Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Diperhambat Penyelesaian, Mahasiswa Pendidikan Akuntansi FE UNM Terpaksa Urus Surat Pindah. Lawan Arogansi Tenaga Pendidik, Lawan Kekerasan Akademik!”


Bagi Angkatan 2011 di UNM, tahun 2018 bulan Agustus menjadi waktu  terakhir untuk menyelesaikan studi. Ada banyak yang mampu menyelesaikan studinya di masa-masa terakhir itu dan ada beberapa yang akhirnya harus dinyatakan DO (Drop Out). Namun bukan cuma fenomena  DO saja yang terjadi, pengurusan Surat Pindah juga menjadi solusi terakhir bagi mereka yang tidak DO namun tidak bisa selesai di UNM.

Makassar, 14 Agustus 2018 keluar surat KETERANGAN PINDAH UNIVERSITAS atas persetujuan Ketua Prodi Pendidikan Akuntansi yang ditanda tangani oleh Dekan Fakultas Ekonomi dengan tembusan kepada Rektor Universitas Negeri Makassar.


Mahasiswa Pendidikan Akuntansi atas nama Filtra Absri Angkatan 2011 harus mengurusi surat pindah karena dipastikan tidak dapat menyelesaikan studinya yang telah sampai batas maksimal kuliah, yaitu 7 tahun. Dalam proses penyelesaiannya ia mengalami tindak Kekerasan  Akademik sehingga terhambat untuk menyelesaikan studinya.

Filtra Absri atau biasa disapah Itta’ termasuk mahasiswa yang baik dalam hal akademik. Dari 59 mata kuliah termasuk PPL dan KKN hanya berderet nilai A dan B. IPK (Indeks Penilaian Kumulatif) berdasarkan transkip nilainya mencapai 3,58. Hal ini cukup membuktikan jika Itta’ adalah mahasiswa yang pandai secara akademik.


Tercatat dalam Buku Konsultasi Skripsi-nya, ia telah konsultasi dan menghabiskan waktu kurang lebih 12 bulan, dari tanggal 20 September 2017 sampai terakhir tanggal 10 Agustus 2018. Hingga konsultasi terakhirnya ia sama sekali belum ujian proposal.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa mahasiswa dengan IPK yang cukup tinggi dan rajin berkonsultasi hingga 10 Agustus 2018 belum juga ujian proposal? Tentu ada masalah yang terjadi, dan masalah yang didapati adalah persoalan ketidak profesionalan seorang tenaga pendidik yang menunjukka watak arogannya lewat tindak kekerasan akademik yang dialami oleh Itta’ sendiri.

Watak arogan yang berhujung pada tindak kekerasan akademik terhadap mahasiswa sudah sering kita dapati dalam dunia kampus. Bentuknya macam-macam seperti; Intervensi nilai, dikucilkan dalam perkuliahan, intimidasi, serta dihambat dalam penyelesaian. Adapun motifnya seperti; mematikan gerakan demokratis mahasiswa, alasan rasis atau penampilan, dendam pribadi, ataupun kepentingan lainnya.

Itta’ adalah mahasiswa yang terindikasi memperoleh dendam pribadi dari Ketua Prodi-nya, Dra. Sitti Hajerah Hasyim, M.Si. yang sekaligus menjadi Dosen Pembimbing II perihal penanggung jawab penyelesaian skripsinya.


Dendam Pribadi yang menimpa Itta’ bermuara pada masalah yang pernah terjadi di Jurusan Pendidikan Akuntansi tahun 2016. Sikap arogan Ketua Prodi yang tidak memberi izin kepada mahasiswa-nya untuk melaksanakan pengkaderan, serta memberi sanksi tidak diperkenankan masuk perkuliahan dalam kelasnya kepada mahasiswa yang mengikuti kegiatan pengkaderan tersebut. Hal ini memantik gerakan mahasiswa untuk mengangkat isu pencopotan jabatan Ketua Prodi Pendidikan Akuntansi. Itta’ sebagai salah seorang motor penggerak gerakan pada saat itu menjadi korban dari watak arogan dan anti kritik Ketua Prodi-nya sendiri.

