak cabang  kampus),  twinning arrangement (kesepakatan ganda) dengan perguruan tinggi lokal.  Keempat, Presence of natural persons yaitu pengajar asing mengajar di perguruan tinggi lokal.  Selain itu, WORD BANK sebagai instrumen Imperialisme AS di lembaga keuangan internasional, menguncurkan dana ke Indonesia. Di balik eksport kapital utang tersebut, Word Bank mengikat Indonesia  dengan anjuran pencabutan subsidi publik termasuk mengurangi anggaran pendidikan dan bahkan negara melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan. Walaupun ini  bertentangan dengan nilai – nilai konstitusi RI atas pendidikan, Soeharto sebagai rejim boneka setia Imperialisme AS tetap menjalankan misi jahat  da ri  imperialisme AS untuk mendorong neoliberalisasi termasuk di bidang pendidikan.

Alhasil  pada masa Habibie mulai mengimplementasikan amanat imperialisme atas
penerapan neoliberalisasi di  sektor pendidikan. Lahirnya kebijakan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara menjadi wujud nyatanya. Kemudian di era Megawati kebijakan neoliberalisasi semakin masif diterapkan. Megawati menandatangani  Letter Of Intent (LOI) bernilai 400 juta US Dollar dengan IMF tahun 2001, dan menerapkan Structural Adjusment
Programs (SAP's) ke dua setelah Habibie, dan terjadi berbagai revisi kebijakan di sektor publik. Salah satu varian dari Kebijakan struktural tersebut adalah Pencabutan subsidi sosial, dengan alasan efisiensi.Pencabutan subsisdi sosial khususnya menyangkut pemenuhan kebut uhan pokok dan dasar rakyat , berimbas pula kepada sektor pendidikan. Pemerintah mengeluarkan beberapa  kebijakan seperti ; Pengurangan alokasi anggaran/biaya pendidikan, kualitas pendidikan  Word  University, sistem kurikulum berbasiskan intenasional globalisasi, serta fasilitas pendidikan yang jauh dari kepentingan dan harapan rakyat Indonesia. Kemudian pada masa ini pula megawati mengeluarkan kebijakan UU  No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang mengantikan UU No.02 Tahun 1989.  Kemudian UU Sisdiknas menjadi sumber hukum pendidikan di Indonesia yang semakin melegitimasi liberalisasi, privatisa  dan komersialisasi di dunia pendidikan Indonesia hingga saat ini.

Masa SBY berkuasa 10 tahun semakin memperparah pendidikan. Kebijakan neoliberalisasi dijalankan di semua lini termasuk pendidikan tinggi. SBY meluncurkan 7 Kampus berstatus PT BHMN (UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, USU, UPI) menjadi semacam pilot project untuk menjalankan otonomi roh neoliberalisasi imperialisme AS di dunia perguruan tinggi. Selanjutnya Bank Dunia memberikan kembali kepada pemerintah Indonesia kucuran dana (utang) 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati Juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen. Sehingga pendidikan semakin terjerumus dalam ruang liberalisasi yang dalam.  Kemudian bukti kongkrit dari perjajian ini adalah ditetapkannya kampus sebagai Badan Layanan Umum (BLU), yang kebijakannya sudah ditetapkan oleh pemerintahan SBY-Kalla lewat UU No.1 tahun 2004 tentang pembendaharaan Negara dan PP No.23 tahun 2005 tentang tata kelola Badan Layanan Umum. Dan tahun 2009 pula dikeluarkannya payung hukum dari amanat PT. BHMN yakni UU No.9  tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang melegitimasi otonomi perguruan tinggi.

UU BHP dicabut oleh MK karena mendapatkan perlawanan atas penolakan neoliberalisasi di dunia pendidikan tinggi. Namun rejim SBY tidak habis pikir, rejim ini mengeluarkan UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 pengganti UU BHP yang nanti menjadi musuh bersama mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia.

Sedari awal pengesahan UU Dikti telah mendapatkan protes dari kalangan mahasiswa dan rakyat. Beragam kegiatan ilmiah mulai dari diiskusi, seminar, JR hingga aksi-aksi mahasiswa dan rakyat ditujukan untuk menolak UU Dikti. Bahkan Penolakan atas UU Dikti masih tetap dikampanyekan   hingga saat ini. Namun rejim tetap saja bersikukuh mempertahankan UU Dikti sebagai payung hukum perguruan tinggi di Indonesia yang bertujuan untuk mengintensifkan kebijakan neoliberalisasinya.

UU DIKTI secara nyata semakin membawa dunia perguruan tinggi Indonesia dalam praktek komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi. Pengelolahan keuangan yang memberikan otonom kepada pendidikan tinggi, menjadikan kampus ibarat perusahaan yang harus mencari sebagian besar dananya untuk operasional pendidikan. Mahasiswa, orang tua mahasiswa dan perusahaan swasta-asing, dijadikan topangan utama untuk pembiayaan.  Otonom keuangan ini berdampak pada kenaikan biaya uang kuliah atau UKT dari tahun ke tahun yang semakin menjulang tinggi. Rata-rata biaya pendidikan tinggi di Indonesia mencapai 1-20 juta persemester.

