Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

NO LAND NO LIFE





Hentikan perampasan tanah petani, karena tanah adalah tempat petani memuliakan dirinya dengan kerja. 
(Aliansi Gerakan Reforma Agraria)

Berbagai bencana melanda belahan dunia, sehingga solidaritas dan Seruan perlawanan bermunculan dari seluruh penjuru dunia. Negara berkembang atau istilah lain negara dunia ketiga masih menunjukkan aksi perlawanan dan penolakan terhadap massifnya perampasan dan monopoli atas tanah yang dilakukan oleh imperialisme. Hal yang serupa terjadi ketika kita semua harus memperingati hari ketiadaan pangan implementasi nyata bentuk dari keserakahan sekelompok manusia yang tak beradab dan jauh dari sikap kemanusiaan.
 
Tumbuh subur di ingatan ini, bahwa Tercatat dalam sejarah Indonesia, Konferensi Meja bundar (KMB) merupakan upaya diplomasi borjuis yang berhasil memenangkan Indonesia dari cengkeraman belanda yang menjajah Indonesia kurang lebih 350 tahun. Hatta dan Syahrir menjadi delegasi untuk melepaskan penderitaan rakyat Indonesia yang sudah lama mencita-citakan kemerdekaan. KMB hadir dengan hasil memuaskan seperti yang terlampir dalam diktat pembelajaran sekolah. Namun realitasnya menjelaskan, bahwa hasil KMB sangat berdampak buruk pada kedaulatan pangan bangsa Indonesia sehingga semakin leluasanya borjuasi komprador melakukan monopoli atas tanah yang seharusnya dikelola dan diperuntukkan rakyat Indonesia. Dan hasil KMB mengkhianati kerja keras rakyat indonesia untuk mencapai kemerdekaan dengan revolusi 1945.  

Kita bisa melihat ke belakang, betapa nasib bangsa ini telah digadaikan oleh suatu bentuk pemerintahan yang fasis, anti kritik, dan anti rakyat. Tokoh yang bertanggungjawab atas penderitaan panjang yang dialami oleh rakyat indonesia serta mencatat namanya di sejarah dunia menjadi diktator yaitu Soeharto. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan indonesia, feodalisme tidak pernah berhasil di hancurkan. Reforma agraria sejati sudah seharusnya menjadi prioritas pemerintahan bersandar UUPA No. 5 Tahun 1960. Namun sejak berkuasanya rezim kaki tangan imperialis yang pertama, ruang ekspresi kebebasan masyarakat untuk berpendapat di depan publik dirampas serta merta  . Soeharto menjadi rezim yang anti rakyat namun sangat setia kepada kapitalisme monopoli. Sehingga perlawan rakyat dalam meruntuhkan rezim fasis semakin massif. Namun tak dapat dipungkiri bahwa hari ini bukanlah rakyat Indonesia yang berkarakter inlander melainkan pemimpin negeri ini yang setia menjadi boneka terhadap kekuatan asing.
 
Mengutip catatan Aliansi gerakan reforma agraria (AGRA) sampai bulan Mei 2016 Konflik agraria tercatat sebanyak 59 kasus yang terjadi di 18 provinsi, dengan korban kekerasan 256 orang, penembakan 39 orang, kriminalisasi 82 orang dan, 10 orang meninggal dunia. Konflik tersebut terbagi atas beberapa sektor pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintahan jokowi-JK dengan konsep Nawa Cita dan sedang berlanjut sehingga sekarang. Secara tegas pemerintahan yang ada sangat sulit memenuhi tuntutan rakyat atas ketiadaan tanah sehingga kemelaratan tetap terjadi dinegeri ini. Hal tersebut di karenakan reforma agraria palsu pemerintah populis jokowi-jk hanya melanjutkan estafet kerja sama dari rezim sebelumnya untuk mengabdi pada pemodal-pemodal dan melakukan tindakan represif terhadap rakyat yang berjuang memperjuangkan dan mempertahankan tanahnya. 