Terakhir dalam rekaman yang diambil pada tanggal 16 Agustus 2018 oleh Itta’ sendiri sewaktu menghadap ke Wakil Rektor I memperoleh tanggapan sinis yang saat itu sedang menghubungi Ketua Prodi-nya Via telepon. Itta’ dituduh sebagai orang yang keras kepala oleh Ketua Prodi sekaligus Pembimbing II-nya tersebut, karena tidak mau mengganti judul skripsinya. Itta’ sempat mengelak karena merasa tidak pernah diberi himbauan untuk mengganti judul skripsinya. Memang dalam Buku Konsultasi Skrpsi-nya, tercatat pada tanggal 7 Agustus 2018 ada pernyataan ketidaksetujuan terhadap judul skripsi yang ditawarkan oleh Itta’, namun tidak ada himbauan untuk mengganti judul skripsi dan jikapun pernyataan tersebut mengindikasi himbauan penggantian judul, hal tersebut sudah sangat terlambat mengingat bulan Agustus 2018 menjadi bulan terakhir penyelesaian bagi angkatan 2011, sedangkan Itta’ sama sekali belum melaksanakan ujian proposal.

Anehnya dalam Buku Konsultasi Skripsi-nya tertanggal 10 Agustus 2018, Itta’ disuruh mendatangkan orang tuanya untuk menghadap kepada Ketua Prodi-nya, dan hal tersebut diindahkan oleh Itta’. Menurut pengakuan Itta’ dalam rekamannya bersama Wakil Rektor I, ia sempat mengalami pengalaman pahit karena sangat sedih melihat orang tuanya mesti berlinang air mata karena memperoleh pernyataan dari Ketua Prodi-nya, bahwa Itta’ dinyatakan tidak akan selesai di UNM dan dihimbau sebagai solusi terakhirnya ialah harus mengurus surat pindah.


Dalam rekaman tersebut Itta’ berharap agar kasus yang ia alami agar tidak terjadi kepada mahasiswa lainnya di Prodi Pendidikan Akuntasi FE UNM. Ia berharap hal tersebut menjadi yang terakhir kalinya di Prodi-nya.

Hal-hal di atas telah menjadi bukti nyata kasus Kekerasan Akademik dari tenaga pendidik yang dialami Itta’.

Apa yang dialami Itta’ merupakan satu dari sekian banyaknya kasus Kekerasan Akademik yang dialami mahasiswa di UNM dan secara sangat umum terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Gerakan-gerakan menuntut hak-hak demokratis mahasiswa dalam kampus terus menerus memperoleh intimidasi baik secara akademik maupun intimidasi yang dibungkus formalitas aturan kampus seperti sanksi skorsng bahkan DO. Hal tersebut serupa dengan yang belum lama in terjadi kepada 6 mahasiswa FE UNM yang dihadiahi sanksi skorsing karena menuntut perbaikan sarana prasarana kampus serta transparansi anggaran yang ada di Fakultas-nya.


Masalah-masalah yang ada di dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi adalah sebab dasar terbangunnya gerakan-gerakan demokratis mahasiswa yang menuntut hak-hak-nya. Masalah yang paling mendasar adalah akses yang semakin mahal/sempit bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan, khususnya penddikan tinggi di Indonesia, akibat di berlakukannya Sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang berpangkal pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Tidak heran jika sejak mulai diterapkannya system UKT pada tahun 2012 telah banyak memperoleh perlawanan oleh gerakan rakyat, khususnya mahasiswa.

Kampus di Indonesia bukan lagi wadah yang menjanjikan nilai-nilai keilmiahan serta nilai-nilai demokratis di dalamnya. Kampus telah mengalami disorientasi dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Praktik-praktik liberalisasi, komersialisasi, serta privatisasi dunia pendidikan telah melahirkan watak-watak pragmatis, arogan, serta anti kritik pimpinan maupun tenaga pendidik kampus yang berorientasi mencari profit atau keuntungan. Sebagaimana yang dialami oleh Itta’ sendiri, selaku korban watak arogan dan anti kritik pimpinan prodi-nya.

Dari kasus ini diharapkan menjadi bahan refleksi bagi kita semua selaku mahasiswa untuk semkin sadar dengan kondisi pendidikan kita khususnya kondisi tenaga pendidikan kita. Tidak ada jalan lain selain terus membongkar kenyataan kampus dan memperjuangakannya melalui jalan massa. Karena tanpa perjuangan massa yang massif dan besar gerakan demokratis mahasiswa yang menuntut hak-hak-nya akan mudah dipatahkan.

Maka kami segenap pimpinan harian FMN Ranting UNM turut menyuarakan menuntut pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.

Salam Demokrasi !

Pimpinan Harian
FMN Ranting UNM


Muh. Syahrizal
Ketua