Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“20 Tahun Gerakan Demokratis 98, Perkuat dan Majukan Perjuangan Rakyat, Lawan Kebijakan Fasis Jokowi-JK Untuk Mewujudkan Demokrasi Sejati”




Gerakan demokratis Mei ’98 merupakan puncak perjuangan panjang pemuda-mahasiswa dan rakyat Indonesia dalam melawan rezim fasis Soeharto dan menjadi momentum bersejarah di Indonesia. Sebab gerakan tersebut berhasil menumbangkan kekuasaan rezim fasis Suharto yang telah bercokol selama 32 tahun, yang merupakan rezim penghamba yang setia bagi kepentingan imperialis Amerika Serikat. Berbagai macam tindak kekerasan, penculikan, pembunuhan dan berbagai bentuk pemberangusan demokrasi terus dilancarkan, demi stabilitas politik.

Di bawah tindasan rezim fasis Soeharto Sejak periode tahun 70an gerakan mahasiswa dan rakyat terus menunjukan perkembangannya. Aksi-aksi demostrasi, pemogokan serikat buruh, perjuangan kaum tani dan golongan rakyat tertindas lainnya terus berjuang. Perjuangannya tidak lain adalah untuk menentang kebijakan anti rakyat dan pemberangusan demokrasi. Perlawanan terhadap korupsi pemerintah, perampasan tanah di berbagai tempat untuk pembangunan (TMII, Kasus Kedung Ombo, dll), penolakan terhadap Pemilu dan pencalonan Suharto, serta Dwifungsi ABRI terus digelorakan. Hingga berpuncak di tahun 1998 dengan tuntutan utama “Turunkan Suharto” dan “Cabut Dwifungsi ABRI”. Tuntutan yang diraih pada 21 Mei 1998 dengan ditandai oleh pidato pengunduran diri Suharto.

Turunnya Suharto memberikan kemenangan kecil bagi rakyat, namun perjuangan merebut hak demokratis rakyat tetap tidak berhenti. Dari pemerintahan Habibie hingga rezim Jokowi, pemerintah terus menunjukan wataknya yang anti terhadap rakyat. Di bawah kekuasaan Jokowi, rakyat Indonesia justru semakin mengalami kemerosotan hidup dan belenggu terhadap ruang demokrarisnya. Apa yang dilakukan oleh rezim Suharto pada kenyataanya juga terus dijalankan oleh rezim Jokowi.

Pengabdiannya sebagai rezim boneka imperialis AS terus dilakukan oleh pemerintah. Jika di era Suharto menancapkan kebijakan awal dari dikte imperialis AS, maka dalam pemerintahan Jokowi semua itu semakin disempurnakan.

Topangan utama imperialism dalam menjalankan dominasinya di Indonesia adalah monopoli dan perampasan tanah yang dijalankan sejakrezim Suharto,saat ini semakin diintensifkan oleh rezim Jokowi. Melalui proyek pembangunan infrastruktur, perluasan perkebunan dan pertambangan, serta didukung oleh program Reforma Agraria yang hakekatnya justru semakin memperkuat monopoli dan semakin mengintensifkan perampasan tanah. Krisis ekonomi dan kemiskinan rakyat yang diwariskan oleh rezim Suharto justru diperparah di era Jokowi. Melalui 16 paket kebijakan ekonomi Izin bisnis dan investasi bagi kapitalis monopoli internasional semakin dipermudah, artinya memperkokoh dikte ekonomi neo-liberal imperialis terhadap Indonesia.

Demi memastikan iklim investasi berjalan dengan kondusif, maka Jokowi pun tidak segan memeras keringat klas buruh dengan upah yang rendah. Melalui PP 78/2015 tentang Pengupahan, kenaikan upah buruh disandarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional, sebuah standar rumus yang manipulatif. Kebijakan pengupahan yang demikian hanya akan menguntungkan imperialis dan borjuasi besar komprador di dalam negeri. Sementara defisit upah buruh akan semakin besar.

Sementara itu, demi juga memperlancar seluruh skema Paket Kebijakan Ekonominya, pemerintahan Jokowi terus memangkas/memotong bahkan mencabut anggaran subsidi bagi rakyat.

Sedangkan, ruang demokrasi yang merupakan capaian dari gerakan demokratis ’98 kini terus dilikwidasi. Perampasan ruang demokrasi menjadi salah satu instrumen fasis yang dijalankan oleh rezim Jokowi. Seperti halnya Suharto, Jokowi kian menunjukan wajah aslinya sebagai rezim fasis yang anti demokrasi.

Berbagai instrumen fasis dijalankan demi memastikan stabilitas politik di Indonesia, demi meredam dan membelenggu gerakan rakyat. Pada era Suharto terdapat UU Subversif, di zaman Jokowi terdapat UU Ormas, UU PKS, RKUHP, UU MD3 dan seperangkat aturan yang membatasi ruang dan kebebasan berdemokrasi. 

Pemerintah kembali menjelma sebagai satu-satunya aktor yang memiliki kedudukan absolut dalam menilai baik dan buruknya rakyat. Rakyat yang terlibat dalam perjuangan untuk mengkritisi pemerintah, memperjuangkan hak demokratisnya akan mudah dianggap anti terhadap Pancasila, potensi makar, hingga terorisme.

Sepanjang pemerintahan Jokowi, baik melalui kebijakan maupun tindakannya terus menunjukan watak fasisnya. Rakyat dari berbagai sektor terus menjadi korban tindasannya. Penangkapan, tindak kekerasan, kriminalisasi, pembubaran organisasi, hingga pembunuhan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berjalannya pemerintahan ini. Pelibatan aparat keamanan (TNI dan Polri) terus meningkat untuk memuluskan berbagai program seperti pembangunan industri, penggurusan, pembangunan infrastruktur dan mengamankan Objek Vital Nasional Indonesia (OVNI). Begitu pula dengan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD), kerjasama Kampus dengan TNI-Polri untuk pengamanan. Skema tersebut digunakan pemerintah untuk memastikan kontrolnya terhadap rakyat. Kekerasan, teror, intimidasi, penangkapan,dan berbagai tindasan fasis lainnya yang dijalankan oleh rezim Suharto, saat ini telah dilakukan oleh rezim Jokowi. 

Tindak kekerasan terhadap kaum tani terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854 orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi. Bahkan pemerintah kembali menebar teror dengan melakukan penangkapan terhadap tiga kaum tani dan melakukan operasi gabungan melalui Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Operasi gabungan tersebut dengan bar-bar telah mengusir dan merusak rumah-rumah kaum tani di Kabupaten Merangin, Jambi.

Saat ini mahasiswa juga menjadi korban tindasan fasis rezim Jokowi, tercatat sebanyak 115 mahasiswa mendapat skorsing, 54 mahasiswa mendapat sanksi DO, 192 orang mengalami tindak kekerasan, bahkan 190 orang dikriminalisasi.

Seluruh kebijakan dan tindasan fasis yang dilakukan oleh rezim Jokowi tidak hanya menginjak-injak spirit yang dibangun melalui gerakan demokratis ’98, namun juga telah memberangus demokrasi di Indonesia. Perampasan hak dasar rakyat yang terus terjadi di masa sekarang bahkan jauh lebih buruk dibandingkan dengan rezim Suharto berkuasa.

Atas dasar situasi tersebut maka, Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan dalam momentum memperingati 20 tahun Gerakan Demokratis ’98 menyatakan sikap dan tuntutannya sebagai berikut:

  1. Cabut UU Ormas, UU MD3, RKUHP, dan seluruh kesepakatan (MoU) TNI-POLRI yang merampas kebebasan rakyat.
  2. Cabut UU Dikti dan hapus sistem UKT, serta hapus izin Perguruan Tinggi Asing di Indonesia.
  3. Hentikan program RA-PS Jokowi-JK dan Bebaskan Azhari tanpa syarat.
  4. Cabut Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi-JK dan Cabut PP. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
  5. Turunkan pajak dan harga kebutuhan pokok rakyat.
  6. Berikan jaminan lapangan pekerjaan bagi mahasiswa dan seluruh pemuda di Indonesia.
  7. Tolak sistem Student Loan (Kredit Pendidikan) dan berikan pendidikan geratis bagi rakyat.
  8. Hentikan tindak kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap mahasiswa dan rakyat yang memperjuang hak demokratisnya.
  9. Stop kekerasan terhadap kaum perempuan dan usut tuntas kasus kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada masa Orde Baru.
  10. Hentikan Perampasan Tanah dan Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan bangun industrialiasi nasional yang mandiri dan berdaulat.


Kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat agar terus memperkuat persatuan dan berjuang bersama melawan seluruh kebijakan dan tindasan fasis rezim Jokowi-JK demi terwujudnya demokrasi sejati di Indonesia.

Makassar, 21 Mei 2018

Hormat kami,
Koordinator Aksi

Yuspiansar
Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulawesi Selatan