HANYA KEDATANGAN TIM KECIL YANG BISA MENGAKHIRI PENDUDUKAN
Kamis 28 Februari 2019, terhitung sudah 5 Bulan 4 Hari Masyarakat Adat Kajang Bersama AGRA Bulukumba menduduki ratusan Hektar Kawasan HGU PT. Lonsum yang berada dibawah bendera Indofood. Hal ini menunjukkan keseriusan dan konsitensi Masyarakat adat Bersama AGRA Bulukumba memperjuangkan tanah yang diyakini sebagai tanah Ulayat Masyarakat adat Kajang.
24 September 2018 yang merupakan Hari Tani Nasional, menjadi awal pendudukan yang dilakukan oleh masyarakat yang didasari dengan tindakan Lonsum yang diniliai sudah melanggar perintah dari Pemkab. Dimana, tidak dibenarkan Lonsum melakukan aktivitas peremajaan apa lagi penanaman di lahan yang menjadi sumber resapan Air serta perkuburan tua. Selain itu, Lonsum tidak memperlihatkan itikad baiknya untuk menyelesaikan Konflik dengan masyarakat adat sesuai dengan apa yang menjadi keputusan dari Kemendagri. Ada 3 lokasi yang menjadi tempat pendudukan. Tamato dengan luasan 32 Ha, Bontomangiring 27 Ha dan Bontoa 70 Ha. Areal yang menjadi sasaran pendudukan merupakan lahan-lahan kosong yang belum digarap oleh PT. Lonsum. Bentuk pendudukan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat ialah Penanaman lahan Kosong dan Pembangunan Rumah-rumah.
Selama 5 Bulan masa pendudukan tidak sedikit gesekan-gesekan yang terjadi dilapangan. Dari 3 lokasi pendudukan, 2 di antaranya sudah diambil alih kembali oleh PT. Lonsum. Jumat, 11 Januari 2019 atau sehari pasca rapat koordinasi yang diinisiasi oleh Polres Bulukumba dan melahirkan keputusan bahwa Lonsum tidak diperbolehkan melakukan penanaman di areal pendudukan, namum PT. Lonsum tetap melakukan aktivitas penanaman di area Bontomangiring. Kamis, 17 Januari 2019. Lonsum melakukan penanaman 464 pohon karet sehingga merusak 12 rumah-rumah kebun milik warga di Bontoa. Artinya, tersisa area Tamato yang menjadi satu-satunya lahan pendudukan yang bertahan.
Namun pada Senin, 11 Februari 2019. PT. Lonsum Kembali memaksakan pekerjanya untuk melakukan penanaman karet memasuki areal pendudukan di desa Tammatto Kec. Ujung Loe Kab. Bulukumba. Tercatat ada sekitar ribuan pekerja yang diarahkan oleh Lonsum untuk melakukan penanaman. Pekerja yang mayoritas merupakan warga Tamatto dipaksa untuk melakukan penanaman karet di areal pendudukan masyarakat dengan dikeluarkannya surat perintah kepada seluruh pekerja. Surat perintah tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk paksaan kepada para pekerja. Karena jika para pekerja tidak melakukan penanaman dilokasi pendudukan hasil Land Clearing maka mereka tidak bisa melakukan absensi melalui finger print yang tersiystem, sehingga mereka tidak bisa bekerja lagi atau kehilangan pekerjaan. Padahal, kita ketahui Bersama bahwa masyarakat adat pun tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Akibatnya, jika PT. Lonsum terus memaksakan kehendaknya untuk melakukan penanaman diareal Pendudukan, maka kemungkinan besar gesekan akan terjadi antara Masyarakat Adat yang mempertahankan tanahnya dan pekerja yang dipaksa untuk menanam oleh PT. Lonsum. Namun, gesekanpun mampu dihindari karena masyarakat Adat Kajang masih bisa terpimpin dengan arahan pimpinan organisasi, meskipun upaya provokasi terus dilakukan oleh pekerja.
Berkat keterpimpinan dalam berjuang, masyarakat adat Kajang mampu menahan upaya Lonsum untuk melakukan penanaman di area pendudukan. Dari 32 Ha yang rencana akan ditanami, Lonsum hanya mampu menanami sebanyak 1 Ha dimana didalam lahan tersebut terdapat tanaman Padi, Jagung dan Kacang-kacangan. Selain itu, Pihak Lonsum juga dipanggil oleh Forkopinda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) di Kantor Bupati untuk melakukan pertemuan Khusus pada hari itu juga. Dan adapun hasil pertemuannya ialah Lonsum diminta untuk segera bersurat ke ATR/BPN untuk bermohon melakukan rekonstruksi lahan HGU untuk memisahkan antara Tanah Ulayat, Tanah bersertifikat dari HGU PT. Lonsum sesuai Keputusan dari Kemendagri. Pemkab juga memerintahkan ke Lonsum untuk tidak melakukan aktivitas penanaman hingga tanggal 18 Februari 2019 dimana disepakati akan diadakan pertemuan di kantor Bupati yang akan dihadiri oleh Pemkab, DPRD, Polres, Dandim, Kejati, Lonsum dan Masyarakat Adat Kajang Bersama AGRA Bulukumba. Jadi, selama 1 Minggu pasca kejadian tersebut hingga pertemuan yang disepakati, keadaan di Lokasi pendudukan bisa dikatakan aman.
Senin 18 Februari 2019, dilakukan pertemuan di kantor Bupati. Pertemuan yang awalnya direncanakan akan dimulai pukul 10.00 wita, tertunda hingga pukul 13.00 wita dikarenakan beberapa perwakilan Forkopinda memiliki kendala untuk datang. Pertemuan tersebut berjalan kurang lebih selama 3 jam. Dalam pertemuan tersebut PT. Lonsum menyampaikan terkait permintaan Pemkab agar Lonsum mengirim surat ke ATR/BPN telah dilakukan. Dan Lonsum meminta masyarakat yang melakukan pendudukan agar kiranya bisa keluar dari lokasi pendudukan karena syarat untuk menurunkan tim kecil agar melakukan pengukuran ulang telah mereka penuhi. Hal tersebut disambut baik oleh Wakil Bupati yang mewakili pemkab, DPRD, Kapolres, Dandim dan Kejati. Mereka menyepakati apa yang menjadi permintaan Lonsum, dengan dalih secara Konstitusional yang berlaku, bahwa PT. Lonsum memang memiliki hak untuk mengolah lahan tersebut sampai 2023 dengan catatan Lonsum harus menyelesaikan Konflik mereka dengan Masyarakat Adat Kajang. Dan kewajiban untuk penyelesaian Konflik itu sudah mereka lakukan dengan mengirim surat ke ATR/BPN, sehingga mereka meminta Hak untuk dapat mengolah tanah yang selama beberapa bulan ini diduduki oleh Masyarakat Adat.
Berbeda dengan anggapan Forkopinda, Masyarakat Adat Kajang Bersama AGRA Bulukumba menilai bahwa surat yang keluar itu harus dikawal baik-baik. Karena mereka sudah menyaksikan secara langsung betapa Bebalnya Lonsum. Beberapa kesepakatan telah Lonsum labrak sehingga Masyarakat Adat tetap berhati-hati dengan surat tersebut. Masyarakat adat juga menilai bahwa surat tersebut merupakan alat untuk mengelabuhi mereka supaya mereka keluar dan Lonsum bisa masuk melakukan penanaman karet. Sedangkan, dilainsisi tidak ada waktu pasti kapan tim kecil ini akan turun setelah surat tersebut masuk. Ini sudah sangat jelas akan merugikan Masyarakat Adat serta keputusab tersebut dinilai berat sebelah. Padahal sebelumnya ada kesepakatan yang dibangun pada tanggal 8 Februari 2019 di Rumah Tamu Adat Ammatoa Kajang yang dihadiri langsung oleh Forkopinda dimana diputuskan bahwa untuk menyelesaikan konflik, Masyarakat Adat bersedia keluar dari lokasi pendudukan dan Pihak Lonsum tidak melakukan aktivitas dilahan yang sementara sedang diduduki. Pemda juga akan mengupayakan Tim kecil untuk segera turun.
Mediasi berjalan cukup alot karena perbedaan pandangan Lonsum yang dikuatkan oleh jajaran Forkopinda dengan Masyarakat Adat Kajanng Bersama AGRA Bulukumba. Akhirnya, keputusan akhir dari rapat tersebut adalah Masyarakat Adat diminta untuk mengosongkan lahan pendudukan paling lambat sampai 1 Maret 2019. Dan ketika Masyarakat yang melakukan pendudukan tidak sepakat, maka jalur mediasi yang ditempuh selama ini diangap gagal. Merespon keputusan itu, Masyarakat Adat Kajang Bersama AGRA Bulukumba meminta waktu satu minggu untuk menyampaikan kepada Ammatoa terkait hal tersebut. Serta membahas sikap yang akan diambil kedepannya. Adapun hasil kunjungan ke Ammatoa akan disampaikan waktu ke Pemkab, apakah mereka menerima atau tidak.
Rabu 20 Februari 2019, Rombongan Masyarakat Adat yang melakukan pendudukan serta AGRA Bulukumba melakukan kunjungan ke Ammatoa. Meskipun terhalang hujan yang amat deras, para Rombongan masih bisa masuk ke rumah Ammatoa. Pertemuan yang memang sudah direncanakan itu membahas terkati hasil keputusan di Kantor Bupati. Bohe Amma selaku ketua Adat menyampaikan pendapatnya pada pertemuan tersebut bahwa sebaiknya kita tidak keluar. Karena kemarin pada tanggal 8 Februari 2019 sudah kita sepakati bahwa ketika kita keluar, Lonsum juga tidak boleh beraktivitas. Keputusan pada tanggal 18 sudah jelas menyimpang dari kesepakatan tanggal 8 Januari 2019 dan itu jelas-jelas merugikan Masyarakat Adat. Bohe Amma menekankan bahwa kita baru bisa keluar kalau Lonsum bersedia untuk tidak melakukan aktivitas dilokasi pendudukan dan jadwal Tim Kecil untuk datang juga sudah jelas.
Senin 25 Februari 2019, Masyarakat Adat Kajang dan AGRA Bulukumba kembali mendatangi Pemkab dalam hal ini Wakil Bupati dan menyampaikan terkait hasil pertemuan mereka dengan Ammatoa yaitu tidak akan keluar. Namun Wakil Bupati yang ditemui pada hari itu tetap membujuk dan mengupayakan Masyarakat Adat untuk keluar. Karena menurut beliau keluar bukan berarti kalah, tapi itu adalah strategi untuk mempercepat kemenangan mendapat pengakuan Kawasan Adat melalui pengukuran HGU yang sudah dimohonkan langsung oleh Lonsum. Kalau pendudukan tidak diakhiri, Tim Kecil tidak bakalan turun karena alasan keamanan. Namun, Masyarakat Adat tetap bersikeras untul bertahan karena beberapa keputusan yang memang merugikan mereka. Terlebih lagi, dari beberapa kasus Lonsum tidak pernah patuh dengan beberapa kesepakatan yang dibangun. Karena merasa tidak mendapatkan titik temu, Masyarakat Adat dan AGRA Bulukumba meminta Wakil Bupati untuk datang langsung menjelaskan pendapatnya kepada Ammatoa dan Masyarakat Adat lainnya yang berada di Lokasi pendudukan.
Teror dan intimidasi kerap dialami di Lokasi pendudukan. Hingga saat pertemuan pada 25 Februari 2019 di kantor Bupati, dilokasi pendudukan sempat terjadi sedikit gesekan dikarenakan adanya aparat-aparat kepolisian yang masuk ke lokasi pendudukan memberikan peringatan kepada masyarakat yang masih ada didalam untuk segera mengosongkan lokasi pendudukan sebelum tanggal 1 Maret. Selain memberi peringatan dengan nada yang keras, mereka juga mengatakan bahwa tanah yang mereka duduki bukan tanah adat. Salah seorang polisi juga melakukan dorongan pada masyarakat yang mau memberikan kalrifikasi kepada para apparat.
Dua hari pasca pertemuan di kantor Bupati, pemkab mengabarkan bahwa pada Kamis 28 Februari 2019 Pemkab akan berkunjung kelokasi pendudukan Bersama Polres, Dandim dan Kejati. Mendengar informasi tersebut, Masyarakat yang melakukan pendudukan melakukan diskusi Bersama AGRA Bulukumba membahas persiapan menyambut kedatangan Pemkab. Ini menunjukkan bagaimana perlawanan mereka bisa bertahan hingga saat ini karena adanya organisasi yang dijadikan sebagai alat perjuangan dan sebagai wadah untuk membahas Bersama terkait taktik dan strategi untuk berlawan.
Kamis 28 Februari 2019 tiba saatnya kedatangan Pemkab dalam hal ini Wakil Bupati yang didampingi oleh Polres, Dandim dan Kejati. Ini merupakan kunjungan pertama kali pemkab setelah 5 bulan melakukan pendudukan. Kedatangan pemkab yang dijadwalkan pada pukul 09.00 wita, molor sampai pukul 14.00 wita. Puluhan personil keamanan digerakkan untuk mendampingi Wakil Bupati di lokasi pendudukan.
Dilokasi pendudukan, berlangsung dialog antara Pemda dan Masyarakat Adat yang di pandu oleh Andi zain yang juga merupakan perwakilan Masyarakat Adat. Dalam dialog tersebut Wakil Bupati kembali menyampaikan pendapatnya tentang teknis perjuangan yang dia tawarkan yaitu mundur dulu supaya Tim Kecil bisa turun secepatnya untuk melakukan pengukuran ulang. Itupun yang ditawarkan oleh Polres kepada masyarakat yang melakukan pendudukan.
Namun Masyarkat Adat dan AGRA Bulukumba tetap teguh dengan keputusan yang disepakati denagn Ammatoa. Setidaknya pimpinan organisasi dari 10 Ranting atau Kelompok angkat bicara dan sama-sama tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan keluar kalau jadwal kedatangan Tim Kecil itu belum pasti serta jika nanti mereka keluar, maka Lonsum juga tidak diperbolehkan untuk beraktivitas di area Konflik. Hal terserbut diatas sesuai dengan kesepakatan yang dibangun pada tanggal 8 Februari 2019.
Lagi-lagi dialog yang dilakukan tidak mendapatkan titik terang. Sehingga Masyarakat Adat menyampaikan kalau memang pemkab tetap meminta hal demikian, bagaimana kalau Pemkab beserta rombongannya bisa berkunjung Bersama-sama ke Ammatoa untuk menyampaikan pendapatnya. Dan apapun hasil dari pertemuan di Ammatoa maka itulah yang akan dijalankan oleh Masyarakat yang melakukan pendudukan. Kalau Ammatoa mengatakan keluar, maka dengan rapi dan terpimpin Masyarakat Adat akan mengosongkan Lokasi pendudukan. Kalau Ammatoa mengatakan bertahan, maka dengan cara apapun Masyarakat Adat akan bertahan di Lokasi tersebut. Karena Masyarakat Adat percaya, bahwa Ammatoa akan mengeluarkan keputusan dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan pastinya tidak akan merugikan Masyarakat Adat. Merspon permintaan itu, Wakil Bupati akan segera membicarakan dengan Bupati untuk agenda kunjungan ke Ammatoa secepatnya. Tapi, dilainsisi tidak ada satupu ungkapan yang menjamin keamanan Masyarakat yang melakukan pendudukan sampai kunjungan Pemkab ke Ammatoa itu terealisasi dan memperoleh hasil. Karena Lonsum tetap berkeras bahwa tanggal 1 Maret 2019 adalah batas waktu terakhir bagi Masyarakat Adat untuk melakukan pengosongan lahan pendudukan. Sehingga Masyarakat Adat yang melakukan pendudukan tetap waspada akan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
Tahun ini, 2019 tepat 1 Abad Perusahaan ini merampas tanah rakyat termasuk Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Kisah pilu awal masuknya perusahaan ini merampas tanah masyarakat Adat masih menyisakan luka hingga saat ini. Mengguanakan apparat, alat berat, pembakaran rumah warga, pembakaran tanaman warga adalah cara yang digunakan Lomsum untuk merampas lahan dan mengusir masyarakat Adat dari tanahnya sendiri. Luka itu tidak akan dilupakan, sehingga untuk mengobati Luka itu mereka berorganisasi berjuang Bersama untuk merebut kembali tanah mereka, merebut kambali tanah Ulayat yang sudah puluhan tahun dikuasai oleh PT. Lonsum.
Penulis : Al Iqbal (Pimpinan FMN Makassar)