“Tidak Berlakunya Demokrasi di Dalam Kampus”
Demokrasi adalah bentuk dimana semua warga negara memiliki hak setara dalam mengambil keputusan dan juga pemilihan suatu keputusan yang nantinya akan muncul dampak di dalam kehidupan rakyat atau warga negara. Salah satu bentuk pengimplementasiannya adalah berpendapat dimuka umum. Berpendapat dimuka umum adalah Hak kita bersama yang dijamin pada pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Bukan hanya itu, pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pun berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Masih ada lagi Pasal 5 UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, memberikan hak yang sama kepada warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara bebas sekaligus memperoleh perlindunganb hukum. Tak lama berselang lahir UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan media apapun.
Apa semua itu belum cukup menjelaskan bahwa berdemokrasi dan mengeluarkan pendapat dimuka umum adalah hak prinsipil masyarakat yang dijamin bahkan dilindungi ???
Berdemokrasi dan berpendapat dimuka umum dijamin dimana saja termasuk di dalam kampus. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia sebagai corong mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi nyatanya malah melakukan hal yang bertentangan.
Namun nyatanya, pembungkaman demokrasi sampai saat ini masih kerap terjadi didalam kampus. Tindak mengkritiki kebijakan yang kerap dilakukan oleh mahasiswa jarang sekali yang tidak dibarengi tindak represif dan intimidasi dari pihak kampus. FMN Makassar mencatat, dari tahun 2015 sampai 2019 ada 34 kasus tindakan anti demokrasi didalam kampus kusus di Sulsel. 11 kasus di antaranya terjadi di kampus Orange UNM, 5 kasus terjadi di Unhas, 5 kasus juga terjadi di UINAM, 3 kasus di UMI, 2 kasus pula terjadi di UIM, 1 kasus masing-masing terjadi di Uki Paulus, UPRI dan UMPAR. Selain kasus di Makassar, ada pula beberapa kasus tindakan anti demokrasi yang terjadi di Kota atau Kabupaten lain. Universitas Andi Djemma atau Undana tercatat ada 2 kasus, dan 1 kasus di masing-masing kampus yaitu Uki Toraja, IAIM Sinjai dan baru-baru ini terjadi di Poltani Pangkep.
Bentuk pembungkaman demokrasi yang terjadi ditiap kampus itu beragam. Ada yang mendapatlkan sanksi skorsing bahkan DO karena menuntut perbaikan fasilitas dan menanyakan transparansi anggaran seperti yang menimpa 2 Mahasiswa FH UMI, 4 Mahasiswa IAIM Sinjai, 3 Mahasiswa Universitas Andi Djemma atau UNANDA Palopo.
Selian karena menuntut perbaikan fasilitas dan transparansi anggaran, sanksi yang merupakan tindakan nyata dari tindakan anti demokrasi kampus juga sering menyasar Organisasi dan mahasiswa yang membuat dan terlibat dalam kegiatan Bina Akrab yang kerap disebut Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK). Simple saja, kenapa kegiatan Bina Akrab atau LDK selalu ditentang oleh kampus ? Karena kampus meyakini bahwa dari kegiatan ini lahir orang-orang yang kritis atau yang kerap disebut pembangkang oleh kampus. Namun, kekerasan dan tindak pempeloncohan yang kerap ditemukan menjadi alasan kampus untuk mengeluarkan kebijakan pelarangan kegiatan Bina Akrab atau LDK.
Korban dari Aktivitas LDK ini tidak sedikit, di FT Unhas tercatat ada 88 Mahasiswa yang di Skorsing, di FPIK UMI ada Skorsing 4 pengurus Lembaga Kemahasiswaan yang merupakan penyelenggara, di UINAM ada 1 mahasiswa yang di Skors karena mengadakan Baksos yang dirangkaikan dengan LDK, DO 23 Mahasiswa UKI Toraja, 4 mahasiswa UNHAS di Skorsing, dan baru-baru ini 3 Mahasiswa UMPAR yang mendapatkan sanksi DO.
Dari serentetan kasus di atas, keluarnya sanksi yang ditetapkan melaui SK yang diterbitkan oleh kampus selalui tidak sesuai dengan prosedural. Hal tersebut semakin memposisikan birokrasi kampus seolah menjadi penguasa tunggal didalam kampus dan memiliki otoritas tertinggi sehingga dapat seenaknya mengeluarkan sanksi. Kasus Skrsing 4 hingga 6 smester 19 Mahasiswa UINAM adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya sanksi skorsing didalam kampus. Setelah sekitar 4 Bulan tragedi bentrokan antar mahasiswa, SK Skorsing kepada 19 mahasiswa baru terbit. Selain Tanpa menjalani prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan aturan kampus, alasan menetap 19 mahasiswa menjadi sasaran skorsing juga tidak jelas dan tidak berlandaskan.
Bukan hanya Organisasi Mahasiswa seperti Bem dan Himpunan yang menjadi sasaran kampus, Organisasi Pers mahasiswa atau mahasiswa yang terlibat langsung sebagai reporter juga menjadi sasaran tindakan anti demokrasi dari kampus. pers yang umumnya bekerja meyajikan tulisan dalam bentuk berita dan disebar baik melalui media cetak maupun media social atau online dinilai berbahaya oleh kampus. karena semakin aktifnya pers mahasiswa maka semakin cepat pula perebaran berita kepada mahasiswa. Berita yang disajikan pun beragam, baik dari prestasi mahasiswa, tenaga pengajar, kampus, namun bisa juga memberitakan terkait masalah-masalah atau kejanggalan yang didapatkan di dalam kampus. Dan point terakhir itu yang dianggap berbahaya oleh kampus, sehingga ruang gerak dan pemberitaan mereka dinilai perlu untuk dibatasi.
Di kampus UINAM, 1 Mahasiswa disalah satu fakultas mendapatkan ancaman skorsing dari kampus akibat menerbitkan tulisan yang mengangkat isu akreditasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Baru-baru ini, Universitas Hasanuddin melakukan penahanan SK Pelantikan UKM Pers Mahasiswa (UKPM Catatan Kaki), dalam artilain tidak dilantik, hanya karena pengurus UKPM Catatan Kaki tidak bersepakat atau tidak mau menandatangani surat pernyataan dari rektorat untuk tidak memberitakan terkait peraturan rector tentang organisasi mahasiswa. Tidak jauh beda dengan UKM Pers Politani Pangkep, karena mereka tidak bersepakap dengan PR Ormawa sehingga Lembaga mereka beserta 2 Himpunan lain terancam di bekukan. Tidak hanya berakhir disitu, Sekretariat mereka juga dianca di bongkar.
Tidak hanya sanksi DO, Skorsing dan intimidasi, pembubaran aksi pada suatu moment juga kerap didapat. Pada moment Forum Rektor Indonesia di UNHAS yang di Buka langsung oleh Jokowi, massa Aksi Aliansi UNHAS Besatu dan FMN Makassar yang menggelar aksi di dalam kampus UNHAS dengan Grand Isu “Lawan Komersialisasi Pendidikan”. Selain UNHAS, di UIM pun tyerjadi hal yang sama. FMN UIM yang melakukan aksi pembentangan spanduk menolak pembangunan Gedung 19 lantai dan menuntut agar dipenuhinya terlebih dahulu sarana dan prasarana kampus yang memadahi sjuga dibubarkan oleh apparat kepolisisan. Aksi yang dilakukan FMN UIM merespon kedatangan Jusuf Kalla untuk meresmikan pembangunan Gedung tersebut dengan memasang tiang pancung.
Dikampus UMI, bahkan kampus membuat aturan yang melarang mahasiswanya untuk aksi didepan kampus. Selain itu, kampus juga melarang mahasiswanya untuk melakukan aksi atau memperingati tragedi AMARAH. Aturan tersebut tertuang dalam buku saku yang dibagikan pada mahasiswa baru pada saat PMB Universitas. Tidak main-main, ancaman bagi mereka yang melanggar adalah sanksi Skorsing.
Bagaimana dengan Kondisi Kampus UNM ?
UNM adalah perguruan tinggi negeri yang berdiri pada 1 Agustus 1961. Universitas yang awalnya bermula dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Hasanuddin ini telah melalui beberapa fase bersejarah yaitu dari sebuah fakultas hingga menjadi institute keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) dan kini telah berstatus mandiri dengan nama besar Universitas Negeri Makassar.
Nama besar yang dimiliki UNM membuatnya memiliki banyak peminat dari para lulusan SMA(sederajat). Selain nama besar, UNM juga memiliki bangunan yang sangat unik yang dikenal sebagai Gedung Phinisi UNM. Bangunan ini selesai pada tahun 2013 dan langsung mendapatkan banyak perhatian dari semua kalangan. Dengan adanya bangunan tersebut membuat nama UNM semakin sering diperbincangkan dan membuat pendaftarnya semakin bertambah pesat.
Namun, nama besar dan bangunan yang unik ternyata tidak menjamin. Mengapa demikian ? Karena terlalu banyaknya permasalahan yang dirasakan oleh mahasiswa yang sudah terlanjur melanjutkan studynya di universitas tersebut. Mulai dari biaya kuliah yang mahal, pelayanan, alokasi anggaran yang tidak jelas, hingga fasilitas yang dinilai tidak memadai. Apakah ruang demokrasi untuk melakukan protes dan menyampaikan pendapat terbuka di UNM ? Kampus yang baru-baru ini menyandang status BLU ternyata sama saja dengan kampus yang lain.
Aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa UNM kerap mendapat intimidasi bahkan tindakan represif dari kampus. Di FBS, massa aksi diminta untuk berhenti bahkan Presiden BEM FBS kala itu didorong oleh birokrasi supaya membubarkan massa aksinya saat aksi meminta transparansi anggaran dan menuntut perbaikan fasilitas. Selain massa aksi BEM FBS yang mengalami represifitas, massa aksi BEM FIK pun demikian. Bahkan massa aksi BEM FIK dipukul agar mereka membubarkan aksi. Dengan tuntutan yang sama, 6 Mahasiswa FE UNM bahkan mendapatkan Sanksi Skorsing setelah melakukan aksi. Mas Arif, mahasiswa berprestasi jurusa Psykologi UNNES yang mengikuti program pertukaran mahasiswa selama satu semester di UNM harus dipulang kan lebih awal. Mas Arif dipulangkan ke UNNES karena dinilai kurang ajar oleh kampus ketika berorasi dalam aksi Demonstasi mahasiswa UNM dalam menuntut pencabutan SK Rektor tentang pelarangan mahasiswa baru mengikuti kegiatan Lembaga Kemahasiswaan.
Baru-baru ini pula, pembungkangan demokrasi menyasar 2 mahasiswa penerima Bidikmisi di FIS. Alasan pencabutan bidik misi 2 mahasiswa tersebut karena dinilai melanggar kesepakatan awal mereka saat masuk kuliah yaitu terlibat dalam aksi demonstrasi. Surat pernyataan penerima bidik misi menjadi senjata ampuh UNM untuk mengekang mahasiswa penerima bidik misi. Padahal dalam aturan umum, sama sekali tidak ada point yang melarang mahasiswa penerima bidik misi untuk melakukan dan terlibat dalam aksi.
Untuk kegiatan LDK, UNM juga menerapkan hal yang sama kepada mahasiswanya. Tercatat banyak kasus yang terjadi akibat LDK ini. Mulai dari penahanan nilai, pembekuan Lembaga hingga sentiment oleh kaprodi yang berujung SK pindah kuliah. Kasus pertama pada tahun 2016 di prodi Pendidikan Akuntansi melarang mahasiswa yang ikut LDK untuk masuk kedalam kelasnya. Sehingga terjadi aksi merespon hak tersebut. Salah satu mahasiswa yang diduga menjadi dalang aksi tgersebut juga mendapat sentimental dari prodinya. Penghambatan penyelesaian hingga akhir masa study hingga terbitnya SK Pindah kampus untuk mahasiswa tersebut. Itu menjadi sentiment nyata pihak kampus meskipun IPK dari mahasiswa tersebut terbilang tinggi yaitu 3,5.
Masih karena kegiatan LDK, akhir tahun 2018 dan awal tahun 2019 di FIS tercatat ada 90 mahasiswa Pendidikan Sejrah yang mendapat sanksi penahanan nilai karena mengikuti LDK. Selian itu, Himpunan Mahasiswa Administrasi Bisnis (HIMANIS) juga mendapatkan sanksi berupa pembekuan organisasi lantaran mengadakan kegiatan Bina Akrab yang dipadukan dengan LDK. Bukan hanya Bina Akrab yang jurusan permasalahkan, dalam SK pembekuan tercatat kampus juga mempermasalahkan terkait kegiatan Bedah Film The Bettle Of Sittle dan Kegiatan Bantuan Hukum yang semuanya melibatkan mahasiswa baru.
Untuk Pers Mahasiswa pun kerap mendapat tendensi. LPM Profesi UNM pada tahun 2016 pernah mendapat sanksi pelarangan penerbitan tabloid karena sering terbitnya berita-berita yang dinilai merusak citra kampus. selain profesi, awal tahun 2018 BKMF Psykogenesis juga mendapat teguran karna terlibat aktifnya dalam memberitakan terkait Penolakan SK KKN berbayar yang dilakukan oleh mahasiswa UNM.
Apakah serentetan kejadian diatas belum cukup menunjukkan watak kampus yang anti Demokrasi ??
Kejadian diatas menunjukkan bahwa Kampus merupakan lembaga pendidikan tinggi yang tidak menjunjung tinggi kebebasan berpikir, berekspresi, berpendapat dan berorganisasi. Sikap birokrasi baik yang terang-terangan diperlihatkan bahkan yang dikeluarkan melalui peraturan-peraturan kampus yang melegitimasi pengekangan kepada mahasiswa. Tentunya pengekangan dalam pendidikan hanya akan memperlambat kemajuan pendidikan di Indonesia yang berakibat rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM).
Bukan tanpa sebab, pukulan bagi gerakan mahasiwa didalam kampus adalah bukti bahwa gerakan mahasiswa saat ini adalah ancaman tersendiri bagi kampus yang saat ini terus-terusan menancapkan dan melindungi kebijakan Neoliberal untuk tetap eksis didalam kampus.
Dampak dari kebijakan neolib adalah bagaimana kampus bisa semakin otonom dan tidak bergantung lagi kepada negara.Dengan kata lain, negara mencoba untuk melepaskan tanggung jawabnya untuk mengadakan pendidikan. Biaya kuliah akan semakin mudah dinaikkan oleh kampus. Kampus juga akan mendapatkan intervensi oleh koorporasi atau dunia industri melalui skema kerja sama. Sehingga kampus kedepannya akan diorientasikan sesuai kebutuhan industri dan tidak lagi diabdikan untuk kepentingan rakyat. Mahasiswa yang memulai membangun kesadaran politik dengan kondisi saat ini menyadari bahwa ternyata institusi pendidikan hanya akan dijadikan alat pencipta tenaga kerja yang siap pakai untuk industri serta menjadi alat legitimasi bagi industri yang akan menindas rakyat. Selain itu kampus juga tidak bisa diakses oleh semua, karena kampus juga menjadi ladang mengambil keuntungan darii rakyat. Sehingga hal tersebut menjadi alasan kenapa gerakan mahasiswa saat ini terus membesar, dan untuk meredam itu tindakan fasis kampus harus dimassifkan.
Dampak dari kebijakan neolib adalah bagaimana kampus bisa semakin otonom dan tidak bergantung lagi kepada negara.Dengan kata lain, negara mencoba untuk melepaskan tanggung jawabnya untuk mengadakan pendidikan. Biaya kuliah akan semakin mudah dinaikkan oleh kampus. Kampus juga akan mendapatkan intervensi oleh koorporasi atau dunia industri melalui skema kerja sama. Sehingga kampus kedepannya akan diorientasikan sesuai kebutuhan industri dan tidak lagi diabdikan untuk kepentingan rakyat. Mahasiswa yang memulai membangun kesadaran politik dengan kondisi saat ini menyadari bahwa ternyata institusi pendidikan hanya akan dijadikan alat pencipta tenaga kerja yang siap pakai untuk industri serta menjadi alat legitimasi bagi industri yang akan menindas rakyat. Selain itu kampus juga tidak bisa diakses oleh semua, karena kampus juga menjadi ladang mengambil keuntungan darii rakyat. Sehingga hal tersebut menjadi alasan kenapa gerakan mahasiswa saat ini terus membesar, dan untuk meredam itu tindakan fasis kampus harus dimassifkan.
Tapi apakah tindakan anti demokrasi kampus itu tidak bisa lawan ? Sejarah membuktikan bahwa demokrasi dalam kampus itu bukan bayangan semu. Manifesto Cordoba adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya perjuangan yang menuntut demokratisasi dalam kampus. Di Makassar, kita juga mencatat sejarah. Dicabutnya SK Skorsing 2 Mahasiswa HI UNHAS, SK Skorsing 6 Mahasiswa FE UNM dan dicabutnya SK DO 3 Mahasiswa UIM mengajarkan kita bahwa otoritas kampus masih bisa dilawan. Dan jawabannya, teguh dan konsisten dalam berjuang. Terus memperbesar barisan perlawanan karena kemenangan sejati hanya bisa diraih dari karya berjuta-juta massa
Penilis : Ferian Erlangga (FMN Ranting UNM / Mahasiswa PLB 2016)