Penegakkan HAM Adalah Perjuangan Rakyat atas Hak-hak Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya yang Masih Dirampas Jokowi-JK (Bagian 1)
Sekilas
Sejarah Hari HAM Sedunia
Hak asasi manusia dilatarbelakangi
berkemuknya perang Negara imperialis atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Perang Dunia I dan II. HAM sendiri mulai dideklarasikan secara universal
melalui lembaga internasional oleh PBB. Deklarasi tesebut lebih dikenal dengan Universal Declaration of Human Right atau
deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM).
Ternyata dalam sejarah pengakuan hak asasi
manusia sudah lama ditetapkan dan diberlakukan oleh beberapa masyarakat
dibelahan dunia. Seperti, piagam madinah
yang dilaksanakan oleh umat Islam pada awal Abad ke VII. Isi piagam tersebut
adalah toleransi antar umat beragama dan persamaan hak manusia tanpa memandang kelas
budak ataupun majikan. Lalu diikuti, Magna
Charta atau Piagam Agung yang ditetapkan pada 15 Juni 1215 di Ingris yang
isinya adalah membatasi kesewenang-wenangan raja-tuan tanah dalam memungut
pajak kepada rakyat-kaum tani. Ada pula PETITION
OF RIGHTS yang ditetapkan pada tahun
1628 yang isinya penetapan pajak dan pungutan yang dilakukan oleh raja-tuan
tanah harus berdasarkan kesepakatan. Terakhir Bill of Rights yang ditetapkan tahun 1689 yang isinya bahwa setiap
orang berhak mengeluarkan pendapat, aspirasi, berorganisasi, dan penetapan
pajak harus berdasarkan undang-undang.
Sedangkan isi dari UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS yang dideklarasikan pada tanggal 10
Desember 1948, berisi tentang hak-hak
untuk:
Hidup;
Kemerdekaan dan keamanan badan; Diakui kepribadiannya; Memperoleh pengakuan
yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum dalam
perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali
ada bukti yang sah; Masuk dan keluar wilayah suatu Negara; Mendapatkan asylum; Mendapatkan suatu kebangsaan;
Mendapatkan hak milik atas benda; Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan;
Bebas memeluk agama; Mengeluarkan
pendapat; Berapat dan berkumpul; Mendapat jaminan sosial; Mendapatkan
pekerjaan; Berdagang; Mendapatkan pendidikan; Turut serta dalam gerakan
kebudayaan dalam masyarakat; Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan
keilmuan.[1]
Kilas
Balik Perkembangan HAM di Indonesia
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) berisi kewajiban bagi setiap
negara di dunia untuk memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak-hak
dasar bagi warga negaranya. Di Indonesia DUHAM ini telah diratifikasi dengan
diterbitkannya UU No.11 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dan UU No.12 Tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan hak-hak
sipil dan politik di Indonesia. Bahkan perwujudan HAM di Indonesia tertuang
kuat di pasal per pasal dalam UUD 1945. Maka, menjadi tanggung Negara melalui
pemerintahan RI wajib menghormati, melindungi serta memberikan HAM untuk hidup,
merdeka, bebas dan bekerja bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, apakah penegakkan HAM di Indonesia telah dijalankan
sebaik-baiknya oleh Negara ? Sehingga hak asasi manusia baik mencakup hak atas
ekonomi, politik, sosial dan budaya telah dijamin dan diberikan kepada rakyat
Indonesia ? Tentu sangat penting untuk bisa melihat serta menganalisis kilas
balik perkembangan HAM di Indonesia. Sehingga mahasiswa dan rakyat Indonesia,
dapat menilai secara objektif sejauh apa peran negara menjamin dan melindungi
HAM di Indonesia. Karena penegakkan HAM
di Indonesia berguna menjadi salah-satu instrumen untuk mensejahterahkan
dan melindungi rasa aman rakyat Indonesia dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa.
Pada masa kolonial imperialisme Belanda dan fasis Jepang
menguasai seluruh kekayaan alam dan manusia Indonesia semenjak abad 17, sudah
pasti praktek pelanggaran hak asasi manusia sangat berat dilanggengkan. Karena
pada hakekatnya watak dasar imperialisme yang eksploitasi, ekspansif dan
akumulasi modal, senantiasa akan menjalankan penghisapan dan penindasan
terhadap rakyat-rakyat dunia di negara jajahannya maupun pada perkembangannya
di negara setengah jajahan seperti Indonesia saat ini. Seluruh kekayaan alam dimonopoli oleh kolonial
dengan tuan-tuan tanah/raja-raja lokal
untuk mobilisasi tanah dan hasil produksi petani untuk dijual di pasar
internasional. Selain mereka mendapat keuntungan dari monopoli hasil kekayaan
alam yang dirampas di Indonesia, kolonial juga lantas menggunakan rakyat
Indonesia menjadi tenaga-tenaga untuk bekerja secara paksa dalam perkebunan dan
industri kolonial imperialis Belanda. Kita mengenal di jaman Belanda sistem tanam paksa yang sangat menyiksa
dan mematikan bagi rakyat. Rakyat pribumi dipaksa untuk bekerja selama 66 hari
atau bahkan seumur hidupnya untuk mengikuti sistem tanam paksa yang seluruh
hasilnya dikuasai oleh Belanda. Demikian zaman kolonial fasis Jepang yang
menerapkan Sistem Romusha. Selain
rakyat disuruh bekerja untuk menghasilkan pangan bagi Jepang, rakyat juga
dimobilisasi sebagai tentara-tentara untuk berperang menghadapi imperialisme
blok Inggris, AS dalam perang dunia ke-2. Jelas saat Indonesia di bawah
kolonial imperialis Jepang dan fasis Jepang, telah melakukan pelanggaran HAM
berat dengan merampas seluruh kekayaan alam dan menjadikan masyarakat Indonesia
sebagai tenaga kerjanya yang diikuti dengan berbagai kekerasan yang menyebabkan
rakyat miskin, kelaparan, terserang penyakit hingga kematian.
Penindasan, kemiskinan dan kebodohan yang dijalankan
penjajah sudah pasti mendapatkan tentangan dengan perlawanan sengit dan militan
dari rakyat. Tanpa mengenal ampun, seluruh rakyat Indonesia mengempur kolonial
untuk dilenyapkan di Indonesia. Akan tetapi perkembangannya, penjajah kembali
bercongkol dalam bentuk baru (Neo-kolonialisme) di Indonesia yang ditandai
dengan pengkhianatan Hatta/Sjarir dalam konferensi meja bundar 1949. Rakyat
kembali dalam cengkraman penindasan imperialisme khususnya AS dan feodalisme
yang menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal
hingga saat ini. Sesuai dengan perkembangan dunia, psca perang dunia ke-2. Di
bawah pemerintahan Soekarno, praktek feodalisme untuk menguasai hak ekonomi
rakyat khususnya atas tanah masih saja berlangsung. Penguasaan atas tanah baik
dalam bentuk perkebunan, pertambangan, ditujukan untuk melayani kepentingan
tuannya imperialis AS. Namun, karakter Soekarno yang nasionalis membuat
imperialis AS dan feodalisme terhambat untuk menguasai sepenuh-penuhnya
kekayaan alam dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Apalagi, saat itu kekuatan
unsur rakyat yang progresif terbilang besar yang konsisten melawan imperialis
AS dan feodalisme sebagai wujud menuntaskan revolusi agustus 1945.
Akan tetapi, ketika Soekarno jatuh dan pengambilan-alih
pemerintahan oleh Soeharto melalui rekayasa kekuasaan yang ditopang langsung
AS, pelanggaran HAM semakin berat dirasakan rakyat, dan nantinya selama 32 tahun Soeharto menjadi
rejim boneka setia imperialis AS. Bahkan saat pengambil-alihan pemerintahan
dari tangan Soekarno, Soeharto telah melakukan praktek pelanggaran HAM berat
yakni pembantaian kurang lebih 1,5 juta rakyat. Tujuan pembantaian massal ini
hanya ingin menghancurkan kekuatan rakyat yang konsisten menjalankan perjuangan
atas landreform sejati dan industri nasional. Akan tetapi hingga saat ini,
pembantaian massal yang merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
Negara di bawah kuasa Soeharto tidak (akan) penah diakui oleh pemerintahan di
Indonesia hingga Rejim Jokowi-JK berkuasa saat ini.
Selain pembataian massal, praktek pelanggaran HAM semakin
dimasifkan oleh Soeharto. Perampasan dan monopoli tanah petani dijalankan
secara meluas untuk diserahkan pada kepentingan feodalisme dan imperialis AS.
Seluruh potensi Pertambangan semacam minyak, gas, emas dan sebagainya, turut
diserahkan kepada borjuasi besar komprador dan khususnya kepada imperialis AS
(PT. Freeport, Chevron, dll). Sementara praktek penindasan dan penghisapan
terhadap buruh tani dan tani miskin yang membuat penderitaan akut, menjadi
pelanggaran HAM atas ekonomi oleh Soeharto. Demikian klas buruh Indonesia
dijadikan sebagai pasar tenaga kerja murah bagi imperialis AS dan feodalisme
untuk mengembangkan industri manufaktur/rakitan di Indonesia. Sedangkan HAK atas budaya baik pendidikan dan kesehatan
dirampas dan kemudian dijadikan sebagai komoditas ibarat barang yang
dikomersialisasikan untuk memberikan keuntungan yang bsar bagi kekuasaannya dan
feodalisme khususnya bagi imperialis AS. Pembangunan ekonomi nasional yang dikenal
dengan program Repelita disandarkan pada investasi asing dan utang dari
imperialis AS.
Sedangkan secara politik, Soeharto kemudian memberangus atau
merampas Hak asasi manusia untuk memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul dan
berorganisasi. Alhasil, organisasi yang berdiri di seluruh sektor rakyat hanya
serikat-serikat plat kuning. Sementara organisasi-organisasi rakyat diberangus
dengan tindasan fasisnya. Demikian
selama 32 tahun pemerintahan fasis Soeharto yang melanggengkan kekuasaan
fasisme terutama militer untuk menindas atau merampas seluruh HAM rakyat baik
secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pasca kekuatan rakyat khususnya
mahasiswa bangkit menumbangkan kekuasaan 32 Tahun Seoharto yang dikenal dengan
sebutan gerakan reformasi 1998, setidaknya memberikan angin segar bagi kebebasan
rakyat yang meliputi pula orientasi penegakkan HAM maupun demokrasi bagi rakyat
Indonesia. Berbagai kebijakan diambil yang disebut-sebut untuk menegakkan HAM
baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Reformasi pemilihan langsung,
kebijakan otonomi daerah, pembentukan lembaga independen , melawan korupsi, dan sebagainya. Tapi
nyatanya, rejim ke rejim yang lahir semasa produk reformasi tidak jauh berbeda
dengan pemerintahan Soeharto. Mulai dari pemerintahan Habibie hingga Jokowi-Jk
saat ini, masih saja melanggengkan praktek pelanggaran-pelanggaran HAM yang
terus-menerus merampas hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya.