“STOP KEKERASAN AKADEMIK DAN PERAMPASAN RUANG HIDUP RAKYAT”
Hak Asasi Manusia merupakan perwujudan dari hak dasar manusia di seluruh negeri. Terjaminnya pemenuhan atas hak dasar rakyat di dalam suatu negeri merupakan tanggung jawab penuh dari negara. Dalam rangka perjuangan untuk penegakan HAM di dunia, terdapat satu momentum bersejarah yaitu UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHT pada 10 Desember 1948. Deklarasi Universal HAM ini berisi kewajiban bagi setiap negara di dunia untuk memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar bagi warga negaranya. Di Indonesia DUHAM ini telah diratifikasi dengan diterbitkannya UU No.11 Tahun 2005 tentang HAM. Maka, Negara melalui pemerintahan RI wajib menghormati, melindungi serta memberikan HAM untuk hidup, merdeka, bebas dan bekerja bagi seluruh rakyat Indonesa.
Tahun 2018 kasus pelanggaran HAM kian meningkat. Kampus yang sejatinya menjadi laboratorium ilmiah pun tak lepas dari tindakan pelanggaran HAM. Gerakan mahasiswa yang kian membesar dalam melawan Komersialisasi, Privatisasi dan Liberalisasi Pendidikan di Kampus-kampus kian mendapatkan kekangan dari kampus itu sendiri. Kampus tak segan-segan memberikan sanksi kepada mahasiswanya yang selalu menuntut hak-hak demokratisnya. Intervensi, Skorsing, DO bahkan Kriminalisasi menjadi Kado pahit bagi mahasiswa. Terkhusus di Makassar, telah beberapa kali kita dapati beberapa kasus yang mengorbankan mahasiswa. DO 3 Mhahasiswa UIM karena mempertanyakan masa jabatan rektornya, Skorsing 2 Mahasiswa Unhas karena menyebarkan pamflet yang bertuliskan “Kampus Rasa Pabrik”, DO 1 Mahasiswa Uki Paulus karena sering mengkritiki kampusnya, Skorsing 1 mahasiswa UINAM karena melalukan kegiatan Baksos dan kaderisasi diluar kampus, Skorsig 1 Mahasiswa UINAM karena membuat pemberitaan terkait akreditasi Fakultas Kedokteran UINAM, DO 8 Mahasiswa Uki Toraja Karena melakukan kegiatan Bina Akrab, Skorsing 2 Mahasiswa UMI karena aksi mempertanyakan kejelasan anggaran. Dan masih banyak lagi kasus kekerasan akademik lainnya yang pastinya sangat mencederai demokrasi.
Pentingnya Berdemokrasi harus disadari, Terutama pihak kampus. Mahasiswa harus diberi ruang untuk mengeluarkan pemikiran-pemikiran kritisnya, baik itu dalam bentuk Demonstrasi ataupun dalam bentuk lain, sepanjang itu tidak bertentangan dengan Konstitusi. Lagi pula, Demonstrasi adalah Hak Asasi yang tidak dapat ditawar dalam Negara Demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Baru-baru ini, Kekerasan Akademik kembali hadir di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Makassar (FE UNM) yang dimana 6 mahasiswa dijatuhkan sanksi skorsing oleh Dekan FE UNM, 2 Mahasiswa di jatuhkan sanksi skorsing 2 semester dan 4 Mahasiswa di jatuhkan sanksi skorsing 1 semester. Dekan FE UNM menjatuhkan sanksi skorsing terhadap 6 mahasiswa FE UNM setelah melakukan Aksi Demonstrasi menuntut Transparansi 41 Paket Anggaran FE UNM. Terbukti setelah keluarnya Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) dari Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan yang memutuskan bahwa telah terjadi Penyimpangan Procedural terkait SK skorsing tersebut dan sanksi yang dikeluarkan oleh Dekan FE UNM itu Tidak Patut karena tindakan yang dilakukan oleh 6 mahasiswa FE UNM tidak termasuk pelanggaran sesuai dengan aturan yang berlaku di UNM serta Dekan FE UNM Terkesan Memaksakan penjatuhan sanksi kepada 6 mahasiswa yang diskorsing.nSelain SK skorsing yang lebih miris lagi adalah kekerasan atau pemukulan yang di lakukan oleh oknum dosen terhadap Mahasiswa FIK UNM yang menggelar aksi menuntut perbaikan fasilitas dan kejelasan anggaran pada 18 september 2018. Pimpinan UNM harus mengambil sikap tegas untuk mengatasi persoalan ini sesuai dengan Kode etik Dosen UNM yang berlaku.