Ironinya, perusahan-perusahaan baik perkebunan, pertambangan, industri milik borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan imperialisme-asing, seolah-olah menjadi topangan di masa depan untuk membiayai operasional pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal tujuan dari pihak swasta dilibatkan adalah untuk berinvestasi di dalam kampus yang berorientasi profit, di sisi lain memanfaatkan perguruan tinggi untuk melegitimasi sekaligus memperlancar bisnis-bisnis mereka yang bertentangan dengan rakyat khususnya kaum tani dan klas buruh. Salah-satu contohnya nota kerjasama PT. Freeport Indonesia dengan kampus-kampus besar seperti UI, ITB dan UNCEN yang mendirikan pusat kajian di kampus tersebut. Tentu kepentingan PT. FI adalah untuk mencari legitimasi di tengah -tengah penolakan rakyat terhadap perusahaan AS ini dan di sisi lain memanfaatkan kampus tersebut untuk berguna bagi bisnis PT.FI melalui pengembangan IPTEK-nya.

Demikian halnya kerjasama yang dilakukan perusahaan energi Chevron dengan UGM untuk memberikan kesempatan berkarir di perusahaan tersebut. Akan tetapi, bukankah Chevron sebagai salah-satu pemonopoli energi minyak dan gas di Indonesia yang membuat kita tidak berdaulat dan mandiri dalam mengelola energi ? Apalagi baru-baru ini bagaimana CSR Sinar Mas bagaikan pahlawan yang membangun gedung Biologi UGM.  Saya bertanya kembali, bukankah sinar mas menjadi borjuasi besar komprador/tuan tanah yang telah banyak merampas tanah kaum tani di Pedesaan ? Sinar Mas menjadi musuh kaum tani.

Sementara itu, persoalan UKT sebagai turunan dari UU DIKTI menjadi persoalan mayoritas bagi perguruanperguruan tinggi di Indonesia saat ini.Semenjak diterapkan  tahun 2013, telah menunjukkan berbagai kenaikan yang signifikan setiap tahunnya 50-100%.  Kenaikan UKT tiap tahun tidak dapat dibendung walaupun pemerintah menyebut akan terus menaikkan BOPTN. Sebab penghitungan UKT dilandasi dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi (indeks kemahalan wilayah) yang terus berubah setiap tahunnya. Maka jika merujuk itu tidak akan ada hargaharga yang seimbang atau tetap dari tahun ke tahun,akan tetap akan cenderung naik. Hal ini berimplikasi jelas atas kenaikan UKT tiap tahun yang dirasakan mahasiswa. Sehingga BOPTN hanya mencover 10 % mahasiswa miskin yang berprestasi, sementara 90% mahasiswa akan dikenakan biaya pendidikan yang mahal. Dalih-dalih UKT sebagai subsidi silang, telah mengaburkan tanggung jawab negara atas pendidikan di Indonesia. karena berdasarkan UU Pasal 31 Ayat 1 menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah hak setiap warga negara”. UKT jelas diskriminasi, jelas akal-akalan pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya.

Selain kenaikan uang kuliah, UKT juga melahirkan segudang masalah mulai dari soal transparansi sampai persoalan meningkatnya Pungli di setiap perguruan tinggi. Lalu lebih celaka lagi ketika status PT BHMN berganti melalui UU Dikti Pasal 65 dan PP no.  pasal 27 tentang pola pengelolaan PTN menjadi: PTN Satuan Kerja, PTN BLU 4 Tahun 2014 dan PTN BH. Seolah-olah kampus disuruh untuk mengejar fase PTN BH untuk mencapai standarisasi kualitas perguruan tinggi. Namun kenyataannya pengelompokan perguruan tinggi ini hanya memuluskan langkah neoliberalisasi mencengkram perguruan tinggi dan bersamaan pula negara melepaskan tanggung jawabnya. Jika kampus sudah berada pada status PTN BH tentu pihak kampus tidak ubahnya menjadi pemilik kampus yang akan membuka investasi dan berutang kepada pihak swasta maupun asing dalam pengelolahan keuangannya.

Berjuang  Melawan Neoliberalisasi di dunia Pendidikan

Hari depan kebijakan neoliberalisasi perguruan tinggi di Indonesia adalah menjadikan INVESTASI & UTANG LUAR NEGERI menjadi sandaran utama pengelolahan keuangan di Indonesia. Sementara negara berlahan-lahan akan lepas tangan dalam pengelolahan keuangan (ITULAH TUJUAN OTONOMI KAMPUS). Jadi tidak ubahnya dengan pembangunan di Indonesia yang telah sesungguhnya  gagal akibat terlilit UTANG dan INVESTASI sebagai sandaran pembiayaannya. Sebab investasi dan utang hanya menjadi bentuk eksport kapital imperialisme beserta borjuasi besar komprador untuk menjadikan mahasiswa, orang tua mahasiswa sebagai objek PASAR KAMPUS untuk meraup KEUNTUNGAN.

Kebangkitan perjuangan massa melawan UKT dapat menjadi etalase untuk memukul mundur neoliberalisasi dari perguruan tinggi. Perjuangan UKT bukanlah semata-mata perjuangan yang bersifat parsial yang hanya menunjukkan entitas kampus kita. Namun perjuangan mahasiswa melawan UKT dapat memajukan kesadaran mahasiswa untuk memukul mundur neoliberalisasi imperialisme AS beserta birokrasi pemerintah Jokowi-JK yang semakin mencengkram kebebasan, keadilan dan kebenaran atas pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.



Penulis : Fredrick Leo Barus
(Ka.Dept Kampanye Massa dan Pelayanan Rakyat PP FMN)


Referensi:
1. Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. Pustaka LP3ES, Jakarta 2008
2. Edi Subkhan. Pendidikan kritis kritik atas praksis neoliberalisasi dan standarisasi pendidikan. Ar Ruzz, Yogyakarta 2016.
3. http://jogjastudent.com/surat-terbuka-untuk-ibu-rektor-ugm/, Diakses pada tanggal 24 September 2016