Propaganda Hardiknas 2015
Pemuda Mahasiswa Berjuang: Lawan Segala Bentuk Komersialisasi, Liberalisasi, dan Privatisasi Pendidikan.
Pendidikan merupakan proses dialektika dalam kehidupan manusia, dimana pendidikan memiliki
peranan yang teramat penting. Pendidikan adalah alat untuk memajukan taraf
kebudayaan rakyat dan berupaya menjawab seluruh persoalannya. Oleh sebab itu, pendidikan sudah seharusnya memiliki semangat
memanusiakan manusia, yang artinya
pendidikan harus mampu membebaskan umat manusia untuk membangun peradaban yang maju dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Berangkat dari semangat inilah Indonesia pada penyusunan
landasan negara berupa UUD 1945,
menitikberatkan
salah-satunya tentang penyelenggaraan
pendidikan oleh Negara. Pendidikan
dijadikan sebagai salah-satu tujuan kelahiran negara Indonesia, yang bertujuan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Untuk mencapai cita-cita tersebut maka
pendidikan haruslah diletakan pada posisi yang tepat. Pendidikan haruslah mampu
mentransformasikan nilai-nilai dan pengetahuan yang sejelas-jelasnya dapat menjawab permasalahan yang dialami oleh
masyarakat Indonesia. Dengan demikian,
pendidikan mampu menjawab permasalahan dengan meningkatkan akal, fikiran, serta
taraf kebudayaan rakyat, sehingga dapat menuntunnya mencari jalan keluar atas segala persoalannya.
Demikian pentingnya posisi
pendidikan bagi Negara Indonesia, sehingga terukirnya
momentum Hari Pendidikan Nasional, setiap tanggal 2 Mei menjadi
bagian dari hasil perjuangan rakyat Indonesia. Pendidikan di Indonesia yang harusnya memiliki
orientasi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, hingga saat ini masih
melenceng jauh dari amanat dan semangat
konstitusi. Saat ini pendidikan masih saja menjadi alat yang semata-mata
menciptakan tenaga-tenaga terdidik yang murah. Di sisi lain, pendidikan masih
dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan rejim, tuan tanah besar dan
imperialism AS yang nyatanya terus menghisap dan menindas rakyat. Sehingga sistem
pendidikan nasional di Indonesia
tidak lagi bertujuan untuk menyelesaikan persoalan rakyat dan mengabdi kepada
rakyat, justru sebaliknya merawat keterbelakangan yang diciptakan system ekonomi dan
politik yang anti rakyat. Hal ini
tentunya terlihat jelas dari belenggu
komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi yang menjangkit sistem pendidikan di Indonesia
saat ini.
Komersialisasi, Liberalisasi, dan Privatisasi Pendidikan: adalah upaya
Negara Merampas Hak dasar rakyat
Tujuan pendidikan
telah melenceng jauh dari cita-cita mulianya untuk membebaskan manusia
Indonesia dari penjajahan Imperialisme dan Feodalisme yang terbelakang[1]. Justru kini pendidikan di Indonesia telah
menjadi sarana pengabdian bagi rezim boneka kepada imperialisme AS dan feodalisme.
dominasi dan belenggu dari imperialisme AS di Indonesia, serta skema perjanjian
dan perdagangan besar dunia menjadikan
pendidikan Indonesia sebagai
barang jasa yang semakin diperjual-belikan. Hal ini bertujuan dimana
Negara melepaskan tanggung jawabnya atas penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Demikian di masa
pemerintahan Jokowi-JK yang belum genap 1 tahun. Berbagai kebijakan
komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi di bidang pendidikan, masih saja
dipertahankan pemerintahan Jokowi-JK.
Carut marutnya sistem pendidikan nasional di Indonesia, dapat dilihat dari semakin kecilnya akses rakyat atas pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan terutama pendidikan tinggi, menjadi factor utama rakyat semakin jauh
dari bangku-bangku sekolah maupun pendidikan tinggi. UU Pendidikan tinggi yang menguatkan otonomi perguruan
tinggi dalam pengelolahan keuangan, memberikan payung hukum pada Negara untuk
melepaskan tanggung jawabnya atas penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya,
kenaikan biaya pendidikan kemudian diserahkan pada mahasiswa dan orang tua
mahasiswa yang setiap tahunnya mengalami peningkatan hamper 100%. Selain itu,
UU DIKTI yang dipertahankan semasa pemerintahan Jokowi-JK ini, membuka ruang
kepada investor dalam negeri maupun asing (imperialism) untuk menanamkan
modalnya di perguruan-perguruan tinggi. Sehingga semakin jelas, pendidikan kini
tidak ubahnya seperti perusahaan yang berorientasi profit. Berikut ini adalah gambaran dari semakin mengecilnya
partisipasi rakyat Indonesia dalam pendidikan:
Usia & Jenjang Pendidikan
|
Partisipasi
|
7-12 (SD)
|
98,36%
|
13-15
(SMP)
|
90,68%
|
16-18
(SMA)
|
63,38%
|
19-24
(Pendidikan Tinggi)
|
19,97%
|
Sumber: BPS, 2014
Sementara turunan dari UU Dikti dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT), menjadi problem yang
selalu menuai protes dari mahasiswa Indonesia. UKT yang merupakan sistem pembayaran di kampus-kampus,
malah menunjukkan trend kenaikan uang
kuliah setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan UKT yang dihitung dengan
menyesuaikan inflasi di Indonesia. sehingga terang, bahwa pendidikan pun telah
semakin jatuh pada kebijakan Neo-liberal yang diterapkan imperialism AS di
Indonesia.
Pengembangan
kurikulum yang dibutuhkan oleh dunia usaha, upaya perwujudannya juga dilakukan
dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan (Vokasi) tingkat pendidikan
menengah (SMK, SMEA, STM) baik dengan jurusan teknik, ekonomi, pariwisata, ilmu
kesehatan, ilmu pelayaran, dll. Pada tahun 2008 rasio perbandingan SMA dengan
SMK adalah 70:30, sedangkan pada tahun 2012 perbandingannya adalah 51:49, dan
pada tahun 2015 saat ini target pemerintah jumlah SMK mencapai 55% dari sekolah
menengah atas yang saat ini berjumlah 22.000 dengan menampung 9 juta siswa.
Pada tahun 2020 jumlah SMK ditargetkan mencapai 60%[2]. Adapun
daerah yang diprioritaskan untuk pembangunan SMK adalah daerah yang masuk
koridor MP3EI dan kabupaten/kota yang angka partisipasi kasarnya di bawah standar nasional. Hal ini jelas
memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa orientasi dari pendidikan di Indonesia ditujukan untk
menopang kepentingan dari imperialis AS dan tuan tanah besar, salah satunya
melalui mega proyek penggusuran dan perampasan tanah rakyat bernama MP3EI (Baca: Jokowi kini
lebih mempopulerkannya dengan istilah, “Pembangunan infrastuktur”). Pemuda Indonesia melalui pendidikan yang
demikian ditujukan untuk secara maksimal mengisi sektor-sektor pekerjaan teknis
atau dengan kata lain pemuda Indonesia didorong oleh rezim agar terus menerus
menjadi buruh murah. Hal ini berkaitan dengan keinginan seluruh investor yang
ada di Indonesia, ingin mendapatkan stok buruh yang siap dibayar murah.
Berikut
dapat disimak besaran biaya pendidikan tinggi di beberapa universitas negeri di
Indonesia :
1.
|
Provinsi DKI Jakarta
|
|||
Universitas Negeri
Jakarta
|
Rp. 500.000 - Rp. 10.700.000
|
|||
Politeknik Negeri Jakarta
|
Rp 500.000 -
Rp. 6.050.000
|
|||
Politeknik Negeri Media Kreatif
|
Rp. 500.000 - Rp. 5.000.000
|
|||
Universitas Indonesia
|
Rp. 5.000.000- Rp. 7.500.000
|
|||
2
|
Provinsi Jawa Barat
|
|||
Universitas Padjajaran
|
Rp. 500.000 - Rp 13.000.000
|
|||
Politeknik Negeri Bandung
|
Rp. 500.000 - Rp. 10.000.000
|
|||
3
|
Provinsi Jawa Tengah
|
|||
Universitas Jenderal Sudirman
|
Rp. 500.000 - Rp. 17.500.000
|
|||
Universitas Diponegoro
|
Rp. 500.000 - Rp. 19.500.000
|
|||
Universitas Negeri Semarang
|
Rp. 500.000 - Rp. 7.500.000
|
|||
Institut Seni Indonesia Surakarta
|
Rp. 500.000 - Rp. 2.200.000
|
|||
4
|
Provinsi D.I Yogyakarta
|
|||
Universitas Negeri Yogyakarta
|
Rp. 500.000 - Rp. 4.950.000
|
|||
Institut Seni indonesia Yogyakarta
|
Rp. 500.000 - Rp. 2.200.000
|
|||
5
|
Provinsi Jawa Timur
|
|||
Institut Teknologi Sepuluh
November
|
Rp. 500.000 - Rp. 7.500.000
|
|||
Universitas Negeri Surabaya
|
Rp. 500.000 - Rp. 6.000.000
|
|||
Universitas Brawijaya
|
Rp. 500.000 - Rp. 23.450.000
|
|||
Universitas Negeri Malang
|
Rp. 500.000 - Rp. 6.500.000
|
|||
Universitas Jember
|
Rp. 500.000 - Rp. 22.500.000
|
|||
6
|
Provinsi NAD. Banda Aceh
|
|||
Universitas Syiah Kuala
|
Rp. 500.000 - Rp. 22.000.000
|
|||
Politeknik Negeri Lhokseumawe
|
Rp. 500.000 - Rp. 3.000.000
|
|||
Universitas Malikussaleh
|
Rp. 500.000 - Rp. 12.500.000
|
|||
7
|
Provinsi Sumatera Utara
|
|||
Universitas Negeri Medan
|
Rp. 500.000 - Rp. 2.600.000
|
|||
8
|
Provinsi Sumatera Barat
|
|||
Universitas Andalas
|
Rp. 500.000 - Rp. 11.000.000
|
|||
9
|
Provinsi Riau
|
|||
Universitas Riau
|
Rp. 500.000 - Rp. 13.425.000
|
|||
10
|
Provinsi Jambi
|
|||
Universitas Jambi
|
Rp.500.000 - Rp. 12.000.000
|
|||
11
|
Provinsi Sumatera Selatan
|
|||
Universitas Sriwijaya
|
Rp.500.000 - Rp. 20.000.000
|
Sumber: Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, Nomor 73 Tahun2014 & Statuta
Universitas Indonesia
Sekilas
tabel ini menunjukan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses biaya yang “dibuka” mulai harga Rp 500.000-Rp.23.450.000.
Sementara Rp 500.000 itu juga adalah level/golongan/kelompok satu, dan hanya
diwajibkan menampung sebanyak 5% dari total mahasiswa baru yang diterima dalam
setiap universitas. Jadi, mayoritas
95% mahasiswa akan membayar uang kuliah tunggal yang mencapai puluhan juta tersebut.
Tingginya
biaya pendidikan akibat komersialisasi justru berbanding terbalik dengan
kondisi rakyat yang terus hidup miskin karena skema busuk rezim. Menurut data
BPS, tahun 2014 ini dari total penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk 2010
sebesar 237.641.326 jiwa, dari semua itu rakyat miskin di Indonesia mencapai
28,07 juta jiwa. Terdiri dari 17,74 juta jiwa adalah rakyat di pedesaan,
sementara 10,33 juta jiwa berada di perkotaan.
