"Perampasan Lahan Warga Di Kabupaten Soppeng dan Kaitannya Dengan Kebijakan Reforma Agraria Jokowi"
Oleh : Ayu Rezky Amaliyah (Anggota FMN Ranting UNM dan Himposep FE UNM)
Sebenarnya ini tugas kuliah, tapi saya mencoba untuk mengingklutkan dengan kejadian yang terjadi baru-baru ini.
Negara hanya berpihak kepada rakyat yang memiliki pengaruh besar bagi negara! Mengapa demikian ? Dalam hal ini Deskriminasi terjadi pada warga yang didakwa karena tanah pertanian milik sendiri. Deskriminasi dalam hal ini berbicara mengenai perbedaan hak antara rakyat yang berada pada kelas atas dan kelas menengah atau bisa dikatakan kelas bawah dalam hal ini petani. Contoh yang dapat mewakili deskriminasi hak terhadap petani yaitu permasalahan yang sedang hangat-hangatnya terjadi di Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Hutan Laposo Niniconang Kabupaten Soppeng.
Tiga orang petani yang awalnya didakwa melakukan penebangan pohon dan perkebunan di dalam Kawasan Hutan Laposo Niniconang Kab Soppeng dan dituduh telah melakukan perusakan hutan, peristiwa yang menimpa ketiga petani tersebut mencerminkan betapa negara ini tidak berpihak kepada rakyat kecil, ke tiga petani tersebut bernama Sahidin (45 tahun), Jamadi (41 tahun),dan Sukardi (39 tahun), mereka di deskriminasi diatas tanah pertanian miliknya sendiri yang semena-mena ditangkap oleh pihak kehutanan tanpa sepengetahuan warga, terlebih lagi ketiga petani tersebut ditangkap dengan cara melawan hukum dan melanggar HAM karena penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan.
Ke tiga petani tersebut telah memanfaatkan lahan itu sejak lama sebelum ada penetapan Kawasan Hutan Laposo Niniconang Kab Soppeng tahun 2014, bisa dikatakan bahwa lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan itu sudah di garap secara turun-temurun dan merupakan sumber pendapatan yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan lahan tersebut dianggap oleh pemerintah sebagai pengrusakan lahan, para terdakwah dijerat UU pasal 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang isinya tentang jerat pidana terhadap orang yang menebang pohon dan melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin dari pejabat yang berwenang atau menteri didalam kawasan hutan. Dakwaan terhadap tiga orang petani tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PPU-XXI/2014 yang menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun hidup didalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”, tetapi pada kenyataannya para terdakwah dilahirkan, dibesarkan, dan menggantungkan hidup mereka dan keluarga di lahan yang menjadi kebunnya tersebut, dengan rata-rata luas lahan pertanian ±0,5 Ha, dan menjadi lahan yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh para pendahulunya.
Memperoleh kehidupan yang layak dan mendapatkan pekerjaaan merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia yang merupakan tanggung jawab negara yang dijamin oleh konstitusi. Dan dipertegas dalam UUD 1945 Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kepemilikan lahan tersebut tidak dapat diyakinkan oleh ke tiga petani karena tidak memiliki bukti kepemilikan lahan atau sertifikat tanah tetapi mereka tetap memperkuat bahwa tanah yang mereka tinggali dan dijadikan sebagai lahan perkebunan itu merupakan warisan dari keluarga yang sudah lama di tinggalkan dan sudah ada sejak zaman kerajaan Watansoppeng tetapi pandangan pemerintah berbeda mereka dituduh (asumtif) melakukan perusakan hutan. Tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, yang dilakukan pemerintah merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia (HAM), memenjarakan petani karena diduga telah melakukan penebangan pohon dan dianggap melakukan perusakan kawasan hutan.
Petani merupakan yang memproduksi pangan berdasarkan kebutuhan hidup masyarakat yang memproduksi pangan berdasarkan kebutuhan hidup masyarakat secara umum dan dirinya secara khusus, dari hasil jerih payahnya, kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi dan menjadi sebuah barang yang strategis untuk mendukung perekonomian lokal, dan nasional. Tanpanya, Negara akan krisis sudah selayaknya kedaulatan ada di tangan petani, bertambahnya populasi penduduk, kebutuhan pangan, dan meluasnya system pemasaran menuntut para petani untuk memproduksi pangan sesui dengan kebutuhan pasar. Pata petani dituntut memproduksi komoditi sebanyak-banyaknya demi kebutuhan public yang menjadi peralihan wacana pasar tanpa memerhatikan hak-hak dasar dan kebutuhan petani tersebut dan hanya menguntungkan sebelah pihak saja, malahan sejak dulu hingga sekarang petani terus-menerus terkhianati. Kapitalis atau bahkan Negara semena-mena merampas hak-hak hidup petani atas ruang dimana yang termasuk di dalmnya adalah perampasan lahan yang sebelumnya sudah lama dijadikan tempat tinggal dan dimanfaatkan sebagai sumber kebutuhan. Satu hal yang kurang rasional adalah negara sebagai kontrak sosial yang tak tersosialisasikan telah menjanjikan kepada rakyatnya akan hak-hak sebagai warga negara yang bersifat melindungi dan menegakkan keadilan diatas asas hukum, khususnya kepada para petani.