Tidak hanya didalam kampus, pelanggaran HAM juga terjadi diluar kampus. PK5 dijalan A.P. Pettarani tepatnya didepan gedung megah Phinisi UNM terancam akan tergusur. PK5 yang telah berdiri sejak 1975 dan saat ini berjumlah 17 Lapak diminta untuk dialokasikan ke PK5 Center. Berbagai upaya alokasi telah dilakukan baik dari pemkot dan kampus. Mulai dari dalih pembangunan pagar, menggangu pejalan kaki, mengganggu keindahan kota dan program pembangunan jalan bintang 5 Makassar. PK5 Center yang ditawarkan menjadi solusi ternyata mendapatkan penolakan dari para pedagang Karena system penjualan yang berbeda dari sebelumnya. Mulai dari penerapan 1 kasir, penjualan online hingga penentuan produk yang dijual tiap pedagang dinilai sangat membatasi kreasi para pedagang. Selain itu, pedagang yang rata-rata berusia lanjut dan tingkat pendidikan rendah tidak paham dengan system penjualan yang diterapkan di PK5 Center. Belum lagi jika dialokasikan, jarak tempuh dari rumah pedagang ke PK5 Center semakin jauh. Penggusuran merupakan salah satu bentuk dari kemiskinan structural, bagaikan penyakit kronis yang menggrogoti manusia.
Selian Makassar Makassar, kabupaten Bulukumba juga tidak terlepas dari pelanggaran HAM. Persoalan Hak Asasi Manusia masih sering menjadi ancaman bagi hajat hidup masyarakat Bulukumba, terutama dalam aspek Ekonomi, Sosial, Hukum dan Kebudayaan. Sampai saat ini masyarakat Adat Kajang masih dengan semangat memperjuangkan tanah ulayat Adat Ammatoa Kajang yang dirampas oleh PT. PP Lonsum. Masyarakat adat Kajang juga menentang praktek kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang menuduh masyarakat adat Kajang melakukan penyerobotan lahan yang diyakini dan bisa dibuktikan sebagai tanah ulayat masyarakat adat Kajang. Masyarakat Bontobahari juga sejak dulu memperjuangkan tanah masyarakat Bontobahari yang hari ini dirampas oleh Taman Hutan Raya (Tahura). Salah satu kasus yang mencuak baru-baru ini adalah pembangunan terminal aspal curah di Kel. Sapolohe Kec. Bonto Bahari. Pembangunan yang melibatkan pemerintah daerah Bulukumba yang bekerja sama dengan pihak swasta yakni PT. Mitra Dagang Makmur. Lokasi pembangunan terminal aspal curah merupakan pusat aktivitas produksi masyarakat yang berprofesi sebagai petani rumput laut yang berjumlah 34 kelompok dengan 357 anggota dan menghidupi 1.299 jiwa. Dan 357 anggota petani rumput laut tersebut menyatakan menolak rencana pembangunan terminal dan pelabuhan khusus aspal curah. Karena hal tersebut akan menghilangkan mata pencaharian utama masyarakat. Namun yang sangat disayangkan, sikap dari pemerintah kanupaten Bulukumba yang ngotot melanjutkan proyek tersebut. Artinya, hari ini pemkab Bulukumba memilih mengorbankan masyarakat Bulukumba dan menghamba kepada investasi.
Berbagai macam kebijakan dan tindakan diatas yang dilahirkan oleh pemerintah yang berujung pada bertambahnya jumlah kemiskinan dan terjadinya pelanggaran HAM. Atas dasar itu FPR (Front Perjuangan Rakyat) SULSEL dalam momentum hari HAM Internasional menyatakan :
- Cabut SK Skorsing 6 Mahasiswa FE UNM.
- Berikan Sanksi Kepada Dekan FE UNM Karena Mengeluarkan Sanksi Skorsing yang Tidak Sesuai Prosedur.
- Berikan Sanksi Kepada Oknum Dosen yang Melakukan Tindak Pemukulan Terhadap Mahasiswa FIK UNM.
- Tolak Pembangunan Terminal Aspal Curah Kel. Sapolohe Kec. Bonto Bahari Kab. Bulukumba dan Segala Tindakan Pelanggaran HAM yang Terjadi di Bulukumba yang Melibatkan Pemerintah dan Swasta.
- Tolak Penggusuran PK5 Pettarani UNM.
Makassar, 10 Desember 2018
FRONT PERJUANGAN RAKYAT SULAWESI SELATAN
(LK SE-UNM, PEMBARU SULSEL, FMN MAKASSAR, LINGKAR NALAR, HIMA MATENG, FPM SULSEL, AGRA SULSEL, KONTRAS)
Dwi Rezky Hardianto
Koordinator Aksi