Sukamulya Tak Akan Bisa Dirampas
Jam tangan digital saya menunjukkan
pukul empat sore ketika mobil yang saya tumpangi mengambil haluan pintu keluar
Kertajati dari Tol Cipali-tol yang baru saja diresmikan Juni 2015. Memang gema
pembangunan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, bisa diperhatikan sedang
digenjot oleh pemerintah pusat maupun daerah, terutama pembangunan
infrastruktur. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia
Tenggara seperti Thailand dan Malaysia, kondisi infrastruktur di Indonesia bisa
dikatakan jauh terbelakang. Ibarat kebakaran jenggot, pemerintah sedang
berusaha keras mengejar ketertinggalan tersebut.
Dengan dalih menyerap investor dan
mengembangkan ekonomi sekaligus SDM rakyat sekitar, pembangunan yang hanya
berorientasi pada angka-angka ekonomi nyatanya justru menjauhkan rakyat dari
sumber-sumber mata pencaharian yang layak. Pembangunan yang semestinya membawa
keberkahan dan manfaat bagi rakyat, namun justru menyebabkan timbul pertanyaan "rakyat
yang manakah yang sebenarnya mendapatkan manfaat?". Salah satunya adalah
land grabbing , yang dimaknai sebagai akuisisi lahan.
Land grabbing yakni perampasan tanah
dalam skala luas oleh korporasi, baik asing maupun domestik. Alih fungsi lahan
pun tak dapat dielakkan atas dasar pembangunan oleh korporasi. Land grabbing
kini telah menjadi pemicu sebagian besar konflik agraria di Indonesia.
Konflik, ya memang betul konflik, antara
pemerintah melalui aparat kepolisian, TNI dan Satpol PP dengan para petani Desa
Sukamulya terjadi pada tanggal 17 November 2016 yang membawa saya kemari, Desa
Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Prov. Jawa Barat.
Saya tak sendiri, namun hadir bersama
rombongan lainnya dari Jakarta, Bandung, Kuningan, Tangerang, Yogyakarta,
Cirebon dan berbagai kota lainnya. Kami datang atas keprihatinan dan kepedulian
kami terhadap petani Desa Sukamulya. Petani yang telah puluhan tahun hidup dan
mengelola sawah di atas tanah yang secara hukum merupakan milik mereka. Naas,
mereka telah dianggap melawan negara dan menghambat pembangunan negara, yakni
Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.
Desa Sukamulya terletak tak jauh dari
pintu keluar Tol Cipali. Awan mendung membawa suasana sekitar menjadi dramatis
ketika mobil kami melawati pos pengamanan lokasi pembangunan runaway Bandara
Internasioanal Jawa Barat yang dijaga oleh aparat militer. Kami melintasi
runaway yang masih setengah jadi itu untuk menuju Desa Sukamulya. Tampak
deretan alat-alat berat dan truk, serta pekerja kontruksi yang sedang
berteduh.
Miris, mengingat awalnya lokasi itu
adalah lahan pertanian rakyat Desa Bantarjati, yang telah beralih fungsi. Kabar
dari warga Sukamulya, kini banyak petani Bantarjati yang kesusahan mencari
pekerjaan dan mencari lahan pertanian pengganti. Setelah melewati lokasi runaway, kami
mulai memasuki wilayah Desa Sukamulya. Untuk menuju wilayah perumahan warga,
kami diharuskan melalui jalanan yang jauh dari kata layak. Kemanakah perginya
uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat Desa Sukamulya sehingga Pemerintah
Kabupaten Majalengka tidak menyediakan jalanan yang layak? Di saat desa
tetangga menikmati layanan perbaikan jalan namun Desa Sukamulya tidak. Jalanan
desa yang rusak jelas menghambat mobilitas warga desa, sehingga mendorong warga
untuk bergotong royong menambal lubang-lubang dengan material seadanya. Mereka
bekerja secara swadaya.
Sambutan yang hangat dan meriah kami
dapatkan saat kami tiba di balai desa. Terlihat semangat yang menggebu-gebu di
antara kerumunan warga Sukamulya saat aparat desa meneriakkan "Hidup
Sukamulya!", yang sontak dibalas lebih keras oleh warga secara serentak.
Masyarakat yang bersatu, menolak penindasan, merupakan kesan yang saya dapatkan
ketika melihat kerumunan warga semakin memadati balai desa.
Selain berbincang-bincang dengan warga
di balai desa, saya dan kawan-kawan lainnya juga mengunjungi rumah-rumah warga.
Saya mengunjungi Dusun Sukaresmi, Desa Sukamulya. Sembilan puluh sembilan
persen warga Dusun Sukaresmi bekerja sebagai petani. Berdasarkan hasil diskusi
dengan warga, mereka sangat bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada
mereka melalui hasil tani yang melimpah. Mereka menjelaskan betapa suburnya
tanah di Desa Sukamulya. Jarang sekali lahan pertanian di Desa Sukamulya
terkena wabah penyakit. Bahkan warga juga melakukan ekstensifikasi tanaman
ketika pasokan air tidak melimpah dengan cara menanam tanaman palawija, yang
juga memberikan keuntungan dan keberkahan bagi masyarakat.
Semua kekayaan yang terkandung di tanah
Sukamulya lah yang mengundang para investor licik ingin menguasai tanah subur
ini dan menggilasnya dengan runway pesawat. Tapi saya yakin, Sukamulya tak akan
bisa dirampas.
Penulis : Irsyad Prasetyo / FMN UI
Foto : Ahsan Setiawan / Catur Widi Asmoro