Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hak Dasar Pendidikan untuk Pemuda di Rezim Jokowi-JK Masih Masih Jauh dari Harapan

  
            A.    Sekilas Tentang HAM
Dalam  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa pengecualian apapun seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, politik atau pandangan lain, dan asal usul kebangsaan. Sedangkan menurut UU No 39 tahun 1999, HAM diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan, serta perlindungan harkat dan martabat manusia.     
HAM memiliki karakter umum dalam doktrinnya, seperti fokus pada martabat manusia, dilindungi secara legal, dijamin oleh norma-norma internasional, melindungi baik entitas maupun kolektif, menempatkan Negara dan aparatusnya sebagai pemangku kewajiban, tidak dicabut dan diambil, menjunjung asas kesetaraan, asas saling berkaitan dan bergantung, serta asas universalitas. Secara sederhana HAM dapat dipahami sebagai standar kemanusiaan yang berlaku secara universal dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan memliki kewajiban untuk melindungi, menghormati dan, memenuhi hak tersebut.
Dalam upaya penegakan HAM secara kongkrit dunia internasional menciptakan berbagai instrumen hukum yang diharapkan dapat menjamin perlindungan dan penegakan HAM secara legal dan berkelanjutan. Diantara beragam instrument HAM yang diciptakan, ada dua instrumen pokok sebagai dasar bagi instrument lain. Kedua instrumen tersebut adalah kovenan yang diadopsi oleh resolusi majelis umum PBB pada desember 1966 dan bersama-sama dengan DUHAM bergabung  dalam International Bill of Human Rights yang sering dianggap sebagai konstitusi HAM internasional. Adapun dua kovenan yang dimaksud adalah ;
1.    Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR). Instrumen ini telah ditandangani oleh 164 negara pihak, dan Indonesia telah meratifikasi lewat UU No 12 tahun 2005. Kovenan ini mengakui diantaranya hak sipil dalam bentuk hak hidup yang berarti bebas dari pembunuhan sewenang-wenang, bebas dari genosida, bebas dari pembunuhan kilat, dan bebas dari ancaman pembunuhan. Kemudian ada hak atas kebebasan dan keamanan pribadi yang ditafsirkan sebagai kebebasan dari penahanan sewenang-wenang, dan hak bebas dari penghilangan paksa. Lalu ada hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, yang berarti bebas menentukan kepercayaan yang diyakini serta beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Kemudian hak bebas berekspresi, berserikat dan berkumpul, yang didalamnya memuat juga soal kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide apapun tanpa memperhatikan medianya.
2.    Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights/ICESR). Telah ditandatangani oleh 160 negara pihak, Indonesia meratifikasi melalui UU no 11 tahun 2005. Dalam kovenan ini memuat pengakuan tentang hak atas standar kehidupan yang layak dalam bentuk kelayakan pangan, pakaian dan perumahan, perawatan medis, serta pelayanan sosial yang diperlukan. Kemudian hak atas pekerjaan dalam bentuk upah yang memadai, bebas dari perbudakan dan praktek serupa, bebas dari kerja paksa dan kerja wajib, hak atas kebebasan bekerja dan layanan kerja yang bebas, serta hak mendapatkan perlindungan dalam pekerjaan (termasuk dalamnya kebebasan berserikat, tawar menawar kolektif, mogok, dan migrasi). Lalu hak atas pendidikan dalam bentuk pendidikan dasar secara Cuma-Cuma, hak mendapatkan pendidikan lanjutan, hak untuk mengakses pendidikan tinggi sesuai kemampuan, serta memilih tempat sekolah selain yang dibentuk pemerintah.

