Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TOLAK PEMBANGUNAN TERMINAL DAN DERMAGA ASPAL CURAH, FPR SULSEL MENGGELAR AKSI DIDEPAN KANTOR GUBERNUR


FPR (Front Perjuangan Rakyat) Sul-Sel melakukan aksi kampanye di depan kantor Gubernur sulawesi selatan. Front yang tergabung dari AGRA Sulsel, FMN Makassar, PEMBARU Sulsel, FPM Sulsel, BEM FE UNM, dan Kontras Sulawesi memulai aksi pukul 10.40 dengan  Grand isu Stop Perampasan Ruang Hidup Rakyat (11/12/2018).

Aksi kampanye ini untuk merespon persoalan Hak Asasi Manusia yang sering menjadi ancaman bagi hajat hidup masyarakat Bulukumba, terutama dalam aspek ekonomi, sosial, hukum dan kebudayaan. Mulai dari pembangunan Terminal Aspal Curah di Kelurahan Sapolohe Kecamatan Bonto Bahari,  HGU PT. London Sumatera,  tanah masyarakat yang masuk dalam kawasan Tahura, sampai pada Kriminalisasi 14 Aktivis Petani dan Akivis adat.

Aksi kampanye ini juga untuk merespon pertemuan evaluasi dokumen AMDAL dan RKL - RPL PT. Mitra Dagang Makmur terkait pembangunan terminal dan dermaga aspal curah. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh kepala dinas pengelolaan lingkungan hidup sulawesi selatan berlangsung alot karena dihadiri oleh 10 perwakilan masyarakat Kel. Sapalohe Kec. Bonto Bahari Kab. Bulukumba. Masyarakat setempat selama ini telah menyadari bahwa Terminal Aspal Curah ini akan menghilangkan mata pencaharian mereka sebagai petani rumput laut.

Pertemuan ini juga diwarnai dengan pemberian surat somasi kepada kepala dinas lingkungan hidup provinsi sulawesi selatan dan melakukan aksi walk out sebagai bentuk penolakan terhadap pembangunan Terminal Aspal Curah.


Nur Iksan Sumardi selaku Koordinator Aksi menyampaikan "Rencana pembanguna Terminal Aspal Curah mengancam kehidupan 1299 jiwa petani rumput laut dan keluarganya. Meskipun mendapat penolakan keras masyarakat, namun yang kami sayangkan kenapa pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah Kabupaten Bulukumba bersikeras melanjutkan proses pembangunan proyek tersebut. Artinya bahwa hari ini pemkab Bulukumba memilih mengorbankan masyarakat Bulukumba dan lebih memilh “menghamba” pada investasi. Perlu diketahui oleh masyarakat Bulukumba bahwa dengan bertani rumput laut, masyarakat di dua kecamatan tersebut terbukti mampu meningkatkan taraf penghidupan masyarakat. Masyarakat mampu menghasilkan total 30 Milyar Rupiah dalam setahun dari hasil bertani rumput laut. Masyarakat Bonto bahari juga sejak dulu memperjuangkan tanah masyarakat Bonto bahari yang hari ini dirampas oleh Taman Hutan Raya (Tahura)". 

"Sampai saat ini juga masyarakat Adat Kajang masih dengan semangat memperjuangkan tanah ulayat Adat Ammatoa Kajang yang dirampas oleh PT. PP Lonsum. Masyarakat adat Kajang juga menentang praktek kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang menuduh masyarakat adat Kajang melakukan penyerobotan lahan yang diyakini dan bias dibuktikan sebagai tanah ulayat masyarakat adat Kajang". Lanjutnya.


AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) Bulukumba dalam pandangan politinya sangat menyayangkan keputusan pihak kepolisian yang dalam jangka waktu yang singkat menaikkan status 14 masyarakat adat sekaligus pimpinan ranting AGRA menjadi tersangka. Disisi yang lain, pemerintah memang tidak memiliki niat yang serius dalam menyelesaikan konfik lahan masyarakat adat ammatoa dengan PT. Lonsum Bulukumba. Telah 3 bulan masyarakat adat melakukan pendudukan dilahan yang menjadi target perluasan PT. Lonsum untuk peremajaan karet, namun sampai hari ini tim kacil kemendagri yang di janjikan permerintah untuk pengukuran kembali tanah adat ammatoa tidak pernah terealisasi.

Aksi kampanye ditutup dengan membacakan peryataan sikap Font Perjuangan Rakyat Sul-Sel oleh Koordinator Aksi "1. Tolak Pembangunan Terminal Aspal Curah di Kelurahan Sapolohe Kecamatan Bonto Bahari, 2. Cabut HGU PT. London Sumatera, Tbk, 3. Hentikan Kriminalisasi 14 Aktivis Petani dan Akivis adat, 4. Kembalikan tanah masyarakat yang masuk dalam kawasan Tahura, 5. Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional". Tegas Koordinator yang kerap disapa Iccang.

Penulis : Rahmatullah (Bendahara Pembaru Sulsel)