Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa Yang Seharusnya Dibayar Mahasiswa ?


Membaca berbagai peraturan tentang pendidikan tinggi tentulah hal yang melelahkan bahkan membosankan. Banyak halamannya bukan main, coy? Tetapi “ancaman” dari Pemred Li Ta Chao berhasil “memaksa” saya untuk melaksanakan tindakan melelahkan tersebut. Selain itu, keluhan teman-teman tentang banyaknya biaya yang harus mereka bayar selain UKT juga menjadi pendorong untuk melakukan hal ini. Nah, berbagai argumen disini akan bersifat normatif atau sesuai dengan hukum yang tertulis dan banyak memakai alat analisis yang “dicomot” dari artikel yang membahas UKT di blog “terserah dong” yang entah diampuh oleh siapa.

Supaya langsung berhubungan dengan judul di atas, kita langsung membahas UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012.

Pasal 83 Ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam APBN.”

Pasal 89 ayat (1) menyatakan bahwa “Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari APBN dan/atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk : a. PTN, sebagai biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan”

Dari isi pasal di atas, ga salah kan kalo kita berkesimpulan bahwa biaya operasional itu berbeda dari biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya investasi dan biaya pengembangan (kesimpulan pertama).

Kemudian kita balik ke Pasal 88 Ayat (1) “Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah.”

Ayat (2) “Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.”

Ayat (3) “Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.”

Dari pasal tersebut kita mendapat kesimpulan kedua, yaitu mahasiswa “hanya” berkewajiban menanggung atau membayar biaya operasional. Artinya tidak berkewajiban menanggung biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya investasi dan biaya pengembangan.

Kita balik lagi ke Pasal 76 Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.”

Jika kita merujuk pada kesimpulan kedua berarti apa yang dikutip kampus dari mahasiswa haruslah apa yang menjadi biaya operasional, dengan kata lain kampus tidak boleh mengutip biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya pengembangan, biaya investasi dari kantong mahasiswa atau pihak yang membiayai mahasiswa (kesimpulan ketiga).
Supaya lebih terang, saya tuliskan lagi tiga kesimpulan yang kita dapat dari pembacaan pasal-pasal di atas

Pertama
Biaya operasional itu berbeda dari biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya investasi dan biaya pengembangan.

Kedua
Mahasiswa “hanya” berkewajiban menanggung atau membayar biaya operasional. Artinya tidak berkewajiban menanggung biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya investasi dan biaya pengembangan.

Ketiga
Kampus hanya menerima pembayaran dari mahasiswa berupa biaya untuk kekbutuhan operasional, bukan biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya pengembangan, biaya investasi.

Sehingga di atas kertas, kesimpulan di atas cukup kiranya untuk menjawab judul sekaligus pertanyaan utama di artikel ini. Namun bagaimanakah penerapannya di Universitas Sumatera Utara (USU)? Kita coba ulas secara singkat.

Untuk PTN-PTN, pasal-pasal diatas kemudian diterjemahkan menjadi skema Uang Kuliah Tunggal. Sejak 2013, seluruh PTN di bawah Kemendikud (sekarang Kemenristekdikti) mulai menerapkan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT sendiri adalah “bagian dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggung oleh mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya” (Pasal 1 Ayat (6) Permenristekdikti 39 Tahun 2016).

Nah, definisi UKT ini selalu sama dalam Permen yang dikeluarkan setiap tahunnya (Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, Permendikbud Nomor 73 Tahun 2014, Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015, Permenristekdikti 39 Tahun 2016). Yang berubah adalah definisi tentang BKT. Jika pada 3 Permen tahun 2013-2015 secara tegas dinyatakan bahwa BKT adalah “keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri” maka pada Permen tahun 2016 definisi itu coba “diperluas” menjadi “keseluruhan biaya operasional yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa per semester pada program studi di PTN.” Dengan cakupan yang lebih “luas” tentu akan berbanding lurus dengan nominal BKT yang juga akan semakin “luas” alias mahal. Tapi soal definisi yang meluas ini akan dibahas di lain kesempatan. Kita fokus pada apa yang seharusnya dibayar mahasiswa.

Pada 30 Agustus lalu, Persatuan Orangtua Mahasiswa (POM) FK USU mengadakan pertemuan yang intinya meminta “sumbangan” tapi wajib dari masing-masing orangtua mahasiswa (pihak yang membiayai mahasiswa) minimal Rp. 4.000.000 per orang. [1] “Sumbangan” ini nanti nya akan digunakan untuk membangun kantin, lapangan futsal dan bantuan untuk kegiatan mahasiswa. Biaya untuk kantin dan lapangan futsal jelas merupakan biaya investasi (Pasal 6 Ayat (4) PP Nomor 26 Tahun 2015). Itu bukan bagian dari biaya operasional yang memang harus dibayar oleh mahasiswa atau pihak yang membiayainya. Tapi kenapa pihak FK USU memaksakan hal tersebut kepada mahasiswa? Jelas dong ini pelanggaran. Jelas dong ini pungli.

Di FISIP persoalan serupa juga terjadi. Liburan semester pada Juli-September lalu dijadikan oleh kampus menjadi momentum pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan bagi mahasiswa Angkatan 2013 FISIP USU. Nah yang menjadi masalah adalah kampus coba-coba mengutip lagi uang tambahan dari mahasiswa dengan berbagai kemasan. Ada istilah “biaya kebersihan gedung”, “uang insentif untuk dosen”, “uang makan dosen di seminar PKL” dan lain-lain. Sekali lagi, itu jelas-jelas bukan biaya operasional mahasiswa. Kenapa mahasiswa harus membayar itu? Kenapa mahasiswa harus kena pungli?

Di FMIPA, kita bahkan akan menemukan pola pungli yang berbeda. Walaupun sudah membayar UKT, mahasiswa D3 Metrologi angkatan 2013 yang akan menempuh sidang dan wisuda tetap dimintai uang untuk membayar kegiatan tersebut. Tidak ada bedanya dengan angkatan 2012 yang tidak membayar UKT! Nah dimana letak punglinya? Dalam definisi BKT sudah jelas dinyatakan bahwa keseluruhan biaya operasional yang terkait langsung dengan mahasiswa. Pasti lah biaya wisuda dan biaya sidang termasuk dalam hal itu. Jadi dengan mengutip biaya itu dari mahasiswa di luar skema UKT sama dengan menyuruh mahasiswa untuk membayar hal yang sama sebanyak dua kali dan sama dengan pungli.


Penulis : Janter Ronaldo Purba (Anggota FMN Medan)