B.       Kondisi HAM Dunia Pendidikan

     Selain HAM, bangsa Indonesia memiliki keyakinan bahwa melalui UUD 1945  pendidikan diterangkan sebagai jalan menuju pembagunan negara yang adil dan sejahtera dengan cara mencerdasan kehidupan bangsa dengan memberikan pelayanan pendidikan yang layak dan dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Melihat kondisi sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dari 244,8 orang dan merupakan peringkat ke-4 terbesar jumlah penduduk Negara di dunia sehingga secara ideal sangat menunjang pengelolaan sumber daya alam yang melimpah untuk meningkatkan upaya pemajuan bertahap dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga Negara.
Sayangnya, keterbatasan lapangan pekerjaan bagi lulusan pendidikan, upah murah bagi para buruh serta mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat  tidak semuanya mampu melanjutkan pendidikan sampai pada tingkat pendidikan tinggi. Rendahnya pendapatan masyarakat Indonesia sementara biaya pendidikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan akibat dari kebijakan pemerintah salah satunya  UU Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 yang oleh beberapa pihak dinilai membuat keadaan pendidikan tinggi semakin jauh dari harapan. Belum lagi praktek-praktek impunitas pengelola kebijakan yang ternyata masih marak di berbagai institusi, termasuk salah satunya institusi pendidikan.
    UU Pendidikan Tinggi  hanya menjadikan kebebasan mimbar akademik, kebebasan akademik menjadi tameng atas otonomi non-akademik (keuangan).kampus tetap dijadikan sebagai institusi untuk berdiri sendiri dengan topangan dana dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, perusahaan-perusahaan borjuasi besar komprador, tuan tanah serta imperialisme (pasal 84 UU Pendidikan Tinggi). Demikian juga amanat pasal 88 UU PT, pemerintah menyerahkan pada pendidikan tinggi untuk menetapkan satuan biaya operasional pendidikan tinggi (SBOP) yang dinamai uang kuliah tunggal (UKT) yang dihitung dari tahun ke tahun. Tentu pada penerapan UKT,  biaya pendidikan tinggi akan selalu naik setiap tahun ajaran baru. Kenaikan biaya kuliah bisa dilihat dari Permen 55 tahun 2013 dan permen 73 tahun 2014. Permen 55 tersebut hanya mengatur 5 golongan pembayaran sementara di permen 73 tahun 2014 sudah ada sampai 8 golongan pembayaran, dan tentunya kenaikan jumlah golongan tersebut sama hanya dengan kenaikan pembayaran.
Kurangnya pembangunan institusi pendidikan yang tersebar di seluruh indonesia yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk  membuat masyarakat sebagian besar menjadi tenaga kerja murah bahkan menjadi pengangguran. Dari Jumlah pemuda Indonesia sebanyak 75 juta orang dari total penduduk 244,8 juta orang,  yang mampu mengakses pendidikan sampai pada tahap pendidikan tinggi hanya ada sekitar 5 juta orang.
Selain persoalan akses pendidikan yang sulit, berbagai persoalan terkait pelanggaraan  hak asasi manusia juga masih terus dialami oleh mahasiswa. Kampus masih terus saja membatasi mahasiswa untuk berorganisasi mulai dari dilarangnya mahasiswa untuk berorganisasi didalam kampus jika Indeks prestasinya dibawah 3,00 sampai pada ancaman skorshing dan DO bagi mahasiswa yang mengkritisi kebijakan petinggi kampus
Pelarangan mahasiswa untuk menjadi pengurus organisasi jika IPK dibawah 3,00 secara jelas mengekang hak-hak demokratis mahasiswa yang seharusnya diberikan seluas-luasnya, sebab penting untuk dipahami bahwa organisasi itu juga adalah tempat mahasiswa belajar dan tempat mahasiswa memperoleh pengalaman. Dalam konstitusi negara mengatur secara jelas kebebasan berorganisasi dan berpendapat bagi rakyatnya. Namun hal ini tidak diliat secara baik oleh birokrat  kampus, birokrat kampus terus menunjukkan watak tidak demokratisnya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengekang kreativitas mahasiswa.
Berbagai persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa dikampus seperti mahalnya biaya pendidikan tinggi dan kacaunya pengelolaan perguruan tinggi oleh birokrat kampus. Daya kritis dan semangat melakukan perubahakan untuk perbaikan kemajuan kampus oleh mahasiswa mendorong mereka untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang mendorong birokrat kampus untuk melakukan perbaikan demi kemajuan pendidikan tinggi. Namun nyatanya birokrasi kampus selalu tidak bisa menerima hal tersebut, aktivitas-aktivitas mahasiswa tersebut sering sekali direspon dengan sanksi kepada mahasiswa. Masih jelas diingatan kita ancaman DO terhadap mahasiswa FE UNM yang menolak DPP tahun 2011, sanksi DO mahasiswa Stikes Mega Reski Makassar tahun 2014 karena menanyakan besarnya biaya KKN, sanksi Skoshing mahasiswa fakultas teknik Unhas yang melakukan kegiatan pengkaderan.
Melalui konvenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara dalam hal ini pemerintah wajib memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan individu warganya dengan menyediakan lapangan pekerjaan, pendidikan layak yang dapat di akses seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakang suku, budaya, ras agama serta ekonomi.
Deretan persoalan tersebut semakin menunjukkan kampus yang tidak ilmiah dan tidak demokratis. Pemenuhan dan perlindungan  Hak asasi manusia yang menjadi kewajiban negara bagi pemuda mahasiswa masih sangat jauh dari harapan. Ini menunjukkan bahwa negara belum memiliki sikap serius dalam pemenuhan dan penegakan Ham di Indonesia. Pemuda mahasiswa harus terus mengorganisasikan diri dan melakukan aktivitas-aktivitas yang mendorong negara dan pihak kampus untuk menegakkan hak dasar pemuda mahasiswa.

Penulis : Muhammad Shany Kassyaf