Dalam perang melawan rezim fasis, rakyat wajib pula menanggung “kesakitan” karena harus berhadapan aparatur negara yang berjanji mengayomi masyarakat. Dapat kita lihat seketika dimana pada tanggal 29 maret 2016 kemarin, saat front perjuangan rakyat Sulawesi tengah (FPR Sulteng) melakukan aksi demonstrasi dalam rangka memperingati hari ketiadaan tanah internasional. Aksi ini dilakukan untuk menuntut kepada pemerintahan Jokowi-JK segera menghentikan monopoli dan perampasan tanah atas rakyat. Namun aparatur keamanan sebagai alat Negara harus setia dan melindungi yang berkuasa sehingga penembakan terhadap massa aksi terjadi. Sebanyak 14 orang mengalami luka tembak dan sebanyak 64 orang ditahan tanpa alasan yang tidak jelas dan mendasar.   

Fakta tersebut memunculkan suatu hipotesa tentang sikap pemerintahan yang melakukan kesewenang-wenangan lewat kekuasaannya dan melakukan pembiaran atas penderitaan dan kemiskinan yang terus mengerogoti negeri ini. Aksi yang dilakukan untuk memperingati hari ketiadaan tanah internasional bukanlah tidak memiliki alasan. Menurut data BPS per-Maret 2016, menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 28,1 juta jiwa (10,86%), dengan persebaran 10,4 juta jiwa di perkotaan dan 17,67 juta jiwa di pedesaan.  

Dari beberapa sumber lainnya FAO (food and agriculture organization) mencatat 795 juta orang mengalami kekurangan gizi kronis, atau satu dari sembilan orang menderita kelaparan. Dimana 780 juta diantaranya berada di negeri-negeri berkembang. Rilis tersebut dikeluarkan bersama dengan WFP (world food program) dan IFAD (International Fund for Agricultural Development) pada bulan Mei 2015. Bahkan pemerintah Bangladesh melaporkan 55.300.000 orang di negaranya hidup dalam kekurangan makanan. Hal ini penting pula untuk kita renungkan secara seksama. Kekayaan alam ini apakah hanya untuk segelintir manusia ataukah untuk semua manusia?

FAO menyebutkan bahwa target untuk memerangi angka kelaparan terhalang oleh berbagai keadaan seperti krisis ekonomi global, perubahan iklim, ketidakstabilan politik hingga konflik dan perang. Selain itu laporan Sofi (swiss Organization for Facilitating Investments) 2015 menyebutkan berbagai hal tersebut selama 30 tahun kebelakang telah berkembang menjadi permasalahan jangka panjang dan akan semakin mengganggu program memerangi kelaparan diberbagai belahan dunia. Pada tahun yang sama di Indonesia ada 19,4 juta penduduk yang menderita kelaparan setiap hari. Angka tersebut adalah sepertiga dari 60 juta orang yang masih menderita kelaparan di Asia Tenggara.

Hari ketiadaan pangan yang jatuh pada tanggal 16 oktober setiap tahunnya tidaklah hanya sebatas diperingati dengan testimoni semata. Pastinya dalam merayakan hari ketiadaan pangan internasional maka kampanye secara meluas pula dilakukan di indonesia dan sembilan negara yang tergabung dalam Asian Peasant Coalition (APC) seperti Bangladesh, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, kamboja dan, Mongolia yang akan mengelar aksi pada hari 17 Oktober 2016. AGRA Indonesia yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat hadir untuk melakukan kampanye secara luas untuk menuntut kepada pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati yang merupakan jalan keluar dari kemiskinan, serta kelangkaan pangan di indonesia.

Tidak ada tanah, maka tidak ada kehidupan bagi rakyat di seluruh dunia. Karena dari tanahlah sumber kehidupan setiap manusia di muka bumi ini. Perjuangan cukup panjang yang harus ditempuh hari ini adalah melawan monopoli atas tanah. Akar persoalan dari bencana ketiadaan pangan ini adalah tidak terlaksananya reforma agraria sejati yang juga merupakan jalan keluar dari kemiskinan seluruh rakyat dunia.

Long live people struggle !


Penulis : Abdul Salman (Anggota FMN Makassar)