MEA, Era Persaingan Tanpa Perlindungan Terhadap Rakyat
Tahun
2016, era baru Asean Economic Community (AEC) atau yang dikenal dengan nama Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) mulai berlaku. Di berbagi media dan pertemuan-pertemuan
pemerintah terus mempromosikan tentang MEA yakni suatu bentuk kerja sama antar
negara-negara anggota ASEAN, ini adalah bentuk kesepakatan dalam memberlakukan
sistem perdangangan bebas antara negara-negara dalam asia tenggara yang
termasuk dalam ASEAN. Salah satu kesepakatan yang disetujui adalah membuka bebas untuk pasar barang , jasa, modal dan
lapangan pekerjaan . Keadaan ini hanya akan membuat masyarakat Indonesia semakin terpuruk, karena harus bersaing dengan
perusahaan-perusahaan besar dalam memproduksi barang baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya tanpa ada perlindungan dari pemerintah.
Terkhusus
pada sektor Ketenagakerjaan, mengingat keadaan tenaga kerja indonesia yang bisa
dikatakan tidak stabil, apakah Indonesia
telah siap untuk menerapkan hasil kesepakatan MEA saat ini ? jika indonesia
mampu melaksankannya, pertanyaan selanjutnya adalah “apakah masyarakat negara
lain mampu megimbangi keadaan ini?”. Salah satu dampak yang akan ditimbulkan
oleh skema MEA adalah terbentuknya watak individualis rakyat karena keadaan
yang memaksa rakyat untuk bersaing.
Data
BPS tahun 2015 Tingkat Pegangguran Terbuka (TPT) meningkat 6,18 persen
dibanding Tingkat Pengagguran Terbuka pada bulan februari 2015. Hal ini
membuktikan lapangan kerja untuk wilayah Indonesia saja belum mampu menjawab
persoalan pengangguran dalam negeri. Penduduk bekerja pada agustus 2015 sebesar
114,8 juta orang mengalami penurunan sebesar 6,0 juta orang dibandingkan pada
februari 2015, artinya pengangguran kian meningkat. Faktanya menurut BPS, 2015
penduduk bekerja didominasi oleh tingkat pendidikan SD kebawah sebesar 44,27
persen, sementara penduduk dengan tingkat pendidikan lulusan perguruan tinggi
yang bekerja hanya 8,33 persen. Data ini tentu menujukkan bagaimana lemahnya
daya saing yang dimliki oleh rakyat Indonesia di Era MEA.
Disisi
lain, ketika tenaga kerja akan bersaing dengan negara lain, maka kualitas
tenaga kerja tersebut harus mampu bersaing. Faktor yang sangat berpengaruh
dalam kualitas tenaga kerja adalah sektor pendidikan, namun data tahun 2015
pendidikan Indonesia malah menempati rangking 69 dunia. Persolan seperti
mahalnya biaya pendidikan tentunya membuat masyarakat semakin sulit mengakses
pendidikan demi mengembangkan kualitas dirinya, pembatasan berorganisasi bagi
mahasiswa, intervensi mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan kampus dan fasilitas
penunjang pendidikan yang minim tentu menjadi suatu hal yang aka menghamat
kemajuan rakyat Indonesia.
Lahirnya
persaingan yang lebih massif d era MEA tentunya akan menumbuhkembangkan watak
individualis dari rakyat Indonesia. Rakyat harus sikut menyikut dalam mencari mencari
lapangan pekerjaan, persaingan tersebut hanya akan membuat pengusaha untuk terus
mempertahankan upah yang murah sebab ada banyak masyarakat yang berebut untuk
mengisi posisi pangan kerja tersebut . Persaingan skala Asia Tenggara, maka
pengangguran dalam negeri tentu akan meningkat. Dengan kata lain penerapan MEA
tidak sama sekali menjawab persoalan pokok rakyat, apa lagi mensejahterahkan
rakyat seperti yang menjadi tujuan negara dalam pembukaan undang-undang dasar
1945 Republik Indonesia.
Oleh
sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keadaan rakyat Indonesia saat
ini, rakyat Indonesia akan mengalami kerugian yang besar .Negara mesti memperbaiki
sistem pendidikan di Indonesia yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada
rakyat. Sehingga mampu menjawab persoalan pokok rakyat yang menjadi fungsi
utama dalam pendidikan. Namun dengan kondisi Indonesia sebagai negara boneka
hal tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya perjuangan massa yang komperhensif.
Terus memperbesar kekuatan membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakkan
massa dalam menuntut hak dasar rakyat.
Penulis
: Nur Adi Muharram