Parameter miskin ini diukur dengan penghasilan-per-kapita-per-bulan
sebesar Rp 289.041 untuk perkotaan dan Rp 253.273 di desa. Tentunya masih
banyak lagi rakyat Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan tetap, yang
penghasilanya dibawah angka batas minimum kemiskinan.
Pendidikan Indonesia di Bawah Rezim Jokowi-JK
Pemerintahan
Jokowi-JK yang hampir 1 tahun, tidak juga menunjukkan tanda-tanda adanya
perubahan yang berarti bagi kemajuan pendidikan di pIndonesia. Malah Visi misi seperti
Program wajib belajar 12 tahun Jokowi-JK, masih menjadi mitos yang tak terbukti terealisasikan. Belum lagi sistem UN yang disebut akan
dicabut atau dikaji, masih juga tetap berlangsung hinggsa
saat ini. Padahal system UN ini telah terbukti gagal meningkatkan kualitas dan
prinsip keadilan bagi pendidikan dasar hingga menengah. Malah UN yang telah
berlangsung di tingkat SMA/SMK/Sederajat, menunjukkan kecurangan dalam bentuk
kebocoran soal dan kunci jawaban di internet, yang dibeli pelajar hingga 20 an
juta. Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa UN membentuk watak tidak jujur pelajar dan guru. Maka kita menganggap bahwa
system UN ini tidak lebih hanya menjadi proyek anggaran triliunan yang
menggiurkan setiap tahunnya.
Sementara diberhentikannya sistem kurikulum 2013 tidak mempunyai
solusi yang bermutu. Namun hanya wacana
menyusun kurilukum nasional yang diterapkan 2018. Sehingga sistem kurikulum nasional di Indonesia saat ini tidak jelas, dimana menganut dua sistem kurikulum secara
bersamaan, yakni Kurikulum 2013 dan KTSP 2006.
Sementara biaya yang mahal masih menjadi persoalan utama dalam dunia
pendidikan di masa Jokowi-JK. Sekolah gratis dan kuliah murah menjadi jargon
semata Jokowi-JK, yang nyatanya hanya ilusi di tengah gempuran komersialisasi
pendidikan saat ini. Bahkan penghilangan hak atas pendidikan dirasakan langsung
oleh anak-anak SD Moro-moro, Mesuji di Lampung. Bupati melakukan penutupan
sekolah dengan alasan tidak mempunyai ijin resmi. Padahal sekolah moro-moro
yang beroperasi hampir 8 tahun yang
didirikan secara swadaya masyarakat akibat tidak adanya sekolah didirikan
pemerintah, malah ditutup. Seharusnya perjuangan masyarakat Moro-moro yang
bersusah payah mendirikan sekolah secara swadaya, selayaknya mendapatkan
dukungan dari pemerintahan setempat. Tapi, kejadian ini hingga saat ini tidak
mempunyai tanggapan apa-apa dari jokowi-JK, padahal anak-anak SD moro-moro
tinggal menghitung minggu untuk melaksanakan ujian.
Sementara
lapangan kerja masih saja sulit didapatkan oleh pemuda mahasiswa di Indonesia.
Tahun 2015, total pengangguran terdidik di Indonesia mencapai 47,81 % dari
total pengangguran di Indonesia sebesar 7,24 juta. Artinya tidak ada perubahan
yang siknifikan dari masa SBY ke Jokowi, bahkan dapat dipastikan semakin
meningkat di tengah kondisi politik dan ekonomi yang semakin carut marut ini
Belum lagi skema perluasan
pembangunan politeknik dan SMK-SMK di Indonesia, hal ini tidak ada ubahnya
dengan pemerintahan SBY yang lalu, yang memprioritaskan pembangunan sekolah
berjenis vokasi dengan maksud memperbanyak mencetak buruh-buruh murah dan
mendukung mega proyek pembangunan infrastruktur dan MP3EI. Bahkan Jokowi-JK
mencanagkan akan membuat proporsi 60% untuk politeknik dan 40% sains pada
pendidikan tinggi. Ini jelas membuktikan bahwa rezim Jokowi-JK penuh dengan
maksud busuknya untuk menjual tenaga produktif Indonesia pada
perusahaan-perusahaan komprador serta
milik imperialisme, khususnya AS.
Belum lagi, dengan begitu bangga
Jokowi membuka forum ekonomi asia afrika dalam agenda KAA 2015 lalu. Jokowi malah bersemangat
menjadikan Pendidikan di Asia Afrika khususnya Indonesia sebagai objek bisnis
yang mengiurkan para tuannya imperialism. Sedangkan kebebasan berdemokrasi di
dalam kampus, semakin mengalami pembungkaman. Pelarangan menyampaikan pendapat
di depan umum termasuk di kampus, semakin nyata dirasakan pemuda mahasiswa.
Aksi penolakan-penolakan kenaikan BBM dari mahasiswa yang direspond dengan
tindakan represif hingga penangkapan menjadi rapor merah bagi kebebasan
demokrasi di Indonesia. Demikian pula pelarangan aksi-aksi rakyat dalam
menyampaikan aspirasi dan tuntutannya di momentum KAA 19-24 April, Jokowi-JK
tanpa “kompromi” menggunakan seluruh kekuatan TNI dan POLRI untuk menindaktegas
rakyat apabila masih ada yang melakukan aksi selama KAA. Dan yang menjadi
ancaman lain dalam kebebasan berdemokrasi di kampus, adalah “penyengaran” Menwa
yang langsung dididik oleh TNI.
Sehingga Jelas
bahwa pendidikan diolah sedemikian rupa oleh rezim untuk menindas rakyat, baik
dalam segi, Ekonomi: institusi yang berorientasi meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya. Menjadikan institusi pendidikan menjadi
lembaga bak perusahan yang menerapkan liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi.
Dengan demikian berdampak pada pendidikan yang mahal dan menciptakan tenaga
kerja yang murah., Secara Politik: Sebagai mesin yang melahirkan
analisis-analisis yang menguatkan, melegitimasi atau bahkan melahirkan suatu
kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah yang mengabdi
kepada kepentingan
Imperialisme dan
feodalisme, dan secara Kebudayaan: Sebagai corong propaganda, sebagai salah
satu sandaran bagi Imperialisme dalam mentransformasikan ide dan
kepentingannya, yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Bersatulah Pemuda-Mahasiswa: Gelorakan Kampus
dengan Peruangan Massa
Berbagai kebijakan anti rakyat di bidang
pendidikan harus mampu dilawan dengan gelombang
gerakan massa yang besar.
Karena hanya dengan perjuangan massa mahasiswa yang terorganisir dan
masif di kampus, akan dapat menuai kemenangannya-kemenangan untuk
mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.
Perjuangan melawan komersialisasi,
liberalisasi dan privatisasi pendidikan
adalah perjuangan yang harus mengakar di tengah-tengah mahasiswa. Oleh karena itu, mengkampanyekan pendidikan sebagai
hak rakyat yang telah diatur UUD 1945, harus senantiasa menggema di
kampus-kampus. Selain itu, perjuangan atas pendidikan ini juga harus mampu
menyatu dengan perjuangan klas buruh dan rakyat yang mempunyai kepentingan yang
sama untuk mendapatkan akses atas pendidikan di Indonesia.
Hormat kami,
PIMPINAN PUSAT
FRONT MAHASISWA NASIONAL
Mengetahui,
Ka. Dept Pendidikan
& Propaganda Ketua
Sympati Dimas Rachmad
P Panjaitan