Kemana keadilan untuk para Petani ? Berbagai kebijakan yang diperuntukkan oleh presiden kepada petani termasuk didalamnya Reforma Agraria Jokowi-Jk, yang mendasari dijalankannya Reforma Agraria yaitu ketimpangan penguasaan tanah negara, pemerintah Jokowi menilai pelaku ekonomi yang banyak mendapatkan penguasaan tanah adalah pengusaha besar dan tuan tanah yang menguasai lahan skala besar, sekitar 35,8 juta hektar dikuasai oleh hanya 531 perusahaan, di sisi lain terdapat lebih kurang 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan dan lebih dari separuh jumlah petani atau 56% memiliki lahan dari 0,5 hektar. Dan banyaknya konflik agrarian disebabkan oleh ketidakjelasan distibusi lahan, dan pemberian izin tidak seluruhnya merupakan lahan Negara yang bebas kepemilikan, serta timbulnya krisis ekologi dan krisis sosial di pedesaan. Sebanyak 15.5 juta penerima beras untuk rakyat prasejahtera tinggal dipedesaan yang merupaka krisis sosial dan keberadaan desa dengan status rawan air dan kekeringan merupakan krisis ekologi, pemerintahan Jokowi tidak ingin menghadirkan negara yang “lemah” pemerintah Jokowi tidak ingin dinilai menjalankan Reforma Agraria hanya sekedar bagi-bagi tanah, tetapi pemerintah ingin menghadirkan program Reforma Agraria yang lebih “Komperehensif”. Yang dimaksud komperehensif dalam kebijakan ini adalah program Reforma Agraria yang memberikan kepastian hukum kepemilikan lahan, mencegah krisis ekologi, mengatasi konflik, mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketimpangan ekonomi di pedesaan. Program Reforma Agraria dijalankan untuk tujuh tujuan yakni, mengurangi ketimpangan dan kepemilikan tanah, menciptakan sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan mansyarakat, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan pangan dan menyelesaikan konflik agrarian.
Reforma Agraria 9 juta hektar pemerintah tidak akan merubah struktur penguasaan tanah yang sebagian besar dikuasai oleh para pelaku-pelaku bisnis dan pengusaha besar dan tuan tanah baik itu swasta atau Negara, sasarannya adalah tanah-tanah yang sudah dikelolah oleh rakyat dan tanah hutan yang juga menjadi tempat hidup rakyat, perampasan lahan yang dilakukan tidak sedang ingin mengatasi kemiskinan atau masalah ekonomi lainnya, pemerintah menjanjikan legalisasi asset melalui sertifikat tanah milik warga yang sudah lama bertempat tinggal pada tanah hutan yang dianggap mereka adalah tanah yang telah diwariskan secara turun temurun, yang tujuan mereka hanya untuk mengambil alih lahan dan hanya untuk kepentingan investasi dan anggunan hutang, dapat dipastikan tanah-tanah rakyat akan segera melayang dan berpindah penguasaan ke tangan-tangan pemilik modal atau tuan tanah. Legalisasi asset melalui sertifikat tanah sudah ada sejak lama dan bertujuan untuk mempermudah masyarakat yang tidak mempunyai sertifikat terhadap tanah yang ditempatinya yang merupakan program Land Administration Project Bank Dunia di Indonesia.
Ketiga petani saat ini berhadapan dengan Negara didakwa telah melakukan perusakan lahan, tindakan represif terhadap ke tiga petani Latemmamala yang mengancam keberlangsungan hidup orang banyak yang berada di kawasan hutan, pembagian asset dan sertifikasi dilakukan ditengah terus meluasnya perampasan lahan dengan kekerasan untuk kepentingan Negara ataupun kepentingan pihak lain, sehingga rakyat berfikir jangankan pemerintah bisa membantu, tidak di usir dari tanah yang digarap, tidak dianggap perambah, tanahnya tidak dirampas untuk kepentingan salah satu pihak saja sudah bersyukur dan dianggap cukup.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi rakyat untuk mendukung dijalankannya Reforma Agraria pemerintah Jokwi-Jk karena nyata, palsu dan menipu. Kebijakan tersebut hanya dijalankan untuk kepentingan pengusaha besar dan tuan tanah bahkan kepentingan negara. Sebaiknya pemerintah dan juga memberikan dampak berupah krisis social dan krisis ekologi terhadap masyarakat terutama bagi petani untuk mengatasi permasalahan tersebut Negara segera mengatasi dengan melakukan peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian pengusaan bagi mereka yang menggarap lahan serta penyelesaian sengkeeta pertanahan melalui badan peradilan atau penyelesaian konflik agrarian melaui Badan Pertahanan Nasional.
Meskipun perkembangannya saat ini 3 petani tersebut dibebaskan dalam dakwaannya, tapi lahan garapan mereka tetap tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya karna sudah dicaplok sebagai kawasan hutan.
Meskipun perkembangannya saat ini 3 petani tersebut dibebaskan dalam dakwaannya, tapi lahan garapan mereka tetap tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya karna sudah dicaplok sebagai kawasan